Sunday, September 15, 2013

Critique of Pure Inaction

Tidak ada institusi yang benar-benar utopis, tidak juga institusi di tempat saya kuliah (STAN) maupun di tempat saya bekerja (Kemenkeu). Jika Anda tidak benar-benar mengalami masuk di dalamnya, tentu Anda akan mengamini adagium klise nan menyedihkan semacam "anak STAN idaman mertua" dan sebagainya dan sebagainya. Beruntung, ada orang-orang di dalamnya yang berani mengungkapkan pandangan dissenting mengenai realita institusi ini, yang tidak melulu indah di kanan kirinya. Simak tulisan Elan Sanurihim Ayatuna, yang membuka mata tentang kuliah di STAN yang tidak "bertabur bunga" seperti yang orang kebanyakan kira. Asimetri posisi tawar seperti ini adalah harga yang mesti dibayar bagi mereka yang memutuskan untuk berkuliah di sini, bahkan sampai setelah lulus dan bekerja sebagai pegawai negeri. Tulisan Farchan Noor Rachman ini menyingkapkan susahnya mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan, sementara Gita Wiryawan berusaha mencelikkan mata Anda tentang realita penempatan yang harus siap dijalani ketika lulus nanti. Di lain sisi, sama seperti Mas Farchan, El-Bantani menulis tentang sebuah PMK yang membonsai otak-otak cemerlang yang terpaksa gigit jari karena tidak bisa lebih lanjut mengembangkan diri.

Cerita-cerita di atas bukanlah kejadian terisolasi. Sudah banyak cerita, keluh kesah, anekdot, dan tetek bengek lainnya, yang dituliskan di blog, status Facebook, Twitter, maupun yang tidak; baik dari jaman dulu maupun sekarang. Keluh kesah semacam ini tentu tidak bisa dikuantifikasi bak survei untuk menjatuhkan putusan secara empiris bahwa institusi kami adalah institusi yang tidak baik. Tidak. Akan tetapi, Anda bisa lihat, bahwa ada yang salah dalam beberapa hal di tempat ini.

Adalah ironis, di tengah gaung reformasi birokrasi, dan Nilai-nilai Kementerian Keuangan yang selalu didengungkan, masih terdapat ketidakpuasan dari para pemangku kepentingan internalnya. Adalah menyedihkan, jika ada satu-dua peraturan yang dikeluarkan tanpa pernah ada kejelasan mengapa peraturan itu perlu ada. Seorang filsuf besar, Immanuel Kant, pernah menulis tentang bagaimana pemerintah seharusnya membuat kebijakan dalam bukunya yang berjudul "Perpetual Peace": “All actions relating to the right of other men are unjust if their maxim is not consistent with publicity”, semua perbuatan yang terkait dengan hak orang lain adalah tidak adil, jika prinsipnya tidak sesuai dengan publisitas. Publisitas di sini maksudnya adalah transparansi, sebuah penjelasan yang dikomunikasikan kepada mereka yang diatur. Jika boleh mengambil satu contoh, saya sendiri sampai sekarang tidak pernah mengerti kenapa UPKP* dihapuskan. Alasan peraturan ini mengada tidak pernah jelas, sementara implikasinya begitu masif, yaitu meskipun kami yang lulusan D3 ini mengambil kuliah ekstensi S1, ijazah S1 tadi tidak diakui. Kita tidak naik pangkat dan tetap menjadi lulusan D3 di mata pemerintah.

Jika saya boleh mengambil satu contoh lagi, yaitu tentang rekrutmen pegawai. Pada tahun 2011 dan 2012, STAN memutuskan tidak membuka pendaftaran untuk program D3-nya. Yang saya dengar dari mulut ke mulut, alasannya adalah karena terjadi penggembungan di tengah pada formasi pegawai, yang terlalu banyak diisi oleh D3 dan S1. Namun entah mengapa, pengangkatan S1 dari luar STAN tetap berjalan, sementara anak D3 yang hendak mengambil S1 malah terganjal oleh peraturan yang meniadakan UPKP. Hal-hal semacam ini - meskipun bukanlah sebuah hal yang menyangkut rahasia jabatan atau rahasia negara - tentu tidak Anda ketahui jika Anda tidak benar-benar ingin tahu tentang seluk beluk institusi ini. 


Para penulis yang saya sebutkan tadi bukannya tanpa kecaman. Beberapa orang menuduh mereka tidak bersyukur sudah diberi kesempatan untuk sekolah gratis dan jaminan mendapatkan pekerjaan. Yang lain, dengan entengnya menyarankan agar mereka keluar saja dari institusi ini. Kepada ini saya ingin menjawabnya.


