Beberapa bulan belakangan ini, teman saya Arman Dhani, menelurkan tulisan-tulisan yang memicu kontroversi dan (maaf) mungkin terkesan pretensius. Misalnya, tulisannya yang menggugat sastrawan dan "sastrawan" sosial media dadakan yang mengeluarkan karya tak layak baca tahun kemarin. Atau, tulisannya yang mencap travel writer yang seringkali malas, pandir, tidak peduli terhadap keberlangsungan destinasi wisata tersebut dan alih-alih malah sibuk mengunggah foto di Instagram. Saya tidak menyalahkan, toh, kritik dan polemik memang penting, karena ia memancing banyak orang untuk berpikir dan menelaah kembali. Dan seburuk-buruknya manusia, adalah mereka yang masih dikaruniai kemampuan berpikir namun enggan menggunakannya, yang tidak peduli dengan keadaan di sekitarnya.
Pun ketika dia menuliskan sebuah pengantar bagi proyek menulis kolektif kami di Birokreasi. Saya merasakan kegundahan yang sama melihat skena kepenulisan di Indonesia yang sedang mengalami kebekuan intelektualitas. Atau, jika asumsi saya memang benar, dia merasakan sedikit sekali muncul adu retorika yang berkualitas hari-hari ini. Mungkin, dia merindukan adanya polemik macam Goenawan Mohamad dengan Pramoedya Ananta Toer. Atau Joseph Stalin dengan Leon Trotsky. Atau Niels Bohr dengan Albert Einstein. Terhadap ini, saya pun juga merasakan hal yang sama. Dan, jika snobbery adalah jalan untuk memunculkannya, maka biarkan saja. Namun, ini pun hanya sekedar asumsi saya. Lagi pula, kalaupun asumsi ini benar, mengkritisi snobbery bukanlah titik yang pas untuk menanggapi pengantar yang dituliskan kawan saya tadi. Ia tak lebih dari sekedar serangan ad hominem tanpa isi.
Jika saya harus menanggapi, maka saya akan berangkat dari pernyataan ini: "Agak klise sebenarnya. Kampanye seragam sudah terlalu banyak dan sayangnya hanya sedikit saja yang bisa bertahan dan menyebarkan virus literasi." Saya tidak tahu mengapa ini disebut klise. Apakah kampanye mengentaskan kemiskinan dan korupsi juga bisa disebut klise karena hal yang serupa sudah terlalu banyak namun kemiskinan dan korupsi tetap merajalela? Tentu tidak. Untuk menjadi klise, sesuatu tersebut harus menjemukan. Membikin jengah. Perjuangan, revolusi, sekecil apapun itu, tidak akan menjadi klise selama alasan positif mengapa ia diperjuangkan masih tetap ada. Lagipula, apabila tulisan Gita Wiryawan ini bisa dianggap sebagai manifesto dari gerakan kami, kami tidak pernah berpretensi untuk menyebarkan virus literasi. Kami hanya ingin berekreasi; semacam masturbasi intelektual. Beberapa karya kami (termasuk saya) lahir dari curhat belaka. Beberapa yang lain hanya ingin menceritakan hal yang banal seperti pengalamannya mendengarkan album, atau melakukan perjalanan entah ke mana. Kami menampung segala macam bentuk tulisan, terlepas apakah secara literasi ia bisa dianggap bagus (kami semua masih belajar) dan berpengaruh atau tidak. Meskipun, untuk bercita-cita menularkan virus literasi tentu saja tidak salah; malahan, sangat bagus.
Namun, saya lebih suka pernyataan Dhani sendiri, bahwa "Tentu perlu batas. Segala yang berlebihan pada akhirnya hanya akan membawa kebebalan. Juga dalam menulis." Kami tahu market niche kami seperti apa dan gerakan ini untuk apa. Menjadi kumpulan agitator propanganda untuk melahirkan polemik, bukanlah prioritas utama kami. Menjadi penulis yang kejam tanpa ampun (kritikus?) juga bukanlah prioritas utama kami. Memberikan perubahan meskipun dalam lingkup yang kecil dan membuat orang tergerak untuk melakukan sesuatu - yakni mengajak sebagian besar peserta kami yang berasal dari kaum birokrat yang rigid dan kaku, untuk sejenak melepaskan kekakuan mereka - adalah alasan kami mengada.
Ajakan Dhani untuk membaca terlebih dahulu sebelum menulis adalah gem dari pengantar yang ditulisnya. "Mustahil menulis tanpa membaca", demikian ungkapnya. Atas ini, saya sangat mengamini. Bagi saya, seperti halnya manusia haru bisa berjalan terlebih dahulu sebelum bisa berlari, ia harus membaca terlebih dahulu sebelum bisa menulis. Apa yang kita baca memberikan inspirasi stream of consciousness bagi apa yang akan kita tulis. Semakin luas khasanah bacaan kita, maka semakin banyak pula warna, diksi, moda narasi, struktur plot, simbolisme, motif, dan aliran logika yang dapat kita aplikasikan ke tulisan kita.
Akan tetapi, saya tidak mau terjebak pada elitisme yang mengagung-agungkan karya seminal klasik. Di satu sisi, Dhani menulis "Untuk itu memahami karya klasik saat ini dan mengapa ia penting merupakan berkah. Sehingga dengan akses internet yang begitu luas, kalian harusnya merebut kesempatan ini untuk membaca karya tersebut sebagai sebuah berkah kebebasan." Di sisi yang lain, dia sendiri terlihat inkonsisten dengan mengakui bahwa karya klasik "[...]terlalu membosankan untuk bisa dipahami dengan konteks kekinian secara harfiah. [...]terlalu banyak dan beberapa telah menjadi arkaik sebelum kita membacanya. [...], adalah perihal selera dan klaim. Ia tak bisa dipertanggung jawabkan secara etik kepada seluruh manusia. Dan yang terakhir karya klasik is much to [sic] overrated." Saya sendiri suka membaca karya klasik, tetapi saya tidak yakin benar apakah karya klasik yang seminal itu selalu berbanding lurus dengan kualitas. "Finnegan's Wake" dari James Joyce adalah karya seminal klasik, tetapi tidak begitu banyak orang yang bisa mengapresiasinya (saya sendiri tidak sanggup menyelesaikan membacanya). "Atlas Shrugged" dari Ayn Rand adalah karya seminal klasik, namun saya yakin banyak orang yang mengklaim pernah selesai membacanya tidak pernah benar-benar selesai membacanya. Membaca karya klasik tidak serta-merta menjadikan seorang penulis lebih berwawasan dan berbudaya daripada penulis yang tidak pernah membacanya. Karya sastra yang ada di dunia begitu bervariasi dan begitu banyak yang berkualitas, meskipun tidak klasik maupun seminal; dan penulis, dapat mengambil referensi dari mereka.
Saya sangat berterima kasih kepada Dhani, di tengah posisinya sebagai penulis yang kredibilitasnya sudah diakui dengan mendapatkan penghargaan Ahmad Wahib Award, dia mau meluangkan waktu untuk melihat kami, penulis-penulis amatiran, yang sedang mulai merangkak dari bawah; mengapresiasi kami yang sedang membangun gerakan yang mungkin di matanya terlihat klise. Tulisan pengantarnya merupakan lecutan bagi kami. Sekali lagi, Bung Dhani, saya berterima kasih.
"Tapi ada baiknya kita menjejak dari sebuah tanah yang keras, daripada lahir dari belantara surga. Kita tak butuh penulis yang lahir hanya untuk memuji dan dipuji." Saya kira saya tidak bisa lebih setuju lagi.
Teruntuk #7HariMenulis
inilah contoh dari tulisan terbaik yang berazaskan menasehati dalam kebaikan mas andre. Jangan merasa terancam dan terkungkung. Mungkin appresiasi berlebihan bisa membikin orang lupa juga.
ReplyDeletemungkin pada jamannya dulu, tulisan seperti ini bisa jadi manifesto satu gerakan. Mungkin lho yaa..
Saya mengapresiasi apa yang ditulis Mas Dhani, kok. Saya juga tidak merasa terancam. Ini hanya semacam kritik saja. :D
DeleteMungkin ini yang membedakan kaum debater dan nondebater kayak gue. Gue membaca semua informasi, yang gue setujui bakal terus diingat, yang enggak disetujui otak terlupakan begitu saja. Debater mengingat keduanya dan bisa menjelaskan kenapa bisa setuju atau tidak setuju.
ReplyDelete