Kepada:
Nona Artemis, di pesisir Laut Aegea
Dahulu sekali, Nona Artemis, seorang filsuf yang berasal dari tanah kelahiran kita, Zeno, pernah berujar, "Takdir adalah rangkaian sebab akibat yang tidak terputus." Sebelum kita semua ada, Nona, kita adalah atom-atom yang berasal dari letusan bintang bermilyar-milyar tahun yang lalu, yang mungkin juga berasal dari letusan bintang yang lain, dari semesta yang lain juga. Dan begitu selanjutnya, dari tak terhingga menuju ketakterhinggaan yang lain.
Lalu, Nona, takdir menentukan atom-atom ini untuk lantas mewujud menjadi seorang bayi perempuan mungil, yang lahir 22 tahun lalu pada sepasang ayah dan ibu yang terikat dengan cinta yang sedemikian kuat, hingga perbedaan pun takluk di hadapan mereka. Tahukah kamu, Nona, jika bayi mungil ini lahir di gedung tempat ayahku memutuskan untuk berangkat menjadi atom kembali? Tahukah juga kamu jika bayi ini lahir pada tanggal 28, yang jika ditambahkan maka ia menjadi angka 10 - lambang kesempurnaan? Aku dan bayi mungil ini punya beberapa hal yang begitu mirip, sehingga kami bahkan berpikir jika di kehidupan sebelumnya kami berdua adalah saudara kembar.
Bayi ini kemudian tumbuh menjadi wanita yang menyenangkan bagi mereka di sekitarnya. Meskipun kuakui, dia seringkali egois dan tidak mau mendengarkan, dia selalu punya banyak cinta yang ia beri kepada orang-orang. Sama sepertimu, Nona Artemis, dia adalah pelindung anak-anak. Ia menyayangi beberapa anak yang ia anggap sebagai darah dagingnya sendiri, pada sebuah panti asuhan di kota di mana ia belajar sekarang. Pernah dia bertanya kepadaku, bagaimana seorang yang egois bisa menyayangi anak-anak yang tidak pernah dilahirkannya. Aku tidak tahu pasti, jawabku. Mungkin karena kita adalah makhluk yang paradoksikal. Bukankah kau sendiri juga paradoksikal, Nona Artemis, dengan panahmu yang sama-sama mampu membawa penyakit dan juga kesembuhan? (Oh, aku sering berpikir kalau bayi perempuan ini punya karunia untuk mendatangkan cinta dan patah hati pada saat yang bersamaan.)
Di ulang tahunnya kali ini, aku tidak bisa memberi apa-apa. Tidak juga sebuah kue ulang tahun dengan lapisan cokelat dan dua buah lilin merah berbentuk angka dua yang menyala di atasnya. Baginya, dunia ini sudah merupakan sebuah kue ulang tahun besar yang sedang ia makan sepotong demi sepotong. Ia taklukkan satu per satu.
Aku hanya bisa menyelipkan sebuah fragmen tembaga yang pernah digunakan di tanah kita selama lebih dari tiga milenia. Di bagian mukanya, ada gambar lelaki yang tulisannya selalu ia pakai sebagai rujukan mendongeng. Dongeng tentang tanah kita yang ajaib beserta dewa-dewinya. Sayang sekali, Nona Artemis, dunia ini menyibukannya sedemikian rupa. Merampas waktu yang ia punyai sehingga sudah jarang sekali ia bercerita. Namun aku maklum, Nona Artemis. Aku lebih suka jika dia menggunakan sisa-sisa waktunya di malam hari agar dia bisa istirahat, daripada ia harus mendongeng dalam keadaan yang susah payah.
Lewat fragmen tembaga itu aku sematkan doa, supaya kelak ia bisa kembali pulang ke tepi lautmu. Mungkin dengan membawa serta Aegea dan Aegypta, anak-anaknya yang tercinta. Aku sudah meminta fragmen itu untuk membisikkan ucapan ulang tahunku padanya, juga harapan agar dia selalu bahagia dan semakin bijaksana.
Karena waktu adalah siklus tak terputus, maka biarlah energi yang dicurahkan semesta pada saat ia lahir datang kembali pada hari peringatan atasnya. Dan semoga Phoenix dan Pyro yang lebih dahulu kembali ke surga di hari sebelum ulang tahunnya kali ini, mau singgah dahulu ke Olympia dan menyampaikan doaku kepada dewa-dewi.
No comments:
Post a Comment