Showing posts with label philosophy. Show all posts
Showing posts with label philosophy. Show all posts

Friday, June 6, 2014

Seperti Dendam: Sebuah Resensi





I.
Telah satu dekade berlalu sejak terbitnya “Lelaki Harimau” dan dicetak ulangnya karya seminal Eka “Cantik Itu Luka”. Selama itu pula Eka Kurniawan tertidur dari jagad kepenulisan novel (mirip dengan penis Ajo Kawir!). Dalam entri di blog pribadinya tanggal 30 Maret 2008, Eka mengungkapkan bahwa dia sudah menyetor naskah berjudul “Malam Seribu Bulan” kepada penerbit. Sayang novel yang ditunggu tak juga muncul. Baru 6 tahun kemudian, Eka bangun dengan novel “Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas.” Entah ini naskah “Malam Seribu Bulan” yang disunting secara drastis, atau merupakan setoran naskah yang benar-benar baru, saya kurang tahu. Mengingat isinya yang lebih tentang penis daripada tentang bulan, rasa-rasanya ini adalah naskah baru. Semoga saja, “Malam Seribu Bulan” diterbitkan setelah ini.

II.
It's only after you've lost everything that you're free to do anything”, demikian kata Tyler Durden dalam buku ikonik Chuck Palahniuk, “Fight Club”. Demikian pula yang mungkin menjadi kredo Ajo Kawir setelah ia tidak mampu lagi ereksi: “Hanya orang yang enggak bisa ngaceng, bisa berkelahi tanpa takut mati.”

Menjadi impoten adalah menjadi pria yang kehilangan segala-galanya dalam dunia kecil rekaan Eka Kurniawan yang memuja maskulinitas ini. Keperkasaan genital dan kekerasan adalah norma. Tak hanya Ajo Kawir yang risau, temannya, Si Tokek, pun terus menyalahkan dirinya sendiri atas tidurnya burung Ajo Kawir.

Pada suatu malam dulu ketika mereka masih remaja, Tokek mengajak Ajo Kawir untuk mengintip tetangganya, Rona Merah, seorang janda yang gila karena melihat suaminya dibunuh di depan mata kepalanya sendiri. Ketakwarasan Rona Merah membuatnya tak peduli lagi terhadap rasa malu, dan nahasnya ini dimanfaatkan oleh dua bocah ini sebagai objek voyeur mereka ketika ia mandi. Sedianya cuma itu yang akan mereka lakukan: mengintip, merancap, lalu pulang. Namun, pada malam itu, datanglah dua orang polisi bejat memerkosa Rona Merah. Si Tokek mengajak Ajo Kawir kabur, tapi Ajo Kawir ketahuan, sementara Si Tokek berhasil sembunyi. Ajo Kawir ditangkap, dan lantas digelandang masuk oleh dua polisi tersebut dan dipaksa untuk menyetubuhi Rona Merah. Ajo Kawir begitu takut, syok, dan jijik sampai burungnya tidak bisa berdiri. Ia dipermalukan oleh kedua polisi itu dan merasa tak berdaya. Maka, malam pertama kalinya Ajo Kawir mengintip Rona Merah menjadi malam terakhir burungnya bisa ngaceng.

Sudah banyak usaha (yang kadang kala masokis) yang dilakukan Ajo Kawir agar Si Burung bangun. Pernah coba dibangunkan dengan cabe, namun si Burung tetap terlelap sementara Ajo Kawir sendiri pontang-panting karena selangkangannya serasa dibakar. Kali lain, Ajo Kawir mencoba menyengatnya dengan lebah, terinspirasi dari sebuah terapi alternatif. Burung bengkak, namun bangun pun tidak. Tak hanya ia yang menderita dimakan obsesi. Si Tokek dan ayahnya, Iwan Angsa, yang sudah menganggap Ajo Kawir sebagai anaknya sendiri pun ikut dibikin frustasi. Pernah suatu hari Iwan Angsa memberi Ajo Kawir buku-buku cerita stensil, berharap burungnya bisa terangsang. Namun, Ajo Kawir hanya membacanya tanpa merasa apa-apa pada burungnya. Bahkan, seorang pelacur pinggir rel kereta yang disewakan Iwan Angsa demi Ajo Kawir pun angkat tangan. “Tak ada yang lebih menghinakan pelacur kecuali burung yang tak bisa berdiri”, katanya. Pada suatu saat Ajo Kawir sudah tak tahan lagi. Si Burung nyaris saja terpenggal jika saja tak dicegah Si Tokek. “Kalau sekarang bisa berdiri, memangnya mau kamu pakai untuk siapa?”, demikian rasionalisasi si Tokek. Ajo Kawir pun manut saja.

Tumbuh tanpa merasakan libido membuat Ajo Kawir mengalihkan gejolak masa mudanya dengan berkelahi. Ia menantang siapa saja. Modalnya cuma nyali dan tubuh yang tahan banting, karena ia tak jago-jago amat berkelahi. Sering ia pulang dengan badan yang babak belur, hanya untuk dirawat Iwan Angsa, sembuh, kemudian lanjut mencari gara-gara. Suatu ketika, ia dihajar oleh anggota geng Tangan Kosong, seorang wanita jago berkelahi bernama Iteung. Mereka berdua berkelahi sampai sama-sama ambruk di tanah, dan Ajo Kawir mendapati dirinya jatuh cinta dengan Iteung. Iteung pun cinta dengan Ajo Kawir meskipun ia tak bisa memuaskannya pakai alat kelamin. Mereka lalu menikah. Namun kemudian Iteung hamil dengan entah siapa. Ajo Kawir murka (bagaimana bisa menghamili jika tak burungnya saja tidak bisa ereksi?). Ia lalu pergi ke Jakarta, menjadi supir truk-cum-pacifist yang berlandaskan suara dari kelaminnya.

III.
Jika dibaca seklias, kita bisa menuduh Eka Kurniawan sebagai seorang seksis. Akan tetapi, “Seperti Dendam…” adalah parodi tentang potret masyarakat yang didasari machismo dan phallocentrisme yang eksesif. Sebuah hidup di mana laki-laki dan perempuan sama-sama menderita karenanya. Menjadi laki-laki berarti berani untuk menjadi brutal, dan punya penis yang berfungsi (kalau bisa, besar pula). Pria-pria seperti Ajo Kawir (yang impoten dan lantas menjadi pacifist) dan Mono Ompong (kenek Ajo Kawir, yang takut berkelahi dengan Si Kumbang) mesti menderita lahir batin di bawah tuntutan untuk menunjukkan kekuatan. Ajo Kawir menyadari betapa dahsyatnya kemaluan yang “bisa menggerakkan orang dengan biadab” dan ”seringkali lebih banyak mengatur kita daripada yang bisa dilakukan kepala”. Kehilangan ereksi  menceraikan Ajo Kawir dari hal yang membuatnya “laki-laki”. Ia terasing dari dirinya sendiri.

Nasib perempuan di “Seperti Dendam…” malah lebih mengenaskan. Mereka direlegasi menjadi masyarakat kelas tiga (masyarakat kelas dua dalam hirarkinya adalah laki-laki “gagal” seperti Ajo Kawir ini). Kita melihat bagaimana Rona Merah diperkosa dua polisi, juga Si Iteung yang diperkosa di ruang kelas oleh gurunya, Pak Toto, ketika dia masih SD. Vagina menjadi barang komoditas seperti beras. Pelecehan adalah hal yang lumrah. Kelamin dijual bahkan ketika mereka masih bocah. Menjadi wanita berarti menerima nasib untuk suatu saat harus mengangkang demi membayar sewa (seperti tokoh Janda Muda) juga untuk menyambung hidup, seperti pelacur-pelacur (termasuk Nina, wanita yang ditaksir oleh Mono Ompong) dalam novel ini. Wanita harus seperti laki-laki agar dianggap setara, setidaknya begitulah yang dilakukan Iteung dengan cara ikut latihan bela diri. Novel ini adalah tamparan bagi kita (terutama lelaki) yang tidak pernah menyadari bahwa kita hidup dalam masyarakat yang patriarkis-kiriarkis.

Meminjam penjelasan Guattari dan Deleuze, masyarakat adalah perwujudan sebuah organisme yang hirarkis. Semua orang menjadi bagian dalam infrastrukturnya lewat ketergantungan satu sama lain dan ini sering kali memenjara kita dalam ketidakpuasan. Ketidakpuasan (“lack”) ini, entah bersifat libido (Freudian), maupun berbentuk neurosis ketika melihat sebuah struktur sosial yang tidak adil (Marxian) mewujud menjadi sebuah hasrat. Dalam perspektif Deleuzian, Ajo Kawir dan penisnya adalah sebuah gambaran proses skizofrenik yang membebaskan. Alih-alih menjadi “id”, penis Ajo Kawir menjadi sebuah “superego” yang memiliki sebuah “potensi untuk revolusi”. Dalam keterasingannya dari organisasi bernama “laki-laki”, Si Burung justru mencekoki Ajo Kawir sebuah pemikiran subversif antikekerasan. Meskipun Ajo Kawir gagal “menginisiasi politik radikal tentang hasrat yang bebas dari semua akidah“, setidaknya ia berhasil membebaskan dirinya sendiri. Di akhir masa mudanya, Ajo Kawir menjadi seorang absurdist Camusian. Ia mencoba berontak terhadap konstruk sosial yang destruktif ini. Baginya, impotennya Si Burung menjadi sebuah berkah. Si Burung malah menjadi sebuah voice of reason. Ia menyambutnya dengan gembira seperti Sisifus menyambut hukumannya. Bak seorang sufi, ia menjadi orang yang lebih damai, yang lebih arif dan tenang ketika mendengarkan burungnya yang terlelap. 

IV.
Jika “Cantik Itu Luka” berlatar Indonesia pascakolonialisme - pascakomunisme, maka “Seperti Dendam…” berlatar pada era Soeharto. Seperti pada beberapa karya realisme-sosial milik Agus Noor dan Seno Gumira Ajidarma, membaca “Seperti Dendam…” adalah membaca masyarakat di mana ketakutan menjadi sebuah alat kekuasaan. Anak-anak kecil ditakuti dengan komik Siksa Neraka. Para preman ditakuti dengan penembakan misterius. Para wanita ditakuti dengan kekerasan dan perkosaan. Gambaran aparat keamanan dibikin satir oleh Eka Kurniawan, seperti polisi yang amoral, juga tentara yang gemar mengadu rakyat dalam sebuah arena perkelahian. Bukankah tentara yang menjadikan tahanan, orang Timor Leste, Aceh, dan juga komunis seperti ayam aduan di cerita ini adalah satirisasi fenomena banality of evil yang sering terjadi pada konflik-konflik di Indonesia? Generasi tahun 80-90 an tentu bisa mengasosiasikan novel ini dengan kejadian-kejadian pada masa mereka.
Dalam novelnya kali ini, Eka mencoba lebih realis  daripada novel-novel sebelumnya yang berbumbu magis (magical realism) a la Jorge Luis Borges atau Gabriel Garcia Marquez. Ada elemen yang hampir sama di novel ini dengan “Cantik Itu Luka”. Misalnya, tokoh semi-mafioso Paman Gembul mengingatkan kita kepada Mama Kalong si mucikari. Munculnya Jelita sebagai perwujudan hal-hal yang belum selesai juga mirip dengan munculnya hantu komunis pada “Cantik Itu Luka”. Seperti “Cantik Itu Luka” pula, penceritaan yang grotesk, kontradiktif, dan absurd terdapat pula dalam novel ini. Tokoh Jelita, kenek baru Ajo Kawir, mengingatkan kita pada Cantik (ironisnya keduanya berwajah buruk rupa). Cantik dan Jelita sama-sama merupakan paradoks bagi laki-laki. Cantik bisa membuat Krisan jatuh cinta tanpa perlu takut kehilangan, sedangkan Jelita bisa membangunkan kemaluan Ajo Kawir yang sudah berhibernasi begitu lama, yang gagal dibangunkan oleh wanita-wanita sebelum dia. Mungkin bedanya adalah ketiadaan tokoh seperti Dewi Ayu (yang menurut saya merupakan pastiche Nyai Ontosoroh-nya Pram), karena rupanya Iteung malah direduksi jadi tokoh yang haus seks dari lelaki yang bisa ereksi.

Novel ini begitu singkat, dan tidak membutuhkan waktu lama untuk membacanya. Lengkap dengan deadpan jokes, dark humor, montase alur maju mundur yang lincah, paragraf yang pendek-pendek, serta cerita tentang pembalasan dendam, ia mengingatkan saya pada film Quentin Tarantino tahun 1994, “Pulp Fiction”. “Seperti Dendam…” juga ditulis dengan stilistik a la novel stensilan namun masih terasa estetis. Sumpah serapah serta bahasa yang profan nan vulgar yang dipakai Eka sangat khas dengan – maafkan stereotip ini – kaum-kaum pinggiran seperti supir truk dan pelacur. Ia memotret seksualitas yang tak melulu diglorifikasi seperti karya Ayu Utami atau Djenar Maesa Ayu. Jika Ayu Utami dan Djenar melihat seks dari kacamata kaum urban, dengan latar kafe, hotel, dan glamornya perkotaan, Eka melihat seks dari kacamata orang yang secara sosioekonomi di bawah rata-rata.  Alih-alih dirayakan, justru malah sebaliknya, seks di sini adalah salah satu sumber masalah yang begitu kuat sehingga orang-orang di dalamnya menjadi fatalistik karena tak kuasa melawan. Kalah, bagai burung Ajo Kawir yang tumbang sampai entah kapan.

Tuesday, December 10, 2013

Argumentum ad Sanguineam

Pertanyaan tentang film horor adalah pertanyaan mengenai emosi: mengapa kita menikmati ketakutan, teror, rasa jijik, dan tragedi? Dahulu sekali, Aristoteles, dalam esainya tentang kritik drama, "Poetics", pernah mencoba menelisik tentang ketertarikan manusia akan rasa jijik dan rasa takut. Menurutnya, manusia tertarik untuk belajar, dan bahkan dari hal-hal jelek sekalipun, ada pelajaran yang diambil oleh manusia. Namun, dia pun juga alpa untuk menjelaskan mengapa manfaat kognitif yang diperoleh lebih besar dari pengalaman negatif yang dirasakan oleh manusia.

Kajian psikologis tentang film horor memberikan pandangan yang baru tentang daya tariknya. Daya tarik mengenai film horor itu sendiri sudah didokumentasikan dalam pelbagai tulisan dengan baik (Tannenbaum, 1980; Zillmann, 1984). Beberapa peneliti mengajukan jawaban dari segi biologi evolusioner, yaitu bahwa film horor merangsang manusia untuk mengukur level ancaman. Perasaan jijik dan takut akan kematian mengisyaratkan bahaya, dan memancing perilaku primal manusia untuk melindungi diri demi kelangsungan hidup (Pyszczynski, Greenberg, dan Solomon, 1998). Tanpa bermaksud seksis, secara evolusi, dahulu sekali laki-laki lah yang mengambil peran (secara fisikal) untuk melindungi keluarganya dari ancaman. Hal ini didukung pula oleh riset yang menunjukkan bahwa pencinta film horor adalah mayoritas pria berusia 15-45 tahun (Tamborini dan Stiff, 1987). Dan, sedikit banyak, menonton film horor bisa dianggap sebagai sebuah ritus kedewasaan, di mana siapa yang tahan menontonnya dianggap cukup berani oleh teman-temannya.

Penjelasan ini tentu saja tidak menjelaskan mengapa kita menikmati horor dalam media seni, dalam keadaan yang secara sadar kita ketahui relatif aman dari bahaya. Ada teori yang mengatakan bahwa pada waktu kita menonton film horor, sebenarnya kita sedang menahan rasa takut untuk menikmati sebuah "sense of euphoria", sebuah katarsis emosional di akhir filmnya. Salah seorang teman wanita saya yang menggemari film horor (bahkan gore) mengatakan selain karena dia menyukai anatomi tubuh manusia, film horor memberikan sensasi yang menggairahkan, traumatis, serta sebuah kelegaan emosional secara bersamaan; sebuah kanal untuk memproyeksikan emosinya kepada tokoh dalam film (emotional displacement). Menurutnya, film-film seperti ini menunjukkan pada dia bahwa hidupnya lebih beruntung daripada si korban dalam film. Kita lega bahwa selalu ada akhir yang bahagia, meskipun hidup - yang disimulasikan oleh film horor itu sendiri - penuh dengan hal-hal mengerikan. Akan tetapi, periset University of California, Berkeley, Eduardo Andrade, dan periset University of Florida, Joel B. Cohen, tidak sependapat. Dari hasil penelitian mereka, mereka menyatakan "novel approach to emotion reveals that people experience both negative and positive emotions simultaneously -- people may actually enjoy being scared, not just relief when the threat is removed. [...] the most pleasant moments of a particular event may also be the most fearful." Kita memang menikmati emosi negatif yang ditimbulkan oleh film horor. Dengan kata lain, kita semua menjadi masokis di hadapan layar perak yang sedang menampilkan adegan pembunuhan atau dikejar-kejar setan. Kita semua bahagia untuk menjadi tidak bahagia saat menonton film horor.


Tentang Gore

Secara umum, film horor membangun tensi pada penontonnya dengan 5 cara: misteri (misal, Fear in the Night, 1947, atau Silence of the Lamb, 1991), suspens (The Haunting, 1963; The Omen, 1976; Rosemary’s Baby, 1968), gore (The Evil Dead, 1982; Dawn of the Dead, 1978; Rumah Dara, 2010), teror (The Shining, 1980; Jaws, 1975), and shock/syok (Shock Corridor, 1963; Suspiria, 1977 - meskipun film Dario Argento ini juga mengandung unsur gore, misteri, dan suspens). Gore, atau sering juga dilabeli dengan splatter film dan torture porn, adalah jenis yang mengeksploitasi tentang darah, unsur kekerasan yang brutal, juga mutilasi organ tubuh yang ditampilkan secara grotesk dan serealistik mungkin. Jika ada beberapa orang yang memisahkan film gore dan slasher sebagai genre berbeda, maka saya lebih cenderung melihat slasher sebagai perpaduan antara film gore yang minimalis, dengan teror (thriller) di dalamnya sebagai landasan tensi film tersebut. Biasanya, film slasher memiliki tokoh antagonis seorang pembunuh berantai dan pilihan senjatanya tidak lebih dari sekedar alat pemotong biasa semacam pisau, kapak, pedang, atau gergaji mesin.
.
Karena natur emosinya yang sedemikian ekstrem, bisa dilihat bahwa penggemar gore adalah marjinal. Mereka sering kali teraglomerasi pada kelompok-kelompok kecil subkultur, bahkan sejak jaman dulu. Salah satu penyedia "hiburan" bagi kaum pencinta gore yang paling terkenal, Le Théâtre du Grand-Guignol, sudah beroperasi dari tahun 1897, di Jalan Chaptal, daerah Pigalle, Paris. Grand-Guignol, begitu ia seringkali disebut, merupakan suatu teater yang menyediakan pertunjukan drama dengan cerita yang brutal dan amoral. Konon katanya, beberapa penonton pingsan dan muntah pada saat pertunjukan. Dan bagi Grand-Guignol itu tandanya drama mereka sukses.



Pada era internet ini, penggemar gore menemukan suaka di berbagai forum internet. Misalnya pada image board 4chan, Charon Boat, Ogrish, LiveLeak, atau subforum Disturbing Picture pada Kaskus serta r/gore pada Reddit. Ada sebagian orang yang bahkan tertarik untuk melihat film pembunuhan aktual, seperti cuplikan video amatir konflik Sampit atau video pembunuh berantai dari Dnepropetrovsk, Ukraina, yang diberi judul "3 Guys 1 Hammer" oleh para /b/tards (saya tidak merekomendasikan Anda untuk mencari klip ini, karena apa yang Anda lihat adalah adegan pembunuhan yang nyata). Jarang sekali bagi gore untuk muncul dan populer di perfilman mainstream, meskipun Dawn of the Dead, The Evil Dead, Saw, Rumah Dara, Hostel, serta serial TV Spartacus: Blood and Sand masing-masing menikmati kesuksesan baik secara finansial maupun dalam resepsi para kritikus film. Beberapa film gore lainnya semacam The Human Centipede hanya menjadi film-film kategori B yang dicerca oleh kritikus dan gagal secara finansial.

Hal ini bisa dimaklumi, karena konvensi perfilman umum (jika memang ada) menahbiskan bahwa film gore itu unwatchable - tidak bisa ditonton. Namun kita semua yang menontonnya melanggarnya bak Adam dan Hawa yang memakan buah terlarang. Dan ternyata saya menemukan bahwa film gore memang tidak monolitik. Ada banyak tema yang pernah dieksplorasi di dalamnya, bahkan pada film-film yang bukan arus utama dan dianggap cult. Cannibal Holocaust (1980), misalnya, mempopulerkan genre found footage/mockumentary yang lantas secara sukses ditiru oleh The Blair Witch Project dan Paranormal Activity. A l'interieur (2007) dalam subteksnya bercerita tentang obsesi dan perasaan kehilangan seorang ibu yang mengalami keguguran. Men Behind the Sun (1988), yang berdasarkan kisah nyata Perang Dunia II, bercerita tentang kejahatan perang dan kengerian eksperimentasi pada manusia oleh Unit 731. Yang lain, seperti film pendek Cutting Moments (1999), sangat mengganggu perasaan saya karena dengan subtilnya menggambarkan keadaan sebuah keluarga yang sangat disfungsional. The ABC of Death (2012) - proyek antologi 26 film pendek kolaborasi 26 sutradara yang masing-masing diberi satu huruf untuk dibuat film - juga memiliki beberapa film dengan premis yang menarik; misalnya bagian L is for Libido karya sutradara Indonesia, Timo Tjahjanto. Meski begitu, ada juga yang pure violence semacam Murder-Set-Pieces (2004) dan August Underground’s Mordum (2003) yang membuat saya menyesal telah mengunduh dan menontonnya.

Sebuah film gore, jika dia hendak muncul di arus utama seperti Saw, maka harus memberikan suatu sense of unrealism, sebuah sensasi yang menegaskan pada pemirsanya bahwa ia hanyalah film fiksi, dan bukannya snuff film. Ia harus menjadi simulakra yang tidak hendak merangsek perlahan-lahan menggantikan kenyataan. Manusia suka jika dia masih mempunyai perasaan bahwa dia masih memegang kendali atas situasi, termasuk kendali atas rasa takutnya sendiri. Maka ketika suatu gore menjadi terlalu nyata, dan ketika si protagonis menjadi terlalu helpless, orang akan berpikir jika hal tersebut bisa terjadi padanya dan tidak mungkin baginya untuk melawan keadaan. Film gore juga hendaknya memiliki proporsi - menjadi brutal namun tetap berseni. Sehingga, orang yang menontonnya tidak perlu merasa bersalah setelah menonton film yang alih-alih berseni, malah terlihat sadistik bak menonton video nyata buatan seorang psikopat. Itulah mengapa beberapa film gore berakhir menjadi film-film samar (obscure) yang ditonton oleh sebagian kecil orang saja.



Milan Kundera pernah menulis dalam bukunya, "Unbearable Lightness of Being" bahwa: 

"The aesthetic ideal of the categorical agreement with being is a world in which shit is denied and everyone acts as though it did not exist. This aesthetic ideal is called kitsch. … Kitsch is the absolute denial of shit, in both the literal and the figurative senses of the word; kitsch excludes everything from its purview which is essentially unacceptable in human existence".

Mungkin film gore adalah sebenar-benarnya perlawanan terhadap kitsch. Lewat wujudnya yang dianggap sebagai sampah estetika, kita sejenak tercengang dan melihat bahwa hidup (dan kematian) adalah sesuatu yang alih-alih sakral, merupakan sesuatu yang profan, yang fana. Kita terguncang, kita bergidik ngeri melihat momen-momen brutal dalam klimaksnya, tapi kita menikmatinya. Kita menikmati sebuah kehidupan yang dilecehkan sampai kepada titik absurditas.  Pada akhirnya, film gore adalah "[...] a perverse sublime." menurut seorang kritikus dan feminis, Cynthia Freeland. Stephen King, dalam apologinya untuk film Hostel, mengatakan "sure it makes you uncomfortable, but good art should make you uncomfortable." Akan tetapi, saya tidak begitu yakin apakah Cynthia Freeland dan Stephen King sudah pernah menonton August Underground’s Mordum atau belum.

Sunday, October 27, 2013

To My Daughter

If you read this letter one day, it will mean that probably I am not on your side. I probably am not near you while you almost fall asleep, to sing you lullabies; to brush your hair lightly while reciting magical tales from the faraway lands. I'm afraid, when you read this, I am thousand miles beyond our home. But, my dear, you will know by this letter of how much I love you. And how much it tears my heart apart, knowing that you can't see by your eyes a father who loves you and who is fond of you.

Dear love,
Your dad is not a man who always acts as he thinks best nor remains faithful to his dreams. And worse still, not only my dreams, but I also sacrifice you and your mom. By now you might often wonder, "Why is my dad not here like my friends' dads?" And I can only think of how painful you think of our family as incomplete. Or how you are longing for the chances that we go to the zoo together, laughing at the clumsy giraffe, or perhaps complaining why they have to keep the tiger inside the steel cage when you think it should belong to the African jungle as you read it on the book.

Dear my beloved daughter,
The truth is, your father is the tiger. Locked in a steel cage called "job". As the tiger trade its freedom to roam the jungle so that the zookeepers have money for their family to buy food, your dad gave away his freedom so that our family have money, too. For you, for your mom, and occasionally for your grandparents. But unlike the tiger who is there against its will, I gave it to the government by choice.

Right now you probably are mad at me. Perhaps thinking of how silly I am to give up my dreams. I can understand that, dear. But I don't expect you to understand my decision. Instead, of this I tell you, let me be locked, but you must be there free in the jungle. Do not let them lock your dreams. Be the fiercest tigress ever in the jungle.

You must remember, that even though the tiger is locked, you must not thoughtlessly go near it, as it may hurt you. It may be locked, but at its mind it is still tiger, with its ferocious quality. And so is dad still keeps some of his dreams with him. Nothing can prevent dad from thinking about things beyond my measly job as government officer. So should you, dear, since the world is not your limit. You must think beyond that. You must go beyond the stars to the edge of the universe. Do not stop learning. Do not stop reading, even though I am not there to guide you. Be always curious of how this world works. One day, when I come home, I will tell you of how wonderful this universe is. I hope you will be interested by it, and build your dreams from it. And only by keeping and fulfilling your dreams you can be the best tigress, even much much better than dad and mom. Of this I endlessly hope for you.

Dear love,
To be the best tigress in the jungle, remember, you must be humble. Be kind and compassionate to others, especially to those who are weak and oppressed. Be sensitive to injustice committed against anyone anywhere in this world. You must - at the words of a poet, Rudyard Kipling - be able to talk with common people and keep your goodness and walk with kings without losing your humility. Do not dislike people because of their skin colors, or where they come from. Do not hate persons because of their religions, or because they love person with the same genders unlike your dad loves your mom. Do not like to avenge, forgive those who hurt you instead.

Be the best not because I told you to, but be the best because of you yourself think that this is good. You may not be proud of your dad's unimportant job, but you must be proud of yourself as I am always and always will be proud of you.

The jungle there awaits for you, dear. And soon, the stars above.

Give my kisses and hugs to mom.

With love,




Dad

Thursday, October 10, 2013

The Emergence of Banal Evil

The day was Thanksgiving. A quiet Pennsylvania suburb was soaked by rain. The air was damp, with grey, disconcertingly cold, and sombre nuance. The trees were bare and stripped of their leaves, welcoming the winter. Enter two families, The Dovers and The Birches. Warmth radiated from these neighbors, exchanging fresh deer meats shot in the opening scene by the older kid of Dovers family, Ralph (Dylan Minnette) with traditional turkey-based Thanksgiving banquet. And what you see next is just typical friendly banters between two very normal families. Franklin Birch (Terrence Howard), asked Keller Dover (Hugh Jackman) and Grace Dover (Maria Bello) to request songs so that he can play with his rudimentary trumpet skill. While Franklin's wife (Viola Davis) sat next to him in jovial undertones. The youngest of both families, Joy (Kyla Drew Simmons) and Anna (Erin Gerasimovich) asked to play outside. The parents are reluctant at first, but then permit them as long as they were accompanied by their older siblings, Ralph and Eliza (Zoe Borde). Ralph and Eliza dragged them away from a suspicious RV. After that Joy and Anna ask to go to the Dovers' residence, to find Anna's lost red whistle. This time, they went without their older siblings. And they were missing. They weren't on Dovers' house. The Dovers and Birches searched frantically on their neighborhood. Ralph then pointed out the aforementioned suspicious RV as the potential suspect, but now it was already gone.

Detective Loki (Jake Gyllenhaal), the local ace detective, led the investigations. He and some police finally located the van and arrested the driver, who turned out to be a man in his late twenty but with 10-year-old-kid mentality, Alex Jones (Paul Dano). The lack of evidence forced the police to release Alex. Keller, in his desperation and distrust to police's capability, decided to hold Alex captive and torture him to get an answer. Meanwhile Detective Loki, cursed by his perfect "always solved" record little by little succumbed to his own personal demon. He slowly fell into obsession as the trails to find the girls were becoming more obscure.

And that was "Prisoners", a quasi-police procedural thriller by Denis Villeneuve. Villeneuve masterfully crafted "Prisoners" in dreary atmosphere not unlike Clint Eastwood's "Mystic River" or David Fincher's "Zodiac" and "Se7en". In fact, I thought Gyllenhaal's portrayal of obsession-ridden detective quite reminiscing to his Robert Graysmith character in "Zodiac". Jackman, however, reminded me of Jimmy Markum (played by Sean Penn) in "Mystic River"; a dad who gradually descends to moral anarchy in the wake of losing his beloved daughter. Howard, Davis, and Bello each acted superbly as depression started to cripple them all. Paul Dano, while not memorable, performed decently, too.

The music was minimal, almost none, even. If Susan Hill said "short story is unforgiving form", then criminal procedural series like "Law and Order" and "Criminal Minds" suffer from this short period of storytelling. Conflict resolved too fast, and the victims' characters are rarely explored in-depth. But "Prisoners" is on the right amount. It will imprison your attention, stealing your breath with each revelations that unfurls. Some of you will exit the cinema a little bit drowsy and worn-out. It is, in my opinion, one of the most emotionally exhausting neo-noir films in the last 5 years.



 "Prisoners" sparks again the memory of post-9/11 USA, with the torture-crazed administration, Abu Ghraib, and whatnots. Unlike, the series "24",  the film "Zero Dark Thirty" or "Unthinkable", the torturer in "Prisoners" is not a government agency. The torturer is a more-or-less a normal human being. A human being without political leaning and fascistic jingoism. "Prisoners" is a more harrowing allegory for us, precisely because it is an "intuitive pumps", an easy-to-chew "ticking bomb scenario" narrative unlike those hodge-podge thought experiments. It dares to ask us, "what will you do if you were Keller Dove?" while not depriving us of the thick descriptive details of both the torturer and the tortured. Alex Jones was not "masked" to make us less sympathetic to him. His scars and bruises were shown vividly. His tearful eyes were heart-wrenching. Even more so,  Jones, an unfortunate man with mental retardation, might be the worst possible victim ever chosen for torture. Keller, essentially, had tortured a kid. And it is easier for us to relate to Mr. Dover, a generic family man, than imagining us to be the person in charge of Guantanamo or CIA. The image of a family man who tortured a mentally retarded man sure will agony to our moral sense.

It is more disconcerting, as so many of us were like Keller. Sure, Keller might be championing machismo, fervent religiosity, and doomsday prepper mentality. But deep down he was pressured by his own thought. His conscience was never really dead. He was drown in compunction, justifying his actions as nothing more than just desperate measures in desperate time. He repeatedly told Jones "Where is she? I promise, I'll let you go!" There was one scene when he recited Our Lord's Prayer before applying torture, then cried on the line "...and forgive us our trespasses." He couldn't continue saying its following phrase, "...as we forgive those who trespass against us" as he saw his humanity crumbled before him. He was unable to forgive those who trespass him.

Keller is the very embodiment of Hannah Arendt's "banality of evil." This banality means two things. One, is that cruelty becomes so prevalent that what is once considered cruel, might evolve as something that is being perceived as normal; that our collective conscience is numbed. But it can also mean the second thing, that is, the isolated cases of evil things committed by people who in our judgment would never commit such atrocity. The trouble with Keller was he, and the many, were neither perverted nor sadistic. Those who committed banal evil they were, and still are, terribly and terrifyingly normal. "This normality", warned Hannah Arendt, "was much more terrifying than all the atrocities put together." Because if the so-called "normal people" supported torture, then what is left from us to be the vanguard of ethics and morality and humanity? No need to stretch our imagination, even Americans are more pro-torture now than during Bush's era. And what about some people who neither oppose nor support torture like Franklin and Nancy Birch? This is another face of banal evil, those who intend to enjoy the apparent "security" acquired from torture, but refuse to get their hand dirty. They know that it is wrong, but opt to piggyback it as free-riders.
All that is necessary for the triumph of evil is that good men do nothing. And Elie Wiesel warned us that ambivalence and neutrality "helps the oppressor, never the victim."
Neutrality helps the oppressor, never the victim.
Read more at http://www.brainyquote.com/quotes/authors/e/elie_wiesel.html#7cXF2j2eJoo5ILIf.99
Neutrality helps the oppressor, never the victim.
Read more at http://www.brainyquote.com/quotes/authors/e/elie_wiesel.html#7cXF2j2eJoo5ILIf.99
Neutrality helps the oppressor, never the victim.
Read more at http://www.brainyquote.com/quotes/authors/e/elie_wiesel.html#7cXF2j2eJoo5ILIf.99



Machiavelli once wrote in "The Prince": "...and in the actions of all men [...] one judges by the result." As all ticking bombs scenario, the usage of torture is the millenia old question of whether the ends justify the means. But is torture effective enough for us to justify the means?

In some cases, victims can even keep remarkable amounts of information hidden for days or weeks, or even spewed gibberish or outright lies. During World War II, American pilot Marcus McDilda tricked Japanese interrogators by saying the US was about to drop atomic bombs on Kyoto and Tokyo. In 1944, Gestapo officers subjected conspirator Fabian von Schlabrendorff to 4 weeks of tortures by metal spikes and beatings so severe he suffered a heart attack. But Fabian broke his silence only to give the Gestapo a few scraps of vague information when he feared involuntarily blurting out serious intelligence. There was also the case of Abdul Hakim Murad. For 67 subsequent days, Filipino police beat Murad, broke his ribs, burnt his genitals with cigarettes, subjected him to water-boarding, laid him out on an ice block, and pumped his stomach with water, but nothing out of his coercion resulted in a clear cut plan told to the investigators. In fact, his plan was uncovered from the computer seized from his apartment in Manila instead. Keller was not stupid, but he was in sheer thoughtlessness - something by no means identical with stupidity. And indeed, torture is never the panacea thought by Keller to solve his problem. His humanity has gone, and gone for wrong and futility. Without giving away the ending, what Keller did to Alex Jones not much advanced the investigation and search for the missing girls.

It disturbs me (thankfully "Prisoners" is fictional) when the question whether Keller will go to prison is answered "maybe" by a legal authority figure. For me, the question of torture must turn from individual ethics to law and public policy realm. Laws against torture should be enforced in all cases. A plea in mitigation might be considered only in cases with a proven urgent and immediate danger and massive impact, akin to ticking bomb scenario. Then, it must be followed by a voluntary confession by the officers doing the torture. But even so, the torturers should be removed from their job and spend some time in prison. I think this can be defended from a wide variety of ethical or metaethical perspectives. But the intuition is simple: if the situation is grave enough to warrant resort to torture, it’s certainly grave enough to oblige someone to take actions that will result in losing their job and going to jail.

But even if we win the battle (or find the missing girl) but lose our humanity then what have we really won? How do we pay justice to those whom we torture - for whatever reason? What if we torture an innocent person? How can we fix the damaged soul of the wrongfully tortured? What atonement must we endure to redeem our wrongdoing? It is the core message of this disturbing film: the losing of humanity and the emergence of banal evil.

And in the end, it is the inability to forgive one's self that gives rise to obsession and unhealthy fixation. In this case, Keller couldn't forgive himself for his failure to protect his family (exacerbated by his own machismo and his wife's depressive complains). He then projected his innate anger to Alex Jones. Loki, on the other hand, couldn't forgive himself as his perfection demanded that he solve this case. And it drove him crazy. It drove him into tantrum.

Forgiveness is hard. Jacques Derrida was right. To be able to forgive is to be able to forgive the impossible. Forgiving can never be finished or concluded – it must always be open, like a permanent rupture, or a wound that refuses to heal. And nothing is almost impossible as forgiving one's self for making failure. However, it is the only way for us to escape from our personal prison.

Sunday, September 15, 2013

Critique of Pure Inaction

Tidak ada institusi yang benar-benar utopis, tidak juga institusi di tempat saya kuliah (STAN) maupun di tempat saya bekerja (Kemenkeu). Jika Anda tidak benar-benar mengalami masuk di dalamnya, tentu Anda akan mengamini adagium klise nan menyedihkan semacam "anak STAN idaman mertua" dan sebagainya dan sebagainya. Beruntung, ada orang-orang di dalamnya yang berani mengungkapkan pandangan dissenting mengenai realita institusi ini, yang tidak melulu indah di kanan kirinya. Simak tulisan Elan Sanurihim Ayatuna, yang membuka mata tentang kuliah di STAN yang tidak "bertabur bunga" seperti yang orang kebanyakan kira. Asimetri posisi tawar seperti ini adalah harga yang mesti dibayar bagi mereka yang memutuskan untuk berkuliah di sini, bahkan sampai setelah lulus dan bekerja sebagai pegawai negeri. Tulisan Farchan Noor Rachman ini menyingkapkan susahnya mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan, sementara Gita Wiryawan berusaha mencelikkan mata Anda tentang realita penempatan yang harus siap dijalani ketika lulus nanti. Di lain sisi, sama seperti Mas Farchan, El-Bantani menulis tentang sebuah PMK yang membonsai otak-otak cemerlang yang terpaksa gigit jari karena tidak bisa lebih lanjut mengembangkan diri.

Cerita-cerita di atas bukanlah kejadian terisolasi. Sudah banyak cerita, keluh kesah, anekdot, dan tetek bengek lainnya, yang dituliskan di blog, status Facebook, Twitter, maupun yang tidak; baik dari jaman dulu maupun sekarang. Keluh kesah semacam ini tentu tidak bisa dikuantifikasi bak survei untuk menjatuhkan putusan secara empiris bahwa institusi kami adalah institusi yang tidak baik. Tidak. Akan tetapi, Anda bisa lihat, bahwa ada yang salah dalam beberapa hal di tempat ini.

Adalah ironis, di tengah gaung reformasi birokrasi, dan Nilai-nilai Kementerian Keuangan yang selalu didengungkan, masih terdapat ketidakpuasan dari para pemangku kepentingan internalnya. Adalah menyedihkan, jika ada satu-dua peraturan yang dikeluarkan tanpa pernah ada kejelasan mengapa peraturan itu perlu ada. Seorang filsuf besar, Immanuel Kant, pernah menulis tentang bagaimana pemerintah seharusnya membuat kebijakan dalam bukunya yang berjudul "Perpetual Peace": “All actions relating to the right of other men are unjust if their maxim is not consistent with publicity”, semua perbuatan yang terkait dengan hak orang lain adalah tidak adil, jika prinsipnya tidak sesuai dengan publisitas. Publisitas di sini maksudnya adalah transparansi, sebuah penjelasan yang dikomunikasikan kepada mereka yang diatur. Jika boleh mengambil satu contoh, saya sendiri sampai sekarang tidak pernah mengerti kenapa UPKP* dihapuskan. Alasan peraturan ini mengada tidak pernah jelas, sementara implikasinya begitu masif, yaitu meskipun kami yang lulusan D3 ini mengambil kuliah ekstensi S1, ijazah S1 tadi tidak diakui. Kita tidak naik pangkat dan tetap menjadi lulusan D3 di mata pemerintah.

