I.
Telah satu dekade berlalu sejak terbitnya “Lelaki Harimau” dan dicetak
ulangnya karya seminal Eka “Cantik Itu Luka”. Selama itu pula Eka Kurniawan
tertidur dari jagad kepenulisan novel (mirip dengan penis Ajo Kawir!). Dalam
entri di blog pribadinya tanggal 30 Maret 2008, Eka mengungkapkan bahwa dia
sudah menyetor naskah berjudul “Malam Seribu Bulan”
kepada penerbit. Sayang novel yang ditunggu tak juga muncul. Baru 6 tahun
kemudian, Eka bangun dengan novel “Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas.”
Entah ini naskah “Malam Seribu Bulan” yang disunting secara drastis, atau
merupakan setoran naskah yang benar-benar baru, saya kurang tahu. Mengingat
isinya yang lebih tentang penis daripada tentang bulan, rasa-rasanya ini adalah
naskah baru. Semoga saja, “Malam Seribu Bulan” diterbitkan setelah ini.
II.
“It's only after you've lost
everything that you're free to do anything”, demikian
kata Tyler Durden dalam buku ikonik Chuck Palahniuk, “Fight Club”. Demikian
pula yang mungkin menjadi kredo Ajo Kawir setelah ia tidak mampu lagi ereksi:
“Hanya orang yang enggak
bisa ngaceng,
bisa berkelahi tanpa takut mati.”
Menjadi impoten adalah menjadi pria yang kehilangan segala-galanya dalam
dunia kecil rekaan Eka Kurniawan yang memuja maskulinitas ini. Keperkasaan genital dan kekerasan
adalah norma. Tak hanya Ajo Kawir yang risau, temannya, Si Tokek, pun terus
menyalahkan dirinya sendiri atas tidurnya burung Ajo Kawir.
Pada suatu malam dulu ketika mereka masih remaja, Tokek mengajak Ajo
Kawir untuk mengintip tetangganya, Rona Merah, seorang janda yang gila karena
melihat suaminya dibunuh di depan mata kepalanya sendiri. Ketakwarasan Rona
Merah membuatnya tak peduli lagi terhadap rasa malu, dan nahasnya ini
dimanfaatkan oleh dua bocah ini sebagai objek voyeur
mereka ketika ia mandi. Sedianya cuma itu yang akan mereka lakukan: mengintip,
merancap, lalu pulang. Namun, pada malam itu, datanglah dua orang polisi bejat
memerkosa Rona Merah. Si Tokek mengajak Ajo Kawir kabur, tapi Ajo Kawir
ketahuan, sementara Si Tokek berhasil sembunyi. Ajo Kawir ditangkap, dan lantas
digelandang masuk oleh dua polisi tersebut dan dipaksa untuk menyetubuhi Rona
Merah. Ajo Kawir begitu takut, syok, dan jijik sampai burungnya tidak bisa
berdiri. Ia dipermalukan oleh kedua polisi itu dan merasa tak berdaya. Maka, malam
pertama kalinya Ajo Kawir mengintip Rona Merah menjadi malam terakhir burungnya
bisa ngaceng.
Sudah banyak usaha (yang kadang kala masokis) yang
dilakukan Ajo Kawir agar Si Burung bangun. Pernah coba dibangunkan dengan cabe,
namun si Burung tetap terlelap sementara Ajo Kawir sendiri pontang-panting
karena selangkangannya serasa dibakar. Kali lain, Ajo Kawir mencoba
menyengatnya dengan lebah, terinspirasi dari sebuah terapi alternatif. Burung
bengkak, namun bangun pun tidak. Tak hanya ia yang menderita dimakan obsesi.
Si Tokek dan ayahnya, Iwan Angsa, yang sudah menganggap Ajo Kawir sebagai
anaknya sendiri pun ikut dibikin frustasi. Pernah suatu hari Iwan Angsa memberi
Ajo Kawir buku-buku cerita stensil, berharap burungnya bisa terangsang. Namun,
Ajo Kawir hanya membacanya tanpa merasa apa-apa pada burungnya. Bahkan, seorang
pelacur pinggir rel kereta yang disewakan Iwan Angsa demi Ajo Kawir pun angkat
tangan. “Tak ada yang lebih menghinakan pelacur kecuali burung yang tak bisa
berdiri”, katanya. Pada suatu saat Ajo Kawir sudah tak tahan lagi. Si Burung
nyaris saja terpenggal jika saja tak dicegah Si Tokek. “Kalau sekarang bisa
berdiri, memangnya mau kamu pakai untuk siapa?”, demikian rasionalisasi si
Tokek. Ajo Kawir pun manut saja.
