Monday, February 16, 2015

Pasar Santa dan Wajah Lain Dirinya

Segala sesuatu berubah dalam lima bulan sejak saya pertama kali menginjakkan kaki di Pasar Santa. Kios-kios di lantai atas yang semula kosong kini sudah nyaris semua penuh ditempati. Harga semangkok mie ayam yang saya tulis di sini sudah naik kira-kira 50%. Jalan Tendean - Wolter Monginsidi yang semakin macet bukan kepalang tiap akhir pekan, dari siang hingga malam hari. Parkir yang semakin semrawut, terutama oleh mobil-mobil kelas menengah kelas kaya muda kita. Beberapa penjual makanan di lantai atasnya selalu mendapatkan pembeli hingga antreannya mengular. Sementara mereka, yang jauh dari hingar-bingar hipsterisme dan kegaduhan  dari alunan vinyl mendapati bahwa keberadaan mereka di pasar yang sudah bersama dengan mereka selama beberapa tahun, bahkan mungkin puluhan tahun, akan segera berakhir.

Jumat lalu, hampir tak terdengar karena tenggelam oleh berita-berita Valentine dan perdebatan-perdebatan trivial tentangnya, belasan pedagang kaki lima Pasar Santa berdemo di Balai Kota DKI Jakarta. Hanya belasan, karena mungkin sisanya sudah pasrah begitu saja merelakan tempatnya di sana. Anda hanya perlu menginjakkan kaki ke lantai paling bawah dan lantai satu untuk mengkonfirmasi hal ini. Jika Anda, seperti saya, pernah berkunjung di pasar ini sebelum ia "meledak" seperti sekarang ini, Anda pasti tahu perbedaannya.

Setahun yang lalu, Pasar Santa hanyalah tempat yang begitu biasa. Lantainya kotor. Cat di temboknya pecah di sana-sini. Kios-kiosnya tak terawat, bahkan banyak di antaranya tak memiliki penyewa. Ia nyaris mati, jika bukan karena pedagang-pedagang di lantai paling bawahnya, beberapa tukang servis ini itu, warung-warung mie dan rokok, serta penjual-penjual pakaian, yang bersama-sama menghembuskan nafasnya untuk menghidupi tempat ini. Di pertengahan 2014, dua orang membuat coffeeshop di sini. Beberapa cuitan di Twitter dan foto-foto Instagram kemudian, Pasar Santa lahir kembali menjadi sebuah tempat gaul alternatif bagi anak-anak muda Jakarta.

Yang selanjutnya terjadi adalah pertunjukan paling vulgar dari cara kerja kapital. Semakin ramai pasar ini, semakin banyak eksposur tentangnya, semakin digilailah kios-kios di sini. Orang-orang berlomba untuk memiliki kios di sini, dan harga makin naik seiring dengan demand yang semakin tinggi. Dulu, ketika baru saja bangun dari mati surinya, setahunnya mungkin hanya 3-3,5 juta rupiah. Beberapa bulan lalu, sekitar 6 juta rupiah. Sekarang ini, saya terlalu malas untuk mencari tahu. Namun ia sudah cukup tinggi, bahkan terlalu tinggi bagi pengguna-pengguna awal kios di sini, sehingga mau tidak mau mereka menyerahkannya kepada kaum muda kelas menengah kelas kaya ibukota dengan kekuasaan kapital yang lebih besar (baik uang maupun social capital bagi promosi).

Dan jika cerita-cerita anekdotal yang saya dengar benar adanya, di sini pun kapital sudah mulai bermain mata dengan alat-alat negara – kaum-kaum borjuasi yang digaji oleh pajak tetapi yang masih menggilai tawaran yang menggiurkan dari kapital, seperti kucing yang tanpa pikir panjang menyerobot ikan di meja makan. Ketika beberapa pemilik kios lama tetap bergeming, maka dengan cepat borjuasi-borjuasi negara ini menertibkan mereka ("menertibkan" tentu bahasa yang eufemis sebagai ganti kata "mengusir"). Dan ada 200-an orang yang diusir. Dan mereka hanya diberikan waktu 2 x 24 jam. Mengapa mereka diusir? Karena kemacetan, katanya. Akan tetapi, kita semua tahu, siapa yang berjubelan membawa mobil-mobil pribadi mereka tiap akhir pekan ke Pasar Santa.

"Lho, ini kan perbaikan? Pasar Santa dulu hampir mati, lho." Anda mungkin bisa berpendapat seperti itu. Pertanyaannya, perbaikan bagi siapa? 150 tahun lalu, Karl Marx pernah menulis:

"Improvements" of towns, accompanying the increase of wealth, by the demolition of badly built quarters, the erection of palaces for banks, warehouses, etc., the widening of streets for business traffic, for the carriages of luxury, and for the introduction of tramways, etc., drive away the poor into even worse and more crowded hiding places. (Karl Marx, Capital Vol. I, bab 25)
Ini adalah logika yang sama dengan yang berada di balik retorika "kemampuan kompetisi" yang dipakai oleh kaum korporat untuk menjustifikasi rendahnya upah buruh di perusahaan-perusahaan: sebuah perbaikan yang hanya dirasakan oleh mereka yang berada di atas.


