Friday, June 6, 2014

Seperti Dendam: Sebuah Resensi





I.
Telah satu dekade berlalu sejak terbitnya “Lelaki Harimau” dan dicetak ulangnya karya seminal Eka “Cantik Itu Luka”. Selama itu pula Eka Kurniawan tertidur dari jagad kepenulisan novel (mirip dengan penis Ajo Kawir!). Dalam entri di blog pribadinya tanggal 30 Maret 2008, Eka mengungkapkan bahwa dia sudah menyetor naskah berjudul “Malam Seribu Bulan” kepada penerbit. Sayang novel yang ditunggu tak juga muncul. Baru 6 tahun kemudian, Eka bangun dengan novel “Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas.” Entah ini naskah “Malam Seribu Bulan” yang disunting secara drastis, atau merupakan setoran naskah yang benar-benar baru, saya kurang tahu. Mengingat isinya yang lebih tentang penis daripada tentang bulan, rasa-rasanya ini adalah naskah baru. Semoga saja, “Malam Seribu Bulan” diterbitkan setelah ini.

II.
It's only after you've lost everything that you're free to do anything”, demikian kata Tyler Durden dalam buku ikonik Chuck Palahniuk, “Fight Club”. Demikian pula yang mungkin menjadi kredo Ajo Kawir setelah ia tidak mampu lagi ereksi: “Hanya orang yang enggak bisa ngaceng, bisa berkelahi tanpa takut mati.”

Menjadi impoten adalah menjadi pria yang kehilangan segala-galanya dalam dunia kecil rekaan Eka Kurniawan yang memuja maskulinitas ini. Keperkasaan genital dan kekerasan adalah norma. Tak hanya Ajo Kawir yang risau, temannya, Si Tokek, pun terus menyalahkan dirinya sendiri atas tidurnya burung Ajo Kawir.

Pada suatu malam dulu ketika mereka masih remaja, Tokek mengajak Ajo Kawir untuk mengintip tetangganya, Rona Merah, seorang janda yang gila karena melihat suaminya dibunuh di depan mata kepalanya sendiri. Ketakwarasan Rona Merah membuatnya tak peduli lagi terhadap rasa malu, dan nahasnya ini dimanfaatkan oleh dua bocah ini sebagai objek voyeur mereka ketika ia mandi. Sedianya cuma itu yang akan mereka lakukan: mengintip, merancap, lalu pulang. Namun, pada malam itu, datanglah dua orang polisi bejat memerkosa Rona Merah. Si Tokek mengajak Ajo Kawir kabur, tapi Ajo Kawir ketahuan, sementara Si Tokek berhasil sembunyi. Ajo Kawir ditangkap, dan lantas digelandang masuk oleh dua polisi tersebut dan dipaksa untuk menyetubuhi Rona Merah. Ajo Kawir begitu takut, syok, dan jijik sampai burungnya tidak bisa berdiri. Ia dipermalukan oleh kedua polisi itu dan merasa tak berdaya. Maka, malam pertama kalinya Ajo Kawir mengintip Rona Merah menjadi malam terakhir burungnya bisa ngaceng.

Sudah banyak usaha (yang kadang kala masokis) yang dilakukan Ajo Kawir agar Si Burung bangun. Pernah coba dibangunkan dengan cabe, namun si Burung tetap terlelap sementara Ajo Kawir sendiri pontang-panting karena selangkangannya serasa dibakar. Kali lain, Ajo Kawir mencoba menyengatnya dengan lebah, terinspirasi dari sebuah terapi alternatif. Burung bengkak, namun bangun pun tidak. Tak hanya ia yang menderita dimakan obsesi. Si Tokek dan ayahnya, Iwan Angsa, yang sudah menganggap Ajo Kawir sebagai anaknya sendiri pun ikut dibikin frustasi. Pernah suatu hari Iwan Angsa memberi Ajo Kawir buku-buku cerita stensil, berharap burungnya bisa terangsang. Namun, Ajo Kawir hanya membacanya tanpa merasa apa-apa pada burungnya. Bahkan, seorang pelacur pinggir rel kereta yang disewakan Iwan Angsa demi Ajo Kawir pun angkat tangan. “Tak ada yang lebih menghinakan pelacur kecuali burung yang tak bisa berdiri”, katanya. Pada suatu saat Ajo Kawir sudah tak tahan lagi. Si Burung nyaris saja terpenggal jika saja tak dicegah Si Tokek. “Kalau sekarang bisa berdiri, memangnya mau kamu pakai untuk siapa?”, demikian rasionalisasi si Tokek. Ajo Kawir pun manut saja.

