Friday, August 29, 2014

Pertaining a Short, Weird Dream Last Week. Or, a Simplistic Mathematical Hooey Against Lesser of Two Evil Fallacy

This is gonna be very short.

Some days ago, I had a not-so-usual dream. In my dream, I was discussing with a man, whom I never know in real life. We were discussing about the latest Indonesian presidential election. Perhaps - representing my inner conscience - he accused my decision to vote for a certain candidate as a fallacy. Specifically, a lesser of two evil fallacy. To make it short, the lesser of two evil fallacy (more or less) states that even if you choose "the lesser evil" of two evil options, your choice still constitute a bad choice, i.e. lesser or greater notwithstanding, it's still an evil. Not voting is thus considered a better option than choosing the less evil one.

What follows is a weird answer from me.

I replied that this is not actually the case. Suppose there are candidate 1 and 2, who have (let's say) "evil score" of non-negative value of A and B, respectively. And since this is a presidential election, you will still get a president, either 1 or 2 (which is both evil anyway), even if you don't vote.

Let's assume, arbitrarily, that the value of A (evil score of candidate 1) > B (candidate 2's score). Then, there is a probability  p between 0 and 1 of you getting candidate 1, and (1 - p) of getting candidate 2 as president. Not choosing either candidates will give you expected value of  "evil score" as: pA + (1 - p)B.

Since A > B, it follows that pA + (1 - p)B > B, by the dumb calculation that because p + (1 - p) = 1, B = pB + (1 - p)B. And since A > B, then pA > pB for any value of 0 < p < 1. Thus, it is easily seen that pA + (1 - p)B > pB + (1 - p)B, which is another way to say that not choosing any candidates bears an expected value of evil score more than simply choosing the lesser evil one.

This of course can only  be applied to personal choice and cannot be aggregated as a decision function of a whole society. After all, this is a super-duper-simplistic stuff coming from my sleeping brain. I'm putting this here because how funny it is for me, to be able to sleep and conjuring mathematical ramblings in a dream.


Thursday, August 28, 2014

Belum Selesai

Ada seribu bunga terbakar di langit raya saat kita melihat keluar jendela, ungu, jingga, kuning, berkelap-kelip sebentar lalu hilang ditelan malam. Namun tidak dengan sepi ini. Seakan menikmati waktu, ia masuk, diam, mengiris nadi perlahan-lahan. Meninggalkan aku, sisa-sisa manusia yang masih akan dicekam ketakutan seribu hari kemudian.

"Genggamlah tanganku selagi aku masih bisa menggengam."

"Tentu, tentu." Jawabku lebih lirih lagi. Aku hampir tersedu. Habis sudah, tinggal nanar. Hatiku berteriak, rasanya tak kuat ditimbun sendu.

Satu tanganku menggenggam jemari tangan kirimu yang hangat, yang satunya menggenggam harap: biarlah kiranya penghabisan itu masih jauh adanya.

"Apa yang akan kau lakukan? Toh, tidak ada yang bisa kita perbuat."

"Entahlah. Mungkin berpesta," kataku bercanda.

"Bolehkah aku ikut denganmu?" Sayangnya kau tidak bercanda.

"Kau kan tahu, sebaiknya aku tidak boleh terlalu sedih, terlalu depresi. Maka biarkanlah aku ikut berpesta denganmu. Menghitung semua yang tersisa dengan suka dan tawa," lanjutmu.

"Baiklah, jika itu yang menjadi maumu." Namun tak kusangka usahaku menertawakan nasib akan menjadi sesusah ini.

Di antara gelas-gelas teh setengah kosong, juga hidangan dingin rumah makan Cina yang tak habis dimakan, kunikmati kedua matamu yang masih terang serupa pagi, sedangkan punyaku sendiri telah redup dan berangsur-angsur menutup, dibarengi nafas yang semakin berat dan terasa dingin, seperti senja bulan Desember yang tak mengenal apa pun selain mendung, dan air bah kotor yang menyapu jalanan kota ini, yang udaranya mencekik, yang airnya membikin sakit, yang manusianya sering kali brengsek.

Kursi berderit, pelayan mulai resah, menggumamkan keluh tentang hari yang seharusnya sudah berakhir seandainya saja dua orang yang sedang dilihatnya ini, yang tak menghabiskan makanan dan minumannya ini, segera membayar lalu pergi.

"Sudah selesai? Ayo kita pulang."