Adalah mudah untuk memaki hipster-hipster berkelimpahan uang sebagai biang kerok di sini, namun yang demikian adalah analisis malas yang tak memperhatikan kelas dan bagaimana kapital bekerja. Akar dari gentrifikasi – penggusuran kelompok yang mula-mula menempati oleh para pendatang yang bermodal lebih besar – datang dari fakta bahwa ekonomi (kapitalis) adalah ekonomi yang profit-driven. Pemilik-pemilik kios lama tak mampu meyakinkan dagangannya pada anak muda kelas menengah kelas kaya yang hanya doyan makanan/minuman fancy yang berharga Rp20.000,00-50.000,00 sekali tenggak, atau kemeja flanel seharga Rp.200.000,00 alih-alih kemeja yang harganya di bawah Rp100.000,00 yang mereka tawarkan. Oleh karena itu, mereka yang mengakumulasi lebih sedikit kapital akan dimangsa oleh mereka yang mengumpulkan lebih banyak. Maka perlucutan (dispossession) pemilik-pemilik kios lama adalah prekondisi bagi terjadinya gentrifikasi di Pasar Santa ini, dan merupakan konsekuensi yang logis dalam sebuah ekonomi kapitalis. Kemudian, semuanya menjadi komoditas dan diperas sari-sarinya demi keuntungan kaum kapitalis. Eksternalitas negatif seperti kemacetan yang membabi buta bukanlah prioritas selama kemacetan ini terus mendatangkan keuntungan. Malah, bila perlu, salahkan saja pedagang lama agar ada tambahan alasan untuk mengusir mereka.

Bagi mereka yang beroperasi dalam ekonomi kapitalis, semua tulisan dan poster yang mengajak penyewa baru untuk merangkul penyewa-penyewa lama hanya akan mampir lewat seperti aktivisme-aktivisme tanda pagar yang lantas terlupakan setelah lima menit. Dalam ekonomi kapitalis, satu-satunya keadilan yang patut adalah economic survival of the fittest. Dan satu-satunya kerja sama yang mungkin adalah kerja sama yang mendatangkan lebih banyak keuntungan bagi kaum kapitalis. Anda tidak bisa mengharapkan kaum kapitalis untuk bekerja sama dengan kelas di bawahnya jika itu tidak menguntungkan baginya. Jika semua rantai supply sudah dicukupi oleh mereka sendiri, buat apa mengikutsertakan para pedagang di lantai dasar untuk menyuplai bahan-bahan baku? Buat apa bekerja sama memberikan tempat bagi para pedagang kelas bawah ini untuk bersama-sama hidup, jika mengambil alih 3-4 kios mereka sekaligus jauh lebih menguntungkan?

Lalu jalan apa yang mungkin? Apakah saya, bagian dari mereka yang ikut menikmati Pasar Santa, punya hak untuk (dengan munafik) memberikan saran kepada mereka-mereka yang tergusur untuk mengadakan perlawanan – sebuah resistensi yang tak hanya ditujukan kepada pengelola pasar, tetapi juga di hadapan mereka-mereka yang mengambil alih kehidupan mereka? Lalu apa yang bisa diharapkan dari resistensi ini? Sebuah aktivasi moral di otak hipster-hipster pemilik kios tersebut agar lebih peduli? Saya rasa tidaklah mudah.

Beruntunglah, ada beberapa orang yang bersedia meluangkan waktunya membuat manifesto, yang "memohon"  pihak pengelola Pasar Santa (mengapa tidak memakai kata "menuntut"? Bukankah mereka juga penyewa?) untuk membeli beberapa kios sebagai semacam kuota/aksi afirmatif bagi pemilik-pemilik kios lama, menetapkan harga sewa wajar, serta memberikan hak untuk memperpanjang masa sewa hingga 4 tahun ke depan. Orang-orang ini diam-diam melakukan pendekatan ke pihak pengelola Pasar Santa demi kondisi yang lebih baik bagi para pedagang lama. Apakah ini alternatif yang mungkin? Tentu saja, apabila baik penyewa lama maupun baru ikut serta bersama-sama bergerak menekan manifesto/permintaan-permintaan ini ke dalam sebuah bentuk peraturan yang adil dan kuat.

Atau, jalan yang lain adalah melalui penguatan peran koperasi. Idealnya, semua orang memiliki kedudukan yang sama dalam koperasi. Selain itu, keanggotaan koperasi bukan berdasarkan kekuatan kapital, melainkan kekeluargaan. Koperasi Pedagang Pasar Santa, yang selama ini menaungi penyewa lama dan baru, dapat memutuskan kembali suatu bentuk kerja sama yang adil, yang sama-sama menguntungkan, dan yang mengikat untuk dipenuhi anggota-anggotanya. Tidak perlu menunggu alat-alat negara yang borjuis turun tangan, mereka sebenarnya bisa mengatur nasibnya sendiri terlebih dahulu.

Sebab, sudah ada beberapa menteri yang pernah blusukan ke Pasar Santa semenjak tempat ini menjadi Taman Eden bagi anak-anak muda paling gaul di Jakarta. Namun, bagi Ibu Imah, seorang pedagang pecel lele yang sudah 20 tahun berjualan di pasar ini, keadaan tetaplah tidak lebih baik.