Tumbuh tanpa merasakan libido membuat Ajo Kawir mengalihkan gejolak masa mudanya dengan berkelahi. Ia menantang siapa saja. Modalnya cuma nyali dan tubuh yang tahan banting, karena ia tak jago-jago amat berkelahi. Sering ia pulang dengan badan yang babak belur, hanya untuk dirawat Iwan Angsa, sembuh, kemudian lanjut mencari gara-gara. Suatu ketika, ia dihajar oleh anggota geng Tangan Kosong, seorang wanita jago berkelahi bernama Iteung. Mereka berdua berkelahi sampai sama-sama ambruk di tanah, dan Ajo Kawir mendapati dirinya jatuh cinta dengan Iteung. Iteung pun cinta dengan Ajo Kawir meskipun ia tak bisa memuaskannya pakai alat kelamin. Mereka lalu menikah. Namun kemudian Iteung hamil dengan entah siapa. Ajo Kawir murka (bagaimana bisa menghamili jika tak burungnya saja tidak bisa ereksi?). Ia lalu pergi ke Jakarta, menjadi supir truk-cum-pacifist yang berlandaskan suara dari kelaminnya.

III.
Jika dibaca seklias, kita bisa menuduh Eka Kurniawan sebagai seorang seksis. Akan tetapi, “Seperti Dendam…” adalah parodi tentang potret masyarakat yang didasari machismo dan phallocentrisme yang eksesif. Sebuah hidup di mana laki-laki dan perempuan sama-sama menderita karenanya. Menjadi laki-laki berarti berani untuk menjadi brutal, dan punya penis yang berfungsi (kalau bisa, besar pula). Pria-pria seperti Ajo Kawir (yang impoten dan lantas menjadi pacifist) dan Mono Ompong (kenek Ajo Kawir, yang takut berkelahi dengan Si Kumbang) mesti menderita lahir batin di bawah tuntutan untuk menunjukkan kekuatan. Ajo Kawir menyadari betapa dahsyatnya kemaluan yang “bisa menggerakkan orang dengan biadab” dan ”seringkali lebih banyak mengatur kita daripada yang bisa dilakukan kepala”. Kehilangan ereksi  menceraikan Ajo Kawir dari hal yang membuatnya “laki-laki”. Ia terasing dari dirinya sendiri.

Nasib perempuan di “Seperti Dendam…” malah lebih mengenaskan. Mereka direlegasi menjadi masyarakat kelas tiga (masyarakat kelas dua dalam hirarkinya adalah laki-laki “gagal” seperti Ajo Kawir ini). Kita melihat bagaimana Rona Merah diperkosa dua polisi, juga Si Iteung yang diperkosa di ruang kelas oleh gurunya, Pak Toto, ketika dia masih SD. Vagina menjadi barang komoditas seperti beras. Pelecehan adalah hal yang lumrah. Kelamin dijual bahkan ketika mereka masih bocah. Menjadi wanita berarti menerima nasib untuk suatu saat harus mengangkang demi membayar sewa (seperti tokoh Janda Muda) juga untuk menyambung hidup, seperti pelacur-pelacur (termasuk Nina, wanita yang ditaksir oleh Mono Ompong) dalam novel ini. Wanita harus seperti laki-laki agar dianggap setara, setidaknya begitulah yang dilakukan Iteung dengan cara ikut latihan bela diri. Novel ini adalah tamparan bagi kita (terutama lelaki) yang tidak pernah menyadari bahwa kita hidup dalam masyarakat yang patriarkis-kiriarkis.

Meminjam penjelasan Guattari dan Deleuze, masyarakat adalah perwujudan sebuah organisme yang hirarkis. Semua orang menjadi bagian dalam infrastrukturnya lewat ketergantungan satu sama lain dan ini sering kali memenjara kita dalam ketidakpuasan. Ketidakpuasan (“lack”) ini, entah bersifat libido (Freudian), maupun berbentuk neurosis ketika melihat sebuah struktur sosial yang tidak adil (Marxian) mewujud menjadi sebuah hasrat. Dalam perspektif Deleuzian, Ajo Kawir dan penisnya adalah sebuah gambaran proses skizofrenik yang membebaskan. Alih-alih menjadi “id”, penis Ajo Kawir menjadi sebuah “superego” yang memiliki sebuah “potensi untuk revolusi”. Dalam keterasingannya dari organisasi bernama “laki-laki”, Si Burung justru mencekoki Ajo Kawir sebuah pemikiran subversif antikekerasan. Meskipun Ajo Kawir gagal “menginisiasi politik radikal tentang hasrat yang bebas dari semua akidah“, setidaknya ia berhasil membebaskan dirinya sendiri. Di akhir masa mudanya, Ajo Kawir menjadi seorang absurdist Camusian. Ia mencoba berontak terhadap konstruk sosial yang destruktif ini. Baginya, impotennya Si Burung menjadi sebuah berkah. Si Burung malah menjadi sebuah voice of reason. Ia menyambutnya dengan gembira seperti Sisifus menyambut hukumannya. Bak seorang sufi, ia menjadi orang yang lebih damai, yang lebih arif dan tenang ketika mendengarkan burungnya yang terlelap. 