"Kau tidak keberatan jika kita jalan kaki saja?"

"Tentu tidak. Ayo."

Lalu kita keluar, menyusuri liku-liku jalanan sempit dimakan mobil di kiri kanan. Menjengkali rona biru gelap langit malam ini. Bergandeng tangan, melewati poskamling kosong dan anak-anak berlari-larian tak kenal hari. Anak-anak tanpa rasa cemas, yang belum mengenal getir yang bernama takdir, tak ada keharusan untuk menjadi tabah, hanya tertawa, menangis, tertawa, menangis, namun tidak pernah dikutuk untuk mengingat. Mengingat bahwa hidup tidak akan selamanya berlangsung.

Kita sampai di depan rumah tempatmu mengontrak. Kau membuka pagar, masuk, lalu memberi sebuah lambaian tanda aku harus pergi.

"Sampai jumpa besok! Aku mencintaimu."

"Aku mencintaimu juga."
 
Jalanan menuju tempat parkir motor di depan rumah makan Cina yang sekarang sudah tutup terasa mematahkan hati. Aku bergetar, menangis tanpa sebab. Aku pulang, ditemani angin tengah malam. Melewati lampu-lampu jalanan yang berkelibatan seperti lorong cahaya. Mengulang-ulang kalimat yang terakhir kuucapkan padamu malam ini. Merapalnya bak sepotong sajak duka. Merapalnya secara khusyuk dalam tangis. Dalam kegilaan.

Aku ingin menemanimu pulang malam ini, esok hari, selamanya. Aku ingin melihatmu tumbuh hingga renta. Karena semuanya indah di sana. Aku ingin semuanya tetap indah di sana.




Wednesday, August 27, 2014

Love Steaks: Menu Baru Sinema Jerman

Jika diibaratkan dengan sebuah steik, dunia sinema konvensional adalah steik yang dimasak terlalu matang: kaku dan hambar, jika tidak pahit. Dan steik ini, rupanya dimasak oleh restoran-restoran waralaba pula, yang bahan dan cara masakannya sudah dipatok hanya itu-itu saja. Rigiditas struktur, pendanaan, dan proses perfilman gaya lama yang membikin jenuh ini lantas digugat oleh mereka yang menyebut dirinya sebagai gerakan "indie". Kaum "indie" ini mendobrak kemapanan dengan menawarkan ide dan teknik yang lebih segar dan bebas. Mereka berani mengangkat gagasan yang kadang eksentrik, kadang bahkan terlalu sepele, lalu bermain-main dengannya menjadi karya seni; mengembalikan film kepada titahnya sebagai sebuah media ekspresi, dan bukannya alat pencari kekayaan materi.

Saat Lars von Trier dan Thomas Vinterberg menginisiasi gerakan yang mereka sebut Dogme 95 hampir 20 tahun lalu, mereka sedang melawan hegemoni studio film juga dependensi yang berlebihan kepada special effect dan gimmick pascaproduksi lainnya. Dan pada tahun 2013 di Jerman, Jakob Lass mencoba membuat gerakan yang serupa. Gerakan yang diberi nama FOGMA ini (mungkin sebuah penghormatan kepada Dogme 95) melahirkan anak pertamanya dalam Love Steaks, film produksi Lass bersama Ines Schiller dan Golo Schultz.

Love Steaks adalah sebuah film komedi-tragis tentang dua orang yang sifatnya berbeda jauh, Clemens dan Lara, yang berlatar di sebuah hotel berbintang. Ceritanya cenderung minimalis saja, mirip cerita-cerita pendek Alice Munro atau Raymond Carver. Clemens (Franz Rogowski), adalah seorang terapis pijat (masseuse) baru di hotel tersebut. Selain belajar tentang teknik memijat dan tenaga dalam (kurang lebih seperti konsep aliran Qi), ia ditugasi untuk membersihkan area spa dan mengangkut pakaian dan handuk kotor ke bagian laundry.  Karena tidak punya tempat tinggal, ia diberi kebebasan untuk tidur di sebuah ruangan di dekat tempat laundry, meskipun untuk itu ia harus merelakan privasinya nyaris nihil. Lara (Lana Cooper) adalah seorang trainee juga. Ia bekerja di situ lebih dulu daripada Clemens, di bagian restoran sebagai koki.