Tumbuh tanpa merasakan libido membuat Ajo
Kawir mengalihkan gejolak masa mudanya dengan berkelahi. Ia menantang siapa
saja. Modalnya cuma nyali dan
tubuh yang tahan banting, karena ia tak jago-jago amat
berkelahi. Sering ia pulang dengan badan yang babak belur, hanya untuk dirawat Iwan Angsa, sembuh, kemudian
lanjut mencari gara-gara. Suatu ketika, ia dihajar oleh anggota geng Tangan
Kosong, seorang wanita jago berkelahi bernama Iteung. Mereka berdua berkelahi
sampai sama-sama ambruk di tanah, dan Ajo Kawir mendapati dirinya jatuh cinta
dengan Iteung. Iteung pun cinta dengan Ajo Kawir meskipun ia tak bisa memuaskannya
pakai alat
kelamin. Mereka lalu menikah. Namun kemudian Iteung hamil dengan entah siapa.
Ajo Kawir murka (bagaimana bisa menghamili jika tak burungnya saja tidak bisa
ereksi?). Ia lalu pergi ke Jakarta, menjadi supir truk-cum-pacifist yang
berlandaskan suara dari kelaminnya.
III.
Jika dibaca seklias, kita bisa menuduh Eka
Kurniawan sebagai seorang seksis. Akan tetapi, “Seperti Dendam…” adalah parodi
tentang potret masyarakat yang didasari machismo
dan phallocentrisme yang eksesif. Sebuah
hidup di mana laki-laki dan perempuan sama-sama menderita karenanya. Menjadi
laki-laki berarti berani untuk menjadi brutal, dan punya penis yang berfungsi (kalau
bisa, besar pula). Pria-pria seperti Ajo Kawir (yang impoten dan lantas menjadi
pacifist) dan Mono Ompong (kenek Ajo
Kawir, yang takut berkelahi dengan Si Kumbang) mesti menderita lahir batin di
bawah tuntutan untuk menunjukkan kekuatan. Ajo Kawir menyadari betapa
dahsyatnya kemaluan yang “bisa menggerakkan orang dengan biadab” dan ”seringkali lebih banyak mengatur kita daripada yang bisa dilakukan kepala”.
Kehilangan ereksi menceraikan Ajo Kawir
dari hal yang membuatnya “laki-laki”. Ia terasing dari dirinya sendiri.
Nasib perempuan di “Seperti Dendam…” malah
lebih mengenaskan. Mereka direlegasi menjadi masyarakat kelas tiga (masyarakat kelas
dua dalam hirarkinya adalah laki-laki “gagal” seperti Ajo Kawir ini). Kita
melihat bagaimana Rona Merah diperkosa dua polisi, juga Si Iteung yang diperkosa
di ruang kelas oleh gurunya, Pak Toto, ketika dia masih SD. Vagina menjadi
barang komoditas seperti beras. Pelecehan adalah hal yang lumrah. Kelamin
dijual bahkan ketika mereka masih bocah. Menjadi wanita berarti menerima nasib
untuk suatu saat harus mengangkang demi membayar sewa (seperti tokoh Janda
Muda) juga untuk menyambung hidup, seperti pelacur-pelacur (termasuk Nina,
wanita yang ditaksir oleh Mono Ompong) dalam novel ini. Wanita harus seperti
laki-laki agar dianggap setara, setidaknya begitulah yang dilakukan Iteung
dengan cara ikut latihan bela diri. Novel ini adalah tamparan bagi kita
(terutama lelaki) yang tidak pernah menyadari bahwa kita hidup dalam masyarakat
yang patriarkis-kiriarkis.
Meminjam penjelasan Guattari dan Deleuze, masyarakat
adalah perwujudan sebuah organisme yang hirarkis. Semua orang menjadi bagian
dalam infrastrukturnya lewat ketergantungan satu sama lain dan ini sering kali
memenjara kita dalam ketidakpuasan. Ketidakpuasan (“lack”) ini, entah bersifat
libido (Freudian), maupun berbentuk neurosis ketika melihat sebuah struktur
sosial yang tidak adil (Marxian) mewujud menjadi sebuah hasrat. Dalam
perspektif Deleuzian, Ajo Kawir dan penisnya adalah sebuah gambaran proses
skizofrenik yang membebaskan. Alih-alih menjadi “id”, penis Ajo Kawir menjadi
sebuah “superego” yang memiliki sebuah “potensi untuk revolusi”. Dalam
keterasingannya dari organisasi bernama “laki-laki”, Si Burung justru mencekoki
Ajo Kawir sebuah pemikiran subversif antikekerasan. Meskipun Ajo Kawir gagal
“menginisiasi politik radikal tentang hasrat yang bebas dari semua akidah“, setidaknya
ia berhasil membebaskan dirinya sendiri. Di akhir masa mudanya, Ajo Kawir menjadi seorang
absurdist Camusian. Ia mencoba berontak terhadap konstruk sosial yang
destruktif ini. Baginya, impotennya Si Burung menjadi sebuah berkah. Si Burung
malah menjadi sebuah voice of reason.
