Di luar hanya kegelapan. Awan kumulonimbus menggumpal bagaikan bola kapas raksasa yang terbuat dari filamen-filamen karbon. Di dalam, beratus-ratus tubuh terhuyung-huyung ke samping, ke depan. Bau besi berkarat, muntahan, dan semprotan parfum dari seorang remaja putri tanggung memenuhi udara. Seakan berlomba-lomba untuk menaklukkan hidung bak jajahan.
Bangun, tidur, bangun, dan tidur lagi. Di antara mulut menganga dan kepala terantuk ke jendela, atau ke bahu penumpang sebelah. Melihat hidup dari kereta adalah tidak selalu melihat sepotong senja. Seringkali hanya kegelapan dan tubuh-tubuh yang letih dimakan perjalanan. Juga muntahan.
"Hidup ini tidak melulu tentang kesedihan", katamu tiba-tiba angkat bicara. Apakah mukaku terlihat murung dari tadi? Bukankah sudah biasanya aku seperti ini? Selain itu, lihatlah. Lihatlah ke luar. Lihatlah ke bawah. Masih ada yang menangis, mendapatkan debu hempasan kereta sebagai ganti susu. Masih ada yang merendahkan dirinya - menjadi serendah alas sepatumu - menyapu sampah demi selembaran rupiah yang kau lemparkan kepadanya tanpa perlu merasa kehilangan. Padahal, bagi dia, mungkin saja itu adalah nyawa hari ini. Katakanlah kepadaku, adakah tempat di mana tidak ada kesedihan? Bahkan, di surga pun ada kesedihan, jika surga memang ada. Tidakkah kau merasa bosan jika harus melakukan hal yang sama, memuji Tuhan, misalnya, dalam jangka waktu yang tak terhingga lamanya? Hidup itu dapat ditanggung, karena dia harus berhenti. Hiduplah selamanya maka kamu akan berharap mati. Karena dunia ini akan selalu dipenuhi kesedihan.
Kesedihan akan selalu menjadi bagian dalam perjalanan, tak terelakkan perjalanan kita ini. Tak ingatkah kau di peron stasiun tadi? Sepasang kekasih berpelukan. Begitu erat. Begitu rekat. Tenggelam bersama dalam batas antara ketidakrelaan dan keikhasan. Kau bisa melihat di mata mereka. Mata yang menerawang jauh ke belakang, kepada kenangan. Merekam jejak yang tak tergenggam tangan. Jemari yang menyusuri lengan, lalu turun saling menggenggam adalah tanda bahwa perpisahan - betapapun singkatnya, betapapun dekatnya - selalu tak tertahankan.
Kereta mengerem mendadak, terguncang. Beberapa berteriak dan menyebut nama Tuhan. Kau heran mengapa aku begitu tenang. Aku tidak takut akan kematian, kataku. Aku tidak punya apa-apa. Segala realitas yang kupunya hanya detik ini, saat ini. Pernahkah kamu berpikir, bahwa masa lalu dan masa depan tidaklah nyata? Menurutku, mereka hanya ada dalam ingatan dan bayangan. Rumah yang kau punya, tabungan yang kau kumpulkan, suami dan anakmu, hanya ada selama kau mengetahui dia ada. Saat kau ada di sini, denganku, saat ini, apa kau tahu jika rumahmu ludes terbakar? Atau tabunganmu lenyap disedot oleh peretas entah di mana di luar negeri? Atau suamimu pergi ke pelukan wanita lain dan membawa serta anakmu?
Kau menghardikku. Oke, oke. Contohku terlalu kasar. Aku minta maaf.
Bahkan, saat aku masuk ke kamar mandi tadi, kau tidak pernah tahu apakah aku akan masih tetap ada dan keluar dari situ untuk duduk di sini bersamamu, bukan? Ketika yang kupunya hanyalah detik ini, biarlah ketika pada suatu detik yang menentukan nanti, semuanya tentangku lenyap dibawa pergi.
Kita seringkali begini, duduk berhadapan berbagi kesunyian, diselai pertanyaan-pertanyaan tentang kehidupan yang meluncur dari mulutmu. Kadang aku berpikir kalau kau sebenarnya sedang bercermin. Aku yang menjadi cermin, kau yang sedang berusaha menemukan pantulanmu lewat jawaban yang kulontarkan.
"Itulah alasanmu mengapa kau merusak dirimu sendiri? Alasan kau berhenti hidup, karena kau merasa ia hanya dipenuhi oleh kesedihan? Atau kau menganggap semuanya ini tidak nyata, karena kau takut merasa sedih lagi?"
Ah, aku hanya mencari apa yang aku cintai, lalu membiarkan dia membunuhku. Yang aku cintai adalah saat ini. Termasuk hal-hal yang banyak orang hindari. Hal-hal yang merusak jiwa dan tubuh.
"Lalu, mengapa tidak saja kau cari apa yang kau cintai, lalu membiarkan dia memberikanmu hidup? Memberikanmu harapan? Apakah kau tidak ingin punya keluarga, misalnya?"
Seorang anak kecil menangis di gendongan ayahnya. Telunjuknya mengarah ke luar gerbong. Aku melihat kedua matanya yang sembab. Aku merasa kami berbagi jenis kesedihan yang sama, yaitu kehilangan harapan. Harapan adalah hasrat akan utopia yang paling dahsyat, paling dasar, paling primordial. Bagi anak itu, utopianya adalah naik transportasi yang lebih nyaman bersama ayah ibunya, mungkin. Bagiku sendiri... Ah, aku tidak tahu. Yang kuharap sangat sederhana, aku hanya berharap agar tidak merasa hampa. Akan tetapi, kehampaan itu sendiri selalu sulit untuk dijelaskan.
Di luar, hujan salah musim turun mengguyur dengan derasnya. Tetes-tetes air yang jatuh ke jalan tersinari lampu kendaraan yang sedang menunggu kereta lewat perlintasan, terlihat berlompatan seperti jutaan ikan terbang bersisik emas dari dalam sini. Rumah-rumah di sejauh mata memandang cahayanya temaram. Bak orang yang sedang meringkuk kedinginan di bawah selimutnya.
Kereta belum berhenti. Kau menawarkan roti namun aku menolaknya. Aku hanya ingin merokok sebentar. Aku beranjak, meninggalkanmu menuju sambungan gerbong. Kau terlihat muram. Mengapa kau terlihat muram? Bukankah sudah kubilang aku ingin mati pelan-pelan?
Di sambungan gerbong sudah ada lima orang. Berbagi rokok. Berbagi korek. Berbagi asap pekat. Inilah kumpulan orang paling absurd. Orang-orang yang membalas hadiah kehidupan dengan perusakan badan. Anehnya, kami bahagia. Kami gila.
"Bau rokok", keluhmu. Ah, tidak terlalu bau, kok. Kamu tidur saja. Perjalanan masih jauh.
Pergantian gelap malam dan terang cahaya lampu rumah, bermain-main di retina mata bagaikan montase yang stakato. Aku rasa, inilah yang membuat beberapa orang suka naik kereta. Naik kereta bagaikan menjelma menjadi sungai, yang mengalir lancar, lurus, tidak perlu sedikit-sedikit terhenti oleh kemacetan dan lampu merah. Membuat lansekap pemandangan di luar sana tersaji secara utuh seluruh, seperti film. Film yang serta-merta sunyi, indah, dan surreal. Orang-orang lantas mengambil fragmen film ini, lalu membumbuinya dengan angan dan fantasi, membentuknya menjadi pelbagai prosa dan puisi dengan "kereta" disebut di dalamnya. Apalagi bagi orang-orang macam aku ini (yang kata orang terlalu melankolis), tidak kurang-kurang apa yang sedang kutuliskan di otakku saat berada di dalam kereta. Dan bagiku tidak ada yang lebih menyedihkan daripada kereta yang melaju menembus hujan.
Kita tiba di stasiun terakhir. Rupanya hujan memutuskan untuk ikut bersama kita.
"Jangan lupa tasmu", ujarmu mengingatkan. Oh, aku selalu membawanya.
"Kamu mau naik taksi bareng aku?"
Tidak, tidak usah. Salam saja bagi suami dan anakmu. Terima kasih ya, kamu sudah mau menemani.
"Baiklah. Dadah! Hati-hati di jalan!"
Kembalilah. Pulanglah. Aku akan baik-baik saja. Pulanglah. Kembalilah.
Kau melambaikan tangan lalu berlari kecil, sedangkan tas yang kau bawa kau jadikan penutup kepala. Lama-lama punggungmu hilang ditelan oleh taksi. Aku berjalan menyusuri stasiun, menyalakan rokok, tak mengacuhkan berbagai tawaran kendaraan pulang. Aku hanya ingin berjalan. Aku tak peduli hujan. Aku hanya ingin berjalan perlahan-lahan, untuk sekali lagi menikmati kegelapan.
Yogyakarta - Jakarta, KA Progo, 21 Juli 2013
No comments:
Post a Comment