Clemens adalah seorang pemuda yang pemalu, canggung, ceroboh, dan tidak berpengalaman secara seksual. Neurotisismenya mengingatkan saya pada Woody Allen di film-filmnya tahun 70'-80'-an. Sedangkan Lara adalah semua hal yang bukan Clemens: enerjik, pemberani, berjiwa bebas, dan bahkan cenderung suka berbuat onar. Namun di balik itu ia adalah pemabuk yang parah. Berawal pada pertemuan pertama di sebuah lift (mengingatkan saya pada salah satu bagian di 500 Days of Summer) hidup mereka semakin mendekat, apalagi sejak Clemens menyelamatkan Lara yang mabuk sampai terkapar di tepi pantai. Mereka bertukar hadiah, antara massage dan steik (yang ditolak Clemens karena dia vegetarian). Namun tak hanya itu yang mereka tukar, tetapi juga cara menjalani hidup, antara stabilitas dan kebebasan. Clemens menemukan keberaniannya lewat tantangan-tantangan konyol dari Lara (seperti untuk menepuk pantat Lara dengan keras atau mengaku pada seorang supervisor bahwa dia menjadi fantasi seksual Clemens). Lara yang pemabuk pelan-pelan mulai memperbaiki kebiasaan buruknya melalui terapi dan meditasi yang diajarkan Clemens. Adegan-adegan yang komikal membalut romantisisme mereka berdua, misalnya kecerobohan Clemens setiap kali mengepel lantai, juga kelakar Lara saat melihat ritual penyembuhan alkoholisme a la Timur yang nyeleneh.

Clemens, di satu sisi, adalah perwujudan order, keteraturan. Lara, di sisi lain adalah perwujudan chaos, kekacauan. Ini tentu adalah tema yang lumayan galib dalam dunia persinemaan. Namun, Love Steaks bukanlah cerita cinta dengan narasi "opposites attracts" yang klise. Ia bukanlah - menyitir Zizek - kisah tentang orang kaya muda dalam krisis identitas yang mendapatkan kembali semangatnya setelah berhubungan singkat dengan kehidupan orang miskin (atau liar) yang penuh gairah. Baik Clemens dan Lara tidak berasal dari keluarga yang kaya atau terpandang, tak pula sukses dalam hidup dan pekerjaan. Ini adalah kisah cinta dua orang biasa yang satu sama lain mencoba menjadi mediator perubahan hidup mereka yang sama-sama menyedihkan. Ada dua adegan berbau katarsis di sini: Lara yang mengubur flask-nya di pantai, tanda bahwa dia siap mengubur bagian terburuk dirinya. Kedua, adegan Clemens yang dilapisi dengan daging mentah oleh Lara sembari berdiskusi tentang genitalia, simbolisme Clemens yang menerima keduniawian dan seksualitasnya. Proses transformasi ini, tentu saja juga tidak sempurna. Konflik mengenai adiksi, konsep-diri ("Mengapa selalu kau yang ambil kendali, Lara?"), dan problematika dunia kerja mulai timbul dan menjadi pemisah. Dan, sama seperti di kehidupan nyata, opposites also destroy.

Selain itu, dalam salah satu fragmennya, Love Steaks memberikan sedikit potret tentang kiriarki dalam adegan pelecehan seksual yang dialami Clemens oleh seorang wanita setengah tua yang menggunakan jasanya. Clemens bingung harus bertindak seperti apa, bahkan menolak saran Lara untuk komplain secara langsung kepada wanita itu, dengan alasan wanita itu lebih berkuasa karena dia kaya. Di sini konsep gender flip tak melulu tentang Clemens yang pemalu (atribut yang secara tradisional dianggap feminin) dan tingkah Lara yang cenderung jantan. Ada pembalikan relasi kuasa, di mana laki-laki menjadi korbannya. Love Steaks menunjukkan bahwa inilah yang dihadapi oleh para wanita korban pelecehan (atau korban patriarki pada umumnya), yaitu ketidakmampuan melawan karena ketimpangan kuasa. Ia menyentil para lelaki yang secara default diuntungkan dalam masyarakat, yang secara emosional buta terhadap apa yang dialami para wanita.