Jika saya boleh mengambil satu contoh lagi, yaitu tentang rekrutmen pegawai. Pada tahun 2011 dan 2012, STAN memutuskan tidak membuka pendaftaran untuk program D3-nya. Yang saya dengar dari mulut ke mulut, alasannya adalah karena terjadi penggembungan di tengah pada formasi pegawai, yang terlalu banyak diisi oleh D3 dan S1. Namun entah mengapa, pengangkatan S1 dari luar STAN tetap berjalan, sementara anak D3 yang hendak mengambil S1 malah terganjal oleh peraturan yang meniadakan UPKP. Hal-hal semacam ini - meskipun bukanlah sebuah hal yang menyangkut rahasia jabatan atau rahasia negara - tentu tidak Anda ketahui jika Anda tidak benar-benar ingin tahu tentang seluk beluk institusi ini. 


Para penulis yang saya sebutkan tadi bukannya tanpa kecaman. Beberapa orang menuduh mereka tidak bersyukur sudah diberi kesempatan untuk sekolah gratis dan jaminan mendapatkan pekerjaan. Yang lain, dengan entengnya menyarankan agar mereka keluar saja dari institusi ini. Kepada ini saya ingin menjawabnya.


Yang pertama, bahwa sikap bersyukur adalah tidak mutually exclusive dengan menyuarakan kritik. Tentu kami semua bersyukur telah diberi kesempatan seperti ini, di saat banyak yang lain tidak lolos melewati ujian saringan masuknya. Akan tetapi, bersikap ignoran dan tak acuh terhadap keadaan yang belum sepenuhnya bagus adalah sebuah kebutaan yang disengaja, dan lagi, tidak konsisten dengan semangat reformasi birokrasi Kementerian Keuangan. Apakah kita akan berkata kepada Sri Mulyani, "Anda itu tidak bersyukur!" ketika beliau hendak memperbaiki institusi kita? Apakah Anda akan menyalahkan orang-orang yang berdemo terhadap pemerintah yang lalim dan melabeli mereka sebagai orang-orang yang tidak bersyukur? Apakah Anda akan mengutuk para whistleblower? Tidak bukan? Kita semua merindukan upaya perbaikan yang terus-menerus di segala bidang - sebuah kesempurnaan - jika boleh menukil poin kelima dari Nilai-nilai Kemenkeu.

Bahkan, dalam tinjauan agama sekalipun, kritik adalah suatu hal yang penting, dan tidak melulu merupakan perwujudan rasa tidak bersyukur. Yesus, misalnya, pernah mengungkapkan kritiknya** kepada pemuka Farisi yang lalim: "Celakalah kamu [...] di sebelah luar kamu tampaknya benar di mata orang, tetapi di sebelah dalam kamu penuh kemunafikan dan kedurjanaan." Nabi Muhammad sendiri, dalam sebuah hadits*** pernah bersabda: "Jihad yang paling utama adalah mengutarakan perkataan yang adil di depan penguasa atau pemimpin yang zhalim." Ungkapan syukur tidak seharusnya direduksi menjadi sebuah ungkapan kemalasan berpikir dan inaksi.

Yang kedua, bagi mereka yang menyarankan untuk keluar saja adalah tidak lebih dari sekedar patung hidup yang masokis. Saya yakin, pada suatu waktu tertentu, mereka tentu saja pernah dikecewakan oleh orang tua, atau negara, atau siapapun/apapun itu. Lantas, saya ingin menantang mereka, apakah mereka mau meninggalkan keluarganya, hanya karena pernah berselisih paham dengan keluarganya? Apakah mereka mau pergi ke luar negeri, di saat tidak ada sambal tersaji di rumah karena harga cabai dan bawang yang melambung tinggi? Pergi meninggalkan sesuatu yang mengecewakan tidak akan pernah membawa perbaikan apa-apa, alih-alih, malah semakin melanggengkan keburukan yang ada padanya. Sama saja kita mengusir orang-orang yang beritikad baik, yang mencoba memberitahu kita bahwa ada sesuatu yang salah yang mungkin tidak tertangkap mata. Solusi macam ini adalah tipikal orang-orang bebal, yang mengira dengan pindah ke bulan atau Mars di mana tidak ada yang bisa mengecewakan kita maka semua akan baik-baik saja. Tentu, ini merupakan sebuah reductio ad absurdum dan juga sebuah sesat logika straw man, tapi, alur berpikir yang dipakai tetap sama (hanya saja saya membawanya ke level yang lebih ekstrem).

Kritik-kritik kepada birokrasi akan terus ada, selama masih ada yang dapat diperbaiki dari padanya. Tidak seharusnya kita memberi disinsentif kepada mereka yang mau meluangkan waktu berpikir demi sebuah perbaikan. Adalah sebuah omong kosong besar, jika kita memuja gelar agent of change yang disematkan kepada kita saat kita masih menjadi mahasiswa baru, namun lantas mencemooh mereka yang masih menghidupi semangat tersebut bahkan ketika mereka sudah lulus dan bekerja. Jika memang polemik, kontroversi, dan gonjang-ganjing adalah sebuah keniscayaan yang mengantar kita pada revolusi, maka demi reformasi birokrasi di institusi tercinta kita ini, biarlah pikiran kita terus teragitasi.



------


Post Scriptum:


* Ujian Penyesuaian Kenaikan Pangkat


** Baca Matius 23: 27-28

*** Dari Abu Said Al Khudri. HR. Abu Daud, Kitab Al Malahim Bab Al Amru wan Nahyu, No. 4344. At Tirmidzi, Kitab al Fitan ‘an Rasulillah Bab Maa Jaa’a Afdhalul Jihad …, No. 2265. Katanya: hadits ini hasan gharib. Ibnu Majah, Kitab Al Fitan Bab Al Amru bil Ma’ruf wan nahyu ‘anil Munkar, No. 4011. Ahmad, No hadits. 10716. Dalam riwayat Ahmad tertulis "kalimatul haq" - perkataan yang benar. Syaikh Al Albani menshahihkannya dalam Misykah Al Mashabih, No. 3705

Wednesday, February 6, 2013

Tentang Ketidaktahuan dan Ketidakmungkinan (Bagian II)

"ἓν οἶδα ὅτι οὐδὲν οἶδα."(I know that I know nothing.)
Socrates
Pada bagian pertama, saya sudah menceritakan tentang apa-apa saja yang tidak mungkin dijangkau oleh pengetahuan manusia. Bagi pembaca yang merasa tulisan saya terlalu jumpy di beberapa bagian, saya mohon maaf, itu karena saya sengaja memotong penjelasannya. Bukan karena saya merendahkan pengetahuan pembaca, melainkan karena saya merasa penjelasannya terlalu melelahkan untuk dibaca. Dan saya tidak mau maksud saya untuk semata-mata bercerita tertutup dengan analisis yang terlalu exhaustive.

Pada bagian kedua, sebagai tulisan terakhir bagi #7HariMenulis, saya akan membawa Anda ke ranah filsafat, untuk melihat apa yang pernah dicetuskan para filsuf mengenai pengetahuan. Tidak, tidak, saya tidak akan membawa Anda kepada Hegel, Popper, atau Kuhn. Saya akan membawa Anda kepada hal yang lebih dasar dari filsafat tentang pengetahuan itu sendiri, yakni kemampuan untuk mengetahui sesuatu.

Dahulu sekali, seorang filsuf bernama Aristoteles, mencetuskan bahwa apa yang kita ketahui atas dunia ini terbagi dalam dua hal: fenomena dan noumena. Fenomena adalah pengetahuan subjektif kita, yang kita ketahui lewat pengalaman dan panca indera. Sedangkan noumena adalah esensi dari segala sesuatu, the thing in itself. Ia merupakan realitas yang objektif dan ultimate. Jika rokok (serta bentuk, bau, dan rasanya) adalah fenomena, maka noumena adalah ke-"rokok"-an dari sebuah benda yang kita namakan rokok itu sendiri. Bingung? Saya sendiri juga bingung. Kita mengenal dunia dengan cara mengkategorisasikan fenomena; noumena itu sendiri tidak bisa dicapai oleh pengetahuan manusia, dan karenanya, ia merupakan sesuatu yang asing bagi kita.