Yang pertama, bahwa sikap bersyukur adalah tidak mutually exclusive dengan menyuarakan kritik. Tentu kami semua bersyukur telah diberi kesempatan seperti ini, di saat banyak yang lain tidak lolos melewati ujian saringan masuknya. Akan tetapi, bersikap ignoran dan tak acuh terhadap keadaan yang belum sepenuhnya bagus adalah sebuah kebutaan yang disengaja, dan lagi, tidak konsisten dengan semangat reformasi birokrasi Kementerian Keuangan. Apakah kita akan berkata kepada Sri Mulyani, "Anda itu tidak bersyukur!" ketika beliau hendak memperbaiki institusi kita? Apakah Anda akan menyalahkan orang-orang yang berdemo terhadap pemerintah yang lalim dan melabeli mereka sebagai orang-orang yang tidak bersyukur? Apakah Anda akan mengutuk para whistleblower? Tidak bukan? Kita semua merindukan upaya perbaikan yang terus-menerus di segala bidang - sebuah kesempurnaan - jika boleh menukil poin kelima dari Nilai-nilai Kemenkeu.

Bahkan, dalam tinjauan agama sekalipun, kritik adalah suatu hal yang penting, dan tidak melulu merupakan perwujudan rasa tidak bersyukur. Yesus, misalnya, pernah mengungkapkan kritiknya** kepada pemuka Farisi yang lalim: "Celakalah kamu [...] di sebelah luar kamu tampaknya benar di mata orang, tetapi di sebelah dalam kamu penuh kemunafikan dan kedurjanaan." Nabi Muhammad sendiri, dalam sebuah hadits*** pernah bersabda: "Jihad yang paling utama adalah mengutarakan perkataan yang adil di depan penguasa atau pemimpin yang zhalim." Ungkapan syukur tidak seharusnya direduksi menjadi sebuah ungkapan kemalasan berpikir dan inaksi.

Yang kedua, bagi mereka yang menyarankan untuk keluar saja adalah tidak lebih dari sekedar patung hidup yang masokis. Saya yakin, pada suatu waktu tertentu, mereka tentu saja pernah dikecewakan oleh orang tua, atau negara, atau siapapun/apapun itu. Lantas, saya ingin menantang mereka, apakah mereka mau meninggalkan keluarganya, hanya karena pernah berselisih paham dengan keluarganya? Apakah mereka mau pergi ke luar negeri, di saat tidak ada sambal tersaji di rumah karena harga cabai dan bawang yang melambung tinggi? Pergi meninggalkan sesuatu yang mengecewakan tidak akan pernah membawa perbaikan apa-apa, alih-alih, malah semakin melanggengkan keburukan yang ada padanya. Sama saja kita mengusir orang-orang yang beritikad baik, yang mencoba memberitahu kita bahwa ada sesuatu yang salah yang mungkin tidak tertangkap mata. Solusi macam ini adalah tipikal orang-orang bebal, yang mengira dengan pindah ke bulan atau Mars di mana tidak ada yang bisa mengecewakan kita maka semua akan baik-baik saja. Tentu, ini merupakan sebuah reductio ad absurdum dan juga sebuah sesat logika straw man, tapi, alur berpikir yang dipakai tetap sama (hanya saja saya membawanya ke level yang lebih ekstrem).

Kritik-kritik kepada birokrasi akan terus ada, selama masih ada yang dapat diperbaiki dari padanya. Tidak seharusnya kita memberi disinsentif kepada mereka yang mau meluangkan waktu berpikir demi sebuah perbaikan. Adalah sebuah omong kosong besar, jika kita memuja gelar agent of change yang disematkan kepada kita saat kita masih menjadi mahasiswa baru, namun lantas mencemooh mereka yang masih menghidupi semangat tersebut bahkan ketika mereka sudah lulus dan bekerja. Jika memang polemik, kontroversi, dan gonjang-ganjing adalah sebuah keniscayaan yang mengantar kita pada revolusi, maka demi reformasi birokrasi di institusi tercinta kita ini, biarlah pikiran kita terus teragitasi.



------


Post Scriptum:


* Ujian Penyesuaian Kenaikan Pangkat


** Baca Matius 23: 27-28

*** Dari Abu Said Al Khudri. HR. Abu Daud, Kitab Al Malahim Bab Al Amru wan Nahyu, No. 4344. At Tirmidzi, Kitab al Fitan ‘an Rasulillah Bab Maa Jaa’a Afdhalul Jihad …, No. 2265. Katanya: hadits ini hasan gharib. Ibnu Majah, Kitab Al Fitan Bab Al Amru bil Ma’ruf wan nahyu ‘anil Munkar, No. 4011. Ahmad, No hadits. 10716. Dalam riwayat Ahmad tertulis "kalimatul haq" - perkataan yang benar. Syaikh Al Albani menshahihkannya dalam Misykah Al Mashabih, No. 3705

1 comment:

  1. "Sikap bersyukur adalah tidak mutually exclusive dengan menyuarakan kritik" like this !

    ReplyDelete