FOGMA dan Inovasi dalam Film

Sesuai dengan manifesto FOGMA, Jakob Lass menggarap Love Steaks dengan menyediakan sebanyak mungkin ruang untuk fleksibilitas. Digarap dengan immersionisme a la film dokumenter, ia menggunakan hotel sungguhan sebagai setnya, lengkap dengan segala hiruk-pikuknya yang tidak dibuat-buat. Tak hanya itu, mengutip wawancara oleh Lilian Maria Pithan di situs Cafebabel, Lass menuturkan bahwa film ini dibuat dengan "[t]idak ada sepatah kata dari dialog pun yang ditulis. 'Naskahnya', begitulah, hanya berdasarkan sebuah garis besar yang membentuk kerangka kasarnya, berfokus pada hubungan antara Lara dan Clemens dalam lima fase dan 18 adegan". Lass juga bereksperimen dengan menggunakan artis nonprofesional: Lana Cooper mulanya melamar sebagai asisten sutradara, sedangkan Franz Rogowski adalah seorang penari. Pun juga mereka yang menjadi ekstra adalah benar-benar pegawai hotel.

Seperti Dogme 95, Lass dan Timon Schaeppi memakai kamera hand-held dan menolak penggunaan sumber cahaya tambahan. Dengan kemajuan teknologi kamera dewasa ini, kualitas gambarnya sama sekali tidak menjadi masalah. Cuts diterapkan secara ekstensif dalam film ini, baik match cuts (misalnya pada sebuah juktaposisi adegan Lara memasak steik dan Clemens memijat pelanggan) maupun jump cuts (yang digunakan hampir sepanjang film). Tidak ada shots yang berdurasi lama (baik establishing shots atau tracking shots). Karena dibuat dengan set-up single camera apalagi hand-held, Love Steaks adalah sebuah film yang stakato dan berpotensi membosankan seandainya saja Schaeppi tidak memvariasikan sudut dan perspektif pengambilan gambar. Scoring dari Golo Schultz bernada upbeat meskipun menurut saya cenderung disonan. Momen yang secara visual terlihat emosional (contohnya saat Clemens membopong Lara dari pantai) malah diberi scoring yang berdentum-dentum.

Jakob Lass mungkin saja "hanya" membangkitkan kembali Dogme 95 yang sudah lama mati dengan nama yang baru. Namun sesungguhnya FOGMA adalah lebih dari itu. Ia tidak hanya menghendaki postmodernisme stilistik atau impulsivitas proses kreatif semata. Ia juga menghendaki kebebasan dalam proses distribusi film. Selama ini di Jerman film yang didanai publik, seperti sekolah film, harus masuk ke bioskop dulu sebelum bisa didistribusikan lewat web atau DVD. Praktis, hanya sedikit film keluaran sekolah film yang mendapat perhatian publik (atau kritik). Jakob Lass hendak mengubah tren ini, meskipun sayangnya gagal melawan asosiasi bioskop AG Kino. Akan tetapi, dengan banyaknya penghargaan yang telah diraih Love Steaks, ia membuktikan bahwa film bisa dibuat dengan murah, bebas, dan tetap berkualitas tinggi. Inilah yang bisa dipakai untuk membuka jalan bagi film-film FOGMA lainnya, sehingga nantinya banyak muncul menu baru di ranah perfilman Jerman: karya-karya sinema hasil racikan bebas, yang menyegarkan dan sedap ditonton, bagi publik Jerman maupun internasional.

Monday, August 11, 2014

Tentang Cerita yang Belum Kuceritakan Kepadamu - Sebuah Review

Tragedi seringkali melahirkan karya-karya yang monumental. Dan, tidak ada yang lebih tragis dari kematian dan penderitaan manusia selain cinta yang tak berbalas. Dari Don Quixote - Dulcinea rekaan Cervantes, hingga Jay Gatsby - Daisy Buchanan dalam novel Fitzgerald, dari puisi epik Dante hingga sonata-sonata Shakespeare, cinta tak berbalas menjadi leitmotif karya seni dalam berbagai genre dan bentuk. Kali ini, seorang kawan saya yang berbakat, Gita Wiryawan, mendapat gilirannya memanggul salib melewati Via Melancholia, dan lantas menuliskan dysangelion-nya[1] yang ia beri judul "Tentang Cerita yang Belum Kuceritakan Kepadamu." Tulisan-tulisan ini Gita ini mulanya dimuat dalam blog pribadinya yang dia beri password. Baru kemudian karya epistolaris digital ini ia jadikan sebuah buku cetak yang didedikasikan untuk pujaan hatinya (mari kita tidak usah bahas siapa orangnya). Anda tidak akan menemui buku ini di toko buku manapun, karena di tata surya ini hanya ada 10 buah buku ini yang dicetak dan semuanya tidak dijual. Mungkin karena ini sebenarnya hanyalah curhatan yang dibukukan? Yang jelas, Gita melewatkan kesempatan menjadi idola remaja Indonesia masa kini seperti Alitt Susanto, Arief Muhammad, dan Raditya Dika. (Toh, salah satu syarat menjadi idola - dengan menjadi seorang mikroseleb di Twitter - kurang lebih sudah dipenuhi Gita).