Rene Descartes sendiri pernah mengeksplorasi tentang ide ini lebih jauh. Ia mengungkapkan, karena kita tidak bisa mengetahui apakah objective reality benar-benar ada atau tidak, maka satu-satunya yang bisa kita ketahui dengan pasti adalah pikiran kita sendiri. Selain itu, realitas mengenai dunia ini semata-mata hanyalah asumsi, konjektur, hal yang unwarranted. Anda tentu familiar dengan ungkapan, "Aku berpikir, maka aku ada" bukan? Descartes menandaskan, bisa saja sebenarnya dunia yang kita tinggali ini tidak nyata; semacam The Matrix atau permainan komputer The Sims. Inilah yang disebut dengan paham solipsisme. Bertrand Russell sendiri membantah habis-habisan teori ini dan menganggapnya self-defeating. Seseorang yang berpikir kalau dunia ini hanyalah sesuatu yang ada di dalam pikiran, namun di saat yang sama bisa mencetuskan ide tentang solipsisme, sama saja dengan mengimplikasikan bahwa solipsisme itu hanya rekaan pikiran saja, alias tidak nyata.

Immanuel Kant membawa ide ini kepada ranah yang berbeda, pada debat tentang kehendak bebas dan determinisme (yakni tentang apakah yang kita lakukan di dunia ini murni karena kehendak bebas atau karena ditentukan oleh alam). Kant menjelaskan, mustahil untuk menjadi sepenuhnya bebas, karena untuk menjadi bebas, manusia harus pergi melangkah keluar dari hukum alam. Sementara, hukum alam seperti yang kita tahu, adalah mengenai pengalaman dan fenomena serta bekerja secara deterministik. Kita tahu gravitasi bekerja, karena kita mengalami rasanya jatuh dan melihat benda-benda yang dilempar akhirnya jatuh ke bumi. Kant berkata kal mungkin benar semua pengalaman kita adalah deterministik, karena memang seperti itulah cara kita memahami dan mengorganisasi pengetahuan kita tentang dunia ini. Sementara itu, esensi dari kebebasan itu sendiri tidak terjangkau; ia ada di luar hukum alam. Paham ini pun diamini oleh Jean-Paul Sartre.

Lalu, bagaimana cara kita bekerja jika kita tidak pernah benar-benar merasa yakin tentang apapun?

David Hume mencetuskan tentang operation of understanding berdasarkan dua hal. Pertama, relations of ideas. Relation of ideas adalah hal yang sederhana dan dapat dibuktikan tanpa perlu menjustifikasinya dengan pengalaman apapun. Contohnya, matematika. Jika a = b, dan b = c, maka a = c. Sederhana, dan pasti.

Yang kedua adalah matter of fact. Matter of fact memerlukan pengalaman untuk menjustifikasinya. Berpikirlah tentang gravitasi sekali lagi. Tidak mungkin bagi kita untuk merasionalisasi eksistensi dari gravitasi, tanpa mengalami gravitasi itu sendiri. Siapa tahu jika besok konstanta gravitasi berubah dan gravitasi tidak bekerja lagi? Tidak ada satupun pernyataan logika dan matematika yang mengharuskan bahwa ketika kita melempar benda ke atas akan selalu jatuh ke bawah, selamanya dan akan selalu seperti itu. Tidak ada kontradiksi logika atau matematika jika tiba-tiba gravitasi bumi menjadi tiga puluh kali lebih kuat - bumi hanya akan bekerja dengan cara yang berbeda. Apa yang kita pikirkan di waktu sekarang tentang masa depan (termasuk sedetik yang akan datang), tidak bisa lepas dari asumsi bahwa alam semesta di masa depan bekerja dengan cara yang sama seperti masa lalu. Dengan kata lain, ekspektasi. Meski begitu, hanya karena kita tidak tahu tentang masa depan, bukan berarti Anda lantas tidak menghindar ketika Anda dilempar batu, dan alih-alih sibuk meyakinkan diri bahwa, "Ah, siapa tahu sepersekian detik lagi hukum fisika berubah dan batunya tidak mengenai saya." Atas dasar ekspektasi inilah, pengetahuan tentang dunia kita lantas dibuat.

Ludwig Wittgenstein sendiri menyigi pengetahuan dengan cara yang berbeda. Jika orang tidak benar-benar yakin apakah gravitasi itu ada dan nyata, menurutnya, tidak ada yang bisa dilakukan untuk meyakinkan orang tersebut sebaliknya. Pernyataan "gravitasi itu nyata" bukanlah klaim tentang bagaimana dunia bekerja, melainkan sebuah ruang untuk diskusi. Tidak ada lagi yang bisa dibahas ketika sesuatu yang begitu sederhana seperti keberadaan gravitasi diragukan habis-habisan. Skeptisisme mutlak meniadakan fondasi bagi pemahaman kita, dan menggantinya dengan sesuatu yang pada akhirnya melumpuhkan pengetahuan. Tentu saja, fondasi pengetahuan bisa berubah. Namun, akan selalu tetap ada fondasi di bawah, dan fondasi tersebut lah yang memungkinkan kita to talk about the world in a meaningful way.

Dan, pada akhirnya, pengetahuan bercabang menjadi dua aliran: empirisisme dan rasionalisme. Rasionalis berangkat pada posisi bahwa kita memiliki pengetahuan, dan pengetahuan itu berangkat dari ide. Seperti matematika dan logika. Tidak ada fakta empiris yang menerangkan kalau 1 + 1 = 2, karena semuanya berdasar pada ide tentang apa itu "1", "+", "=", dan "2". Akan tetapi, rasionalisme terjebak untuk menjelaskan fenomena seperti gravitasi, di mana kita memang harus memverifikasinya dengan suatu bukti yang empiris. Misalnya, ketika kita melihat apel yang jatuh. Pengetahuan tentang gravitasi tidak bisa semata-mata dibangun dari ide. Observasi datang terlebih dahulu, baru rumus matematikanya datang belakangan. Maka muncullah paham empirisisme.

Empirisisme menerangkan kalau pengetahuan harus dapat dibuktikan. Ia menolak habis-habisan metafisika, teologi, dan etika, karena mereka tidak bisa dibuktikan secara empiris. Meskipun begitu, empirisisme terjebak pada pernyataan mereka sendiri: "pernyataan yang tidak bisa dibuktikan tidak berarti apa-apa." Bagaimana cara membuktikan kebenaran dari statement tadi? Self-defeating lagi, bukan? Belum lagi argumen Karl Popper yang menyebutkan bahwa kita tidak bisa membuktikan suatu hipotesis benar; kita hanya bisa membuktikan apakah ia ditolak atau dapat diterima. Anda yang belajar statistik tentu paham benar tentang hal tersebut. Contohnya yang lain lagi, kita bisa membuktikan kalau fisika klasik Newton salah pada level kuantum, karena kita melihat ada banyak fenomena yang tidak cocok dengan penjelasannya. Akan tetapi, kita tidak bisa secara konklusif menyatakan kalau relativisme itu selalu benar. Bagaimana jika nanti ia terbukti salah? Pada akhirnya, conclusiveness dari suatu pernyataan tidak dapat benar-benar dibuktikan.

Begitulah. Pengetahuan selalu akan diikuti oleh ketidaktahuan dan ketidakmungkinan yang lain. Debat seperti ini sudah berlangsung puluhan, ratusan tahun dan sepertinya tidak akan ada habisnya. Perkembangan pengetahuan tetap berjalan, dan bahkan semakin pesat. Tidak peduli apakah fondasinya kuat atau tidak. Karena jika kita berhenti menyelidiki hanya karena kita tidak tahu pasti apakah intuisi kita ini benar atau tidak, maka umat manusia akan berhenti berkembang dan peradaban akan hancur. Tentu, pengetahuan telah beberapa kali membawa kita pada kehancuran, misalnya pengetahuan kita tentang atom yang membawa kita pada senjata pemusnah massal. Namun, seringkali, ia membawa kita kepada pencerahan.

Maka dari itu, jangan berhenti berpikir, jangan berhenti bertanya, dan jangan berhenti menyelidiki hanya karena kita tidak pernah benar-benar mengerti tentang semua yang ada di dunia ini. Kata Pramoedya Ananta Toer, "[M]anusia pun bisa mengusahakan lahirnya syarat-syarat baru, kenyataan baru, dan tidak hanya berenang di antara kenyataan-kenyataan yang telah tersedia."


Teruntuk #7HariMenulis. Didedikasikan juga kepada Pramoedya Ananta Toer yang hari ini berulang tahun.

Tuesday, February 5, 2013

Tentang Ketidaktahuan dan Ketidakmungkinan (Bagian I)

"There are known knowns; there are things we know we know.
We also know there are known unknowns; that is to say we know there are some things we do not know.
"
Donald Rumsfeld

Kita hidup pada masa di ilmu pengetahuan mengalami perkembangan yang luar biasa pesat. Bumi kita yang renta ini telah meyaksikan bagaimana paham geosentrisme digantikan heliosentrisme, bagaimana fisika klasik digeser fisika kuantum, bagaimana komputer berukuran 2 x 3 meter digantikan komputer yang tidak lebih lebar dari genggaman tangan. Sains mengalami proses tesis-sintesis-antitesis tanpa henti, melahirkan ide-ide dan penemuan-penemuan baru. Sains membuatkan peta tentang bagaimana dunia ini bekerja: mulai dari level selular sampai biosfer; mulai level quark sampai galactic supercluster. Namun, setelah sejauh ini, adakah hal yang tetap tidak terjangkau (dan tidak akan terjangkau) oleh sains? Ternyata ada. Sains beroperasi dengan cara menganalisa fenomena-fenomena yang terjadi di alam, di mana terdapat banyak batasan fundamental yang bekerja di dalamnya. Batasan-batasan inilah yang akhirnya menghalangi usaha manusia untuk mengkajinya. Lalu, apa saja mereka?

Fisika

Batasan yang paling sering "dilangkahi" oleh para futuris dan pengarang fiksi sains adalah batasan kecepatan cahaya: tidak ada yang bisa melebihi kecepatan cahaya (sampai ada yang bilang bahwa ini adalah hukum Tuhan ke-11). Konsekuensi pertama adalah kita tidak bisa membangun mesin warp drive dan melakukan perjalanan superluminal seperti di serial Star Trek (perjalanan superluminal membutuhkan impossible acceleration dan juga melanggar prinsip kausalitas. Baca juga entri Wikipedia berikut tentang light cone dan spacetime). Konsekuensi kedua adalah karena alam semesta berekspansi dengan kecepatan yang semakin bertambah ketika semakin jauh jaraknya, maka apapun yang berada pada jarak lebih dari 46 miliar tahun cahaya (4 x 10^23 kilometer) dari kita tidak akan pernah sampai cahayanya ke bumi, sehingga tidak akan pernah bisa dideteksi. Inilah yang menentukan jarak pandang terjauh bagi kita di alam semesta.

Batasan yang lain adalah asas ketidakpastian Heisenberg. Asas ini menjadikan mustahil untuk mengetahui posisi dan momentum suatu partikel secara pasti. Asas ini menerangkan bahwa sebelum diukur, keadaan kuantum elektron hanyalah berbentuk probabilitas yang memungkinkan ia berada pada dua tempat atau (superposisi) secara bersamaan. Hal ini menimbulkan perdebatan yang luar biasa mengapa dunia yang kita kenal tampak begitu pasti (walaupun sebenarnya tidak juga). Telepon genggam Anda tidak berada pada dua tempat pada saat yang bersamaan seperti yang kita lihat pada level kuantum, bukan? Akhirnya, muncul dua interpretasi untuk menjelaskan dunia kita: interpretasi Copenhagen dan interpretasi many-worlds. Nanti akan saya jelaskan kapan-kapan, karena tinjauan atas teori ini bisa mencakup hal yang sangat-sangat luas.

Akibat asas ketidakpastian Heisenberg ini juga, kita tidak bisa mendinginkan benda sampai benar-benar mencapai suhu 0 K (-273,15 derajat Celcius). Hal ini disebabkan karena tidak mungkin bagi suatu benda untuk mencapai tingkat energi yang benar-benar 0. Konsekuensi lainnya adalah bahwa pada level yang paling elementer, semesta bekerja secara random, acak. Ini berimplikasi pada, misalnya, ketidakmungkinan kita untuk mengetahui waktu persisnya kapan sebuah atom akan meluruh. Kita hanya bisa memprediksi probabilitas dan rata-rata half-life-nya saja. Anda tentu familiar terhadap konsep kucing yang mati dan hidup pada saat yang sama milik Schrödinger, bukan? Itu merupakan salah satu efeknya.

Masih ada hal yang lain, seperti misalnya mustahil bagi kita untuk membuat mesin yang bisa bergerak sendiri tanpa membutuhkan energi dari luar, karena ia akan melanggar Hukum Kedua Termodinamika. Atau bahwa kita tidak bisa melakukan percobaan di dalam lubang hitam. Atau untuk membuktikan secara empiris keberadaan dimensi ekstra atau string seperti yang dicetuskan oleh string theory; karena untuk membuktikan sesuatu yang begitu kecil (jauh lebih kecil dari quark) dibutuhkan energi yang sangat besar dan ukuran particle collider yang mungkin sebesar galaksi Bima Sakti ini.

Matematika

Teorema ketidaklengkapan pertama dari Kurt Gödel menyatakan bahwa pada suatu sistem matematika yang tidak mengandung kontradiksi di dalamnya, pasti mengandung ekspresi matematis yang tidak bisa dibuktikan dalam sistem itu sendiri. Gampangnya, akan selalu ada statemen matematika yang benar dan konsisten, namun tidak akan pernah bisa dibuktikan - dengan kata lain, aksioma. Dalam perkembangannya, Alan Turing mengembangkan teorema Gödel tersebut untuk merumuskan sesuatu yang musykil untuk dijawab oleh sebuah komputer: halting problem.

Biologi/Sejarah

Seperti yang telah menjadi konsensus para ilmuwan, bahwa kehidupan timbul lewat mekanisme evolusi. Maka, jika dirunut lagi jauh ke belakang sekitar 3,8 milyar tahun yang lalu, ada bentuk kehidupan pertama kali yang muncul dari benda mati. Sayangnya, bentuk makhluk hidup paling dasar (mungkin berbentuk protein tanpa RNA/DNA seperti prion) ini tidak terfosilisasi, sehingga mustahil bagi kita mempelajari mekanisme abiogenesis secara pasti. Ketidaklengkapan jejak berupa fosil juga tidak memungkinkan kita untuk memetakan evolusi secara utuh dan lengkap. Akibatnya, untuk mengetahui makhluk paling awal apa yang memiliki mata yang fungsional, atau kapan sel syaraf pertama kali muncul adalah tidak mungkin, jika bukan sangat sulit. Ketidaklengkapan artefak juga menjadi pembatas bagi kita untuk mengetahui secara pasti hal-hal seperti kapan konsep seperti kata dan kalimat muncul pertama kali dalam sejarah kehidupan manusia, atau untuk tahu seperti apa musik, tulisan, dan tarian yang paling awal dibuat oleh manusia.

Ekonomi

Tidak pernah ada teori yang mampu secara akurat dan absolut menjelaskan tentang ekonomi manusia. Teori seperti ekonometrik terganjal oleh variabel-variabel ekonomi yang tidak terisolasi dengan sempurna, serta ketergantungannya pada data historis yang kerap salah dalam memprediksi masa depan. Teori makroekonomi/mikroekonomi yang lain dibangun atas asumsi bahwa manusia sebagai homo economicus akan selalu bertindak rasional, padahal seringkali tidak. Teori yang lain seperti game theory atau behavioral economic terganjal pada model yang terlalu simplistik, players-limited (padahal semua orang dan institusi pada dasarnya adalah pelaku ekonomi dan jumlahnya ada banyak sekali, sehingga teori-teori ini tidak bisa menjelaskan agregat keseluruhan kegiatan ekonomi), serta tidak rigid secara matematis. Pada akhirnya, usaha untuk memformulasikan Economic Theory of Everything adalah hal yang musykil.

Mengetahui apa yang tidak mungkin diketahui manusia bukanlah sebuah halangan, melainkan justru adalah sebuah kesempatan untuk mengeksplorasi secara fokus hal-hal yang masih bisa diselami oleh akal pikiran dan ilmu pengetahuan manusia. Dan, pada akhirnya, pengetahuan akan menggiring kita untuk mengetahui lebih banyak lagi.


Teruntuk #7HariMenulis. Tulisan ini adalah bagian pertama. Bagian kedua, yang akan membahas filosofi tentang apa yang bisa diketahui dan yang tidak, serta menjadi tulisan terakhir bagi #7HariMenulis.