IV.
Jika “Cantik Itu Luka” berlatar Indonesia pascakolonialisme - pascakomunisme, maka “Seperti Dendam…” berlatar pada era Soeharto. Seperti pada beberapa karya realisme-sosial milik Agus Noor dan Seno Gumira Ajidarma, membaca “Seperti Dendam…” adalah membaca masyarakat di mana ketakutan menjadi sebuah alat kekuasaan. Anak-anak kecil ditakuti dengan komik Siksa Neraka. Para preman ditakuti dengan penembakan misterius. Para wanita ditakuti dengan kekerasan dan perkosaan. Gambaran aparat keamanan dibikin satir oleh Eka Kurniawan, seperti polisi yang amoral, juga tentara yang gemar mengadu rakyat dalam sebuah arena perkelahian. Bukankah tentara yang menjadikan tahanan, orang Timor Leste, Aceh, dan juga komunis seperti ayam aduan di cerita ini adalah satirisasi fenomena banality of evil yang sering terjadi pada konflik-konflik di Indonesia? Generasi tahun 80-90 an tentu bisa mengasosiasikan novel ini dengan kejadian-kejadian pada masa mereka.
Dalam novelnya kali ini, Eka mencoba lebih realis  daripada novel-novel sebelumnya yang berbumbu magis (magical realism) a la Jorge Luis Borges atau Gabriel Garcia Marquez. Ada elemen yang hampir sama di novel ini dengan “Cantik Itu Luka”. Misalnya, tokoh semi-mafioso Paman Gembul mengingatkan kita kepada Mama Kalong si mucikari. Munculnya Jelita sebagai perwujudan hal-hal yang belum selesai juga mirip dengan munculnya hantu komunis pada “Cantik Itu Luka”. Seperti “Cantik Itu Luka” pula, penceritaan yang grotesk, kontradiktif, dan absurd terdapat pula dalam novel ini. Tokoh Jelita, kenek baru Ajo Kawir, mengingatkan kita pada Cantik (ironisnya keduanya berwajah buruk rupa). Cantik dan Jelita sama-sama merupakan paradoks bagi laki-laki. Cantik bisa membuat Krisan jatuh cinta tanpa perlu takut kehilangan, sedangkan Jelita bisa membangunkan kemaluan Ajo Kawir yang sudah berhibernasi begitu lama, yang gagal dibangunkan oleh wanita-wanita sebelum dia. Mungkin bedanya adalah ketiadaan tokoh seperti Dewi Ayu (yang menurut saya merupakan pastiche Nyai Ontosoroh-nya Pram), karena rupanya Iteung malah direduksi jadi tokoh yang haus seks dari lelaki yang bisa ereksi.

Novel ini begitu singkat, dan tidak membutuhkan waktu lama untuk membacanya. Lengkap dengan deadpan jokes, dark humor, montase alur maju mundur yang lincah, paragraf yang pendek-pendek, serta cerita tentang pembalasan dendam, ia mengingatkan saya pada film Quentin Tarantino tahun 1994, “Pulp Fiction”. “Seperti Dendam…” juga ditulis dengan stilistik a la novel stensilan namun masih terasa estetis. Sumpah serapah serta bahasa yang profan nan vulgar yang dipakai Eka sangat khas dengan – maafkan stereotip ini – kaum-kaum pinggiran seperti supir truk dan pelacur. Ia memotret seksualitas yang tak melulu diglorifikasi seperti karya Ayu Utami atau Djenar Maesa Ayu. Jika Ayu Utami dan Djenar melihat seks dari kacamata kaum urban, dengan latar kafe, hotel, dan glamornya perkotaan, Eka melihat seks dari kacamata orang yang secara sosioekonomi di bawah rata-rata.  Alih-alih dirayakan, justru malah sebaliknya, seks di sini adalah salah satu sumber masalah yang begitu kuat sehingga orang-orang di dalamnya menjadi fatalistik karena tak kuasa melawan. Kalah, bagai burung Ajo Kawir yang tumbang sampai entah kapan.