Sejujurnya, saya hanya ingin menyimak "perdebatan" ini - jika boleh dibilang begitu - dengan secangkir kopi dan barang sehisap-dua hisap rokok. Saya pikir, hanya berhenti sampai di sini. Sampai akhirnya Gita menulis tulisan tanggapan lagi.
Tidak ada yang salah dengan menulis, Gita. Sama seperti yang kau ungkapkan pada pledoimu sendiri. Entah karena penulisnya gelisah, entah dia sedang pamer mengenai kondisi penempatannya, entah dia sedang mengutuki entah siapa yang bertanggung jawab dalam lotere hidupnya kali ini (Tuhan? Pimpinan institusi ini? Dirinya sendiri?). Jika orang berhak mengungkapkan kesedihan dan kegelisahannya, mengapa standar yang sama tidak berlaku bagi orang yang sedang bahagia? Mengapa engkau gelisah atas kebahagiaan orang lain? Tidak, tidak, saya tidak menyalahkanmu. Namun, kau dan aku tahu: kau, aku, dan mereka, adalah sama-sama manusia korban-korban nasib. Sebajingan apapun nasib memutar dadu kita kali ini, setahuku, tidak pernah ada ketidakadilan di dalamnya. Ini hanya... nasib. Kecuali jika memang ada ketidakadilan dalam proses penempatan ini, maka aku akan menemanimu memberontak terhadapnya. (Aku tidak melihat tulisanmu sebagai ungkapan pemberontakan, aku tahu itu. Menurutku, kau tidak pernah benar-benar menuntut keadilan atas semua ini.)
Nasib menempatkan kita pada tempat entah bagus entah tidak secara subyektif bagi mereka yang melihatnya. Aku, di Jakarta, seringkali mengutuk tentang kemacetan dan paru-paruku yang dibunuh polusi sel demi selnya. Aku tidak mau berlagak omniscient dan dengan pongahnya bilang, "Aku tahu apa yang kamu rasa, kawan." Tidak, tidak. Aku tidak tahu rasanya kekurangan air. Aku tidak tahu rasanya harus menempuh kegelapan hutan demi tugas. Aku tidak tahu rasanya mengalami susah sinyal.
Lantas, aku tidak ingin berlagak bagai Mario Teguh dengan menyuruhmu bersyukur. Bersyukurlah jika menurutmu ini lantas disyukuri. Aku jadi teringat sajak Carl Sandburg berjudul "Mucker":
Of the twenty looking on
Ten murmur, "O, it's a hell of a job."
Ten others, "Jesus, I wish I had the job."
Ten murmur, "O, it's a hell of a job."
Ten others, "Jesus, I wish I had the job."
Perspektif seperti ini, tentu saja tidak bisa dipaksakan. Namun, lihatlah, ada orang yang puas melakukannya, entah demi terjaminnya masa depan, atau demi negara. Kau bisa melihat betapa bahagia dan sederhananya orang-orang seperti itu. Apa yang dibilang Heru dengan wang-sinawang, tentu saja dengan melihat mereka ini. Orang-orang sederhana yang - terlepas dengan angka pada mata dadu nasib masing-masing - melihat semua ini bak orang menang judi.
Satu lagi, Git, apa yang akan kau lakukan jika kau penempatan Jakarta? Gelisahkah kau dengan mereka yang penempatan di Bangko? Atau kau mau mengarahkan kegelisahanmu ini kepada mereka yang penempatan di homebase; di mana macet, polusi, harga makanan pinggiran jalan, dan hingar bingar kota besar tidak pernah menjadi masalah? Apakah privilese yang engkau punya akan menutup matamu, dan tulisan macam "Als Ik Eens..." tidak pernah dilahirkan? Jika semua ini salah, maka terus gelisahlah. Terus menulislah. Dahulu sekali ada tulisan seperti ini:
I am the young man, full of strength and hope,
Tangled in that ancient endless chain
Of profit, power, gain, of grab the land!
Of grab the gold! Of grab the ways of satisfying need!
Of work the men! Of take the pay!
Of owning everything for one's own greed!
Tangled in that ancient endless chain
Of profit, power, gain, of grab the land!
Of grab the gold! Of grab the ways of satisfying need!
Of work the men! Of take the pay!
Of owning everything for one's own greed!
[...]
Yet I'm the one who dreamt our basic dream
In the Old World while still a serf of kings,
Who dreamt a dream so strong, so brave, so true,
That even yet its mighty daring sings*
-----
*Langston Hughes, dalam puisi "Let America Be America Again" (1935).
salam dari yang penempatan tarakan bung!
ReplyDelete