Ia menyambutnya dengan gembira seperti Sisifus menyambut hukumannya. Bak
seorang sufi, ia menjadi orang yang lebih damai, yang lebih arif dan tenang
ketika mendengarkan burungnya yang terlelap.
IV.
Jika “Cantik Itu Luka” berlatar Indonesia
pascakolonialisme - pascakomunisme, maka “Seperti Dendam…” berlatar pada era
Soeharto. Seperti pada beberapa karya realisme-sosial milik Agus Noor dan Seno
Gumira Ajidarma, membaca “Seperti Dendam…” adalah membaca masyarakat di mana
ketakutan menjadi sebuah alat kekuasaan. Anak-anak kecil ditakuti dengan komik
Siksa Neraka. Para preman ditakuti dengan penembakan misterius. Para wanita
ditakuti dengan kekerasan dan perkosaan. Gambaran aparat keamanan dibikin satir
oleh Eka Kurniawan, seperti polisi yang amoral, juga tentara yang gemar mengadu
rakyat dalam sebuah arena perkelahian. Bukankah tentara yang menjadikan tahanan, orang Timor
Leste, Aceh, dan juga komunis seperti ayam aduan di cerita ini adalah satirisasi fenomena banality of evil yang sering terjadi
pada konflik-konflik di Indonesia? Generasi tahun 80-90 an tentu bisa
mengasosiasikan novel ini dengan kejadian-kejadian pada masa mereka.
Dalam novelnya kali
ini, Eka mencoba lebih realis daripada
novel-novel sebelumnya yang berbumbu magis (magical
realism) a la Jorge Luis Borges atau Gabriel Garcia Marquez. Ada elemen
yang hampir sama di novel ini dengan “Cantik Itu Luka”. Misalnya, tokoh
semi-mafioso Paman Gembul mengingatkan kita kepada Mama Kalong si mucikari.
Munculnya Jelita sebagai perwujudan hal-hal yang belum selesai juga mirip dengan munculnya hantu
komunis pada “Cantik Itu Luka”. Seperti “Cantik Itu Luka” pula, penceritaan
yang grotesk, kontradiktif, dan absurd terdapat pula dalam novel ini. Tokoh
Jelita, kenek baru Ajo Kawir, mengingatkan kita pada Cantik (ironisnya keduanya
berwajah buruk rupa). Cantik dan Jelita sama-sama merupakan paradoks bagi
laki-laki. Cantik bisa membuat Krisan jatuh cinta tanpa perlu takut kehilangan,
sedangkan Jelita bisa membangunkan kemaluan Ajo Kawir yang sudah berhibernasi
begitu lama, yang gagal dibangunkan oleh wanita-wanita sebelum dia. Mungkin
bedanya adalah ketiadaan tokoh seperti Dewi Ayu (yang menurut saya merupakan pastiche Nyai Ontosoroh-nya Pram),
karena rupanya Iteung malah direduksi jadi tokoh yang haus seks dari lelaki
yang bisa ereksi.
Novel ini begitu singkat, dan tidak
membutuhkan waktu lama untuk membacanya. Lengkap dengan deadpan jokes, dark humor, montase alur maju mundur yang lincah, paragraf yang
pendek-pendek, serta cerita tentang pembalasan dendam, ia mengingatkan saya
pada film Quentin Tarantino tahun 1994, “Pulp Fiction”. “Seperti Dendam…” juga ditulis
dengan stilistik a la novel stensilan namun masih terasa estetis. Sumpah
serapah serta bahasa yang profan nan vulgar yang dipakai Eka sangat khas dengan – maafkan
stereotip ini – kaum-kaum pinggiran seperti supir truk dan pelacur. Ia memotret seksualitas
yang tak melulu diglorifikasi seperti karya Ayu Utami atau Djenar Maesa Ayu.
Jika Ayu Utami dan Djenar melihat seks dari kacamata kaum urban, dengan latar
kafe, hotel, dan glamornya perkotaan, Eka melihat seks dari kacamata orang yang
secara sosioekonomi di bawah rata-rata. Alih-alih
dirayakan, justru malah sebaliknya, seks di sini adalah salah satu sumber
masalah yang begitu kuat sehingga orang-orang di dalamnya menjadi fatalistik
karena tak kuasa melawan. Kalah, bagai burung Ajo Kawir yang tumbang sampai
entah kapan.
No comments:
Post a Comment