 Gita membuka buku ini dengan tulisan di bagian sampul belakang: "Surealisme adalah hal yang paling logis yang bisa ditemui ketika orang berhadapan dengan cinta [...] kau terjatuh di dunia yang sama sekali tidak kau mengerti." Ketidakmengertian Gita dalam cinta yang serba tak logis dan paradoksikal ini menggemakan kembali ratapan Werther muda tentang Lotte dalam karya Goethe, katanya, “Kadang-kadang aku tidak mengerti bagaimana orang lain bisa mencintainya, dan boleh mencintainya, sedangkan aku pun juga mencintainya segenap jiwaku, begitu kuat, begitu penuh, tidak memahami apa-apa, tidak mengetahui apa-apa, dan tidak mempunyai apa-apa selain dia!" Orang yang mencinta secara dahsyat tentu pernah merasakan hal yang seperti ini, sebuah cinta yang melukai namun menciptakan adiksi. Kegagalannya menghasilkan kegetiran dan kemarahan yang serupa badai dalam bentuk mental dan emosional, meninggalkan manusia-manusia yang pecah dan remuk. Butuh usaha lebih bagi beberapa orang untuk bangkit dari bentuknya yang tinggal puing. Ada yang melakukan solo trip ribuan kilometer hanya untuk membangun kembali kota hatinya, ada juga yang menulis seperti Gita ini. Dan lewat buku ini Gita tidak sedang mencari permakluman (dan rasanya memang tidak perlu) terhadap kelakuan Sisifean ini, karena katanya (kepada si pujaan hati – mari kita sebut si Perempuan), "Tentu kau boleh menertawai golongan orang macam itu." Jika saja Werther muda mengenal Gita, mungkin ia akan berkata padanya, "Sind wir nicht alle Trunkene und Wahnsinnige?"[2]





Sebuah buku sekali tenggak, "Tentang Cerita..." hanya sepanjang 101 halaman terdiri atas 18 fragmen yang berbentuk mirip surat-surat tak terkirim. Tidak ada surat yang terlalu panjang, kebanyakan terdiri dari 4-5 paragraf berisi 4-5 kalimat yang ringkas pula. Bahkan ada satu entri (#5) yang hanya terdiri dari satu paragraf. Di bagian akhir buku ini, terdapat testimoni-testimoni dari teman-teman terdekat Gita yang kurang lebih mengetahui hubungan mereka berdua. Saya pun ikut menulis testimoni di situ (tetapi malah seperti tahi cicak kering di buku yang sudah lama tidak Anda baca: mengganggu).

Gita menulis buku ini dengan dengan konstruksi yang prosaik nan minimalis. Isinya berupa observasi momen-ke-momen seperti yang biasa Anda ceritakan pada kekasih lewat telepon. Dalam entri #2, misalnya, Gita bertutur tentang pekerjaannya dan uraian tugasnya yang baru di seksi yang baru, juga tentang kesialannya gara-gara seorang pegawai yang tidak teliti membuat dia harus mengerjakan ulang semuanya. Di entri selanjutnya, Gita berbicara tentang syukuran seorang pegawai temannya satu kantor atas kesembuhan anaknya yang baru saja keluar dari rumah sakit. Yang lain bercerita tentang arisan keluarga, perjalanannya ke Kuala Tungkal (beserta kondisi penempatan di daerah-daerah terpencil di luar Jawa), menonton film di mall, serta cerita tentang wayang, puisi Wiji Thukul, dan novel lama Murakami Haruki. Yang terpendek, #5, malah hampir-hampir puisi. Jika boleh saya beri enjambemen asal-asalan, maka ia akan terbaca seperti ini:

Pukul tiga pagi,
kurang sepuluh menit
Dan aku hanya ingin bilang bahwa
aku
merindukanmu.

Tak lupa, seperti biasa, ia menyelipkan kalimat-kalimat quotable khas Gita seperti, “Ingatan bisa dimanipulasi. Rekam jejak tidak” atau “Melihatmu di masa kini adalah mengekalkan sebuah kesedihan.” 

Pada paragraf-paragraf akhir fragmennya Gita dengan halus memutar kisah kehidupannya sehari-hari menjadi sebuah quasi-monolog yang gelisah, murung, dan penuh frustasi. Seperti pantun, setiap fragmennya mempunyai “sampiran” berupa cerita-cerita yang banal. Wajah adik-adik kelasnya yang muram karena meninggalkan keluarga demi bekerja di tempat yang jauh menjadi ilustrasi kemuramannya yang ditinggalkan oleh si Perempuan. Membaca buku Murakami menjadi ilustrasi tentang buku, sebagai sebuah analogi kehidupan: sesuatu yang punya akhir, sesuatu yang bisa dilanjutkan dengan buku (baca: kehidupan) yang baru. Gita seperti membuat lukisan realis alih-alih - seperti yang diklaimnya sendiri - surealis. Tidak dalam simbolisme yang kabur, namun dalam jelujuran narasi yang remeh-temeh.

Yang menarik, Gita pun menggunakan tulisannya sebagai wadah untuk menggugat modernitas dan ekses negatifnya. Misal ketika dia sedang menginap di hotel ber-AC, dan lantas mengingat masih ada orang yang tidak berpunya. Atau saat ia tertampar oleh puisi Wiji Thukul tentang keegoisan yang tersirat dari kebiasaan bibliofilik yang ia punyai. Bahkan dalam satu fragmen, kamerad Gita mengajak Si Perempuan untuk ikut berpikir sejenak mengenai kondisi tanah di Jambi yang menjadi gersang karena dioverekspoitasi oleh petani kelapa sawit, “Untuk kasus ini, menurutmu siapa yang benar-benar peduli? Pemerintah yang kerjaannya hanya berebut kekuasaan? Perusahaan yang hanya memikirkan soal cara memperoleh uang sebanyak-banyaknya? Atau penduduk yang bermodal kecil dan minim edukasi?” Mirip sekali dengan kader muda sebuah partai kiri yang sedang mengajak pacarnya diskusi. Sayangnya bagi Gita, ajakan diskusi ini nampaknya hanya memantul ke tembok.

Gita Wiryawan bisa dibilang adalah orang yang secara tidak langsung mengajari saya menulis. Saya tentu sudah memperhatikan tulisan-tulisan dia sejak lama, dan bagi saya buku semi-otobiografikal ini memberi kesan ketergesaan dalam penggarapannya. Kata-katanya tidak setajam tulisan-tulisan dia di blog. Pemilihan diksi khas Gita juga tampil sangat minimal, dan seandainya tidak ada sama sekali, maka membaca buku ini seperti membaca buku diari seorang anak SMA atau buku Raditya Dika. [3] Bukan salah Gita tentu saja. Saya lebih-lebih tidak mungkin menyalahkan editornya, Prima Sulistya, yang adalah salah satu editor muda par excellence dan paling cermat di negeri ini. Mungkin gaya penulisan curhat seperti ini bukanlah gaya yang bisa mengeluarkan potensi menulis Gita secara penuh.

Sesenang-senangnya saya mendapatkan buku gratis, apalagi tulisan seorang kawan sendiri, tentu saya berharap yang terbaik baginya. Ya, saya berharap tidak akan muncul sekuel "Tentang Cerita yang Belum Kuceritakan Kepadamu". Juga semoga tidak akan muncul perempuan-perempuan yang menghancurkan hati Gita Wiryawan di masa depan. Tak peduli kata Nuran Wibisono, seorang pengamat musik kawakan Indonesia, bahwa “Kesedihan adalah sesuatu yang seksi.” Tak peduli darinya lahir beribu paragraf dan bait puisi.

I wish you way more than luck for your future endeavors, Gita.


***


[1] Lawan kata dari euangelion yang berarti kabar baik (eu- berarti baik). Secara literal dysangelion berarti kabar buruk.

[2] "Bukankah kita semua pemabuk dan orang gila?"

[3] Sang penulis, Gita Wiryawan, pun menertawakan bukunya sendiri ketika kami bertemu dan minum-minum Jumat malam lalu di sebuah bar di daerah Kebon Sirih, Jakarta.