Di dalam sebuah kubikel yang hampir-hampir tak terjamah cahaya matahari, seorang lelaki, dengan mata lelah, tercenung di antara kertas-kertas berisi angka-angka. Aku. Aku memohon kehidupan pada semesta yang bekerja lewat hukum yang kejam nan rahasia, seakan seorang tahanan yang meminta peluru sebagai ganti belenggu. Karena hariku adalah kehidupan di dalam kotak yang datang dan pergi bebarengan dengan matahari. Menjemukan, penuh dengan ritus-ritus yang mudah dilupakan.
Bintang-bintang malam menggeliat di langit utara, tak mengacuhkan dunia yang telah renta. Aku mengangkat pandanganku menyusuri cakrawala di hari yang gelap. Menyusuri jalanan lengang tanpa arah, sebagai ganti kuil dan gereja yang semakin lama semakin penuh dengan riuh rendah. Kulihat bayangan-bayangan oranye dari rumah-rumah yang telah terlelap. Udara dingin yang membius, langit yang makin meredup, bersama-sama menyusun satu dua paragraf cerita di dalam jiwa.
"Begitu banyak puisi", gumamku pada jalanan yang sepi. Ada perasaan yang terpuaskan saat aku bercerita kepada gunung, kepada kota di kakinya. Melebihi ketika aku bercerita kepada manusia. Aku selalu menemukan suaka pada jalanan malam. Aku menemukan Ia yang mendengar di dalam diam.
Dan, lalu, seperti itulah sebuah jiwa mendamba perjalanan. Ada mereka yang berjalan untuk sekedar bercerita. Ada mereka yang berjalan untuk menemukan jawaban dari sebuah tanya. Seringkali, tujuan dari perjalanan itu tidaklah lebih penting dari perjalanan itu sendiri.
Namun, dalam perjalanan, ada sebuah langkah yang pernah menghilangkan kita pada kesempatan-kesempatan, pada kemungkinan-kemungkinan. Apakah ia akan hilang dari dunia bersama debu jalanan? Apakah ia akan melekat selamanya kepada ingatan?
Apakah kita masih sanggup berjalan?
Monday, February 11, 2013
Wednesday, February 6, 2013
Tentang Ketidaktahuan dan Ketidakmungkinan (Bagian II)
Pada bagian pertama, saya sudah menceritakan tentang apa-apa saja yang tidak mungkin dijangkau oleh pengetahuan manusia. Bagi pembaca yang merasa tulisan saya terlalu jumpy di beberapa bagian, saya mohon maaf, itu karena saya sengaja memotong penjelasannya. Bukan karena saya merendahkan pengetahuan pembaca, melainkan karena saya merasa penjelasannya terlalu melelahkan untuk dibaca. Dan saya tidak mau maksud saya untuk semata-mata bercerita tertutup dengan analisis yang terlalu exhaustive."ἓν οἶδα ὅτι οὐδὲν οἶδα."(I know that I know nothing.)
Socrates
Pada bagian kedua, sebagai tulisan terakhir bagi #7HariMenulis, saya akan membawa Anda ke ranah filsafat, untuk melihat apa yang pernah dicetuskan para filsuf mengenai pengetahuan. Tidak, tidak, saya tidak akan membawa Anda kepada Hegel, Popper, atau Kuhn. Saya akan membawa Anda kepada hal yang lebih dasar dari filsafat tentang pengetahuan itu sendiri, yakni kemampuan untuk mengetahui sesuatu.
Dahulu sekali, seorang filsuf bernama Aristoteles, mencetuskan bahwa apa yang kita ketahui atas dunia ini terbagi dalam dua hal: fenomena dan noumena. Fenomena adalah pengetahuan subjektif kita, yang kita ketahui lewat pengalaman dan panca indera. Sedangkan noumena adalah esensi dari segala sesuatu, the thing in itself. Ia merupakan realitas yang objektif dan ultimate. Jika rokok (serta bentuk, bau, dan rasanya) adalah fenomena, maka noumena adalah ke-"rokok"-an dari sebuah benda yang kita namakan rokok itu sendiri. Bingung? Saya sendiri juga bingung. Kita mengenal dunia dengan cara mengkategorisasikan fenomena; noumena itu sendiri tidak bisa dicapai oleh pengetahuan manusia, dan karenanya, ia merupakan sesuatu yang asing bagi kita.
Rene Descartes sendiri pernah mengeksplorasi tentang ide ini lebih jauh. Ia mengungkapkan, karena kita tidak bisa mengetahui apakah objective reality benar-benar ada atau tidak, maka satu-satunya yang bisa kita ketahui dengan pasti adalah pikiran kita sendiri. Selain itu, realitas mengenai dunia ini semata-mata hanyalah asumsi, konjektur, hal yang unwarranted. Anda tentu familiar dengan ungkapan, "Aku berpikir, maka aku ada" bukan? Descartes menandaskan, bisa saja sebenarnya dunia yang kita tinggali ini tidak nyata; semacam The Matrix atau permainan komputer The Sims. Inilah yang disebut dengan paham solipsisme. Bertrand Russell sendiri membantah habis-habisan teori ini dan menganggapnya self-defeating. Seseorang yang berpikir kalau dunia ini hanyalah sesuatu yang ada di dalam pikiran, namun di saat yang sama bisa mencetuskan ide tentang solipsisme, sama saja dengan mengimplikasikan bahwa solipsisme itu hanya rekaan pikiran saja, alias tidak nyata.
Immanuel Kant membawa ide ini kepada ranah yang berbeda, pada debat tentang kehendak bebas dan determinisme (yakni tentang apakah yang kita lakukan di dunia ini murni karena kehendak bebas atau karena ditentukan oleh alam). Kant menjelaskan, mustahil untuk menjadi sepenuhnya bebas, karena untuk menjadi bebas, manusia harus pergi melangkah keluar dari hukum alam. Sementara, hukum alam seperti yang kita tahu, adalah mengenai pengalaman dan fenomena serta bekerja secara deterministik. Kita tahu gravitasi bekerja, karena kita mengalami rasanya jatuh dan melihat benda-benda yang dilempar akhirnya jatuh ke bumi. Kant berkata kal mungkin benar semua pengalaman kita adalah deterministik, karena memang seperti itulah cara kita memahami dan mengorganisasi pengetahuan kita tentang dunia ini. Sementara itu, esensi dari kebebasan itu sendiri tidak terjangkau; ia ada di luar hukum alam. Paham ini pun diamini oleh Jean-Paul Sartre.
Lalu, bagaimana cara kita bekerja jika kita tidak pernah benar-benar merasa yakin tentang apapun?
David Hume mencetuskan tentang operation of understanding berdasarkan dua hal. Pertama, relations of ideas. Relation of ideas adalah hal yang sederhana dan dapat dibuktikan tanpa perlu menjustifikasinya dengan pengalaman apapun. Contohnya, matematika. Jika a = b, dan b = c, maka a = c. Sederhana, dan pasti.
Yang kedua adalah matter of fact. Matter of fact memerlukan pengalaman untuk menjustifikasinya. Berpikirlah tentang gravitasi sekali lagi. Tidak mungkin bagi kita untuk merasionalisasi eksistensi dari gravitasi, tanpa mengalami gravitasi itu sendiri. Siapa tahu jika besok konstanta gravitasi berubah dan gravitasi tidak bekerja lagi? Tidak ada satupun pernyataan logika dan matematika yang mengharuskan bahwa ketika kita melempar benda ke atas akan selalu jatuh ke bawah, selamanya dan akan selalu seperti itu. Tidak ada kontradiksi logika atau matematika jika tiba-tiba gravitasi bumi menjadi tiga puluh kali lebih kuat - bumi hanya akan bekerja dengan cara yang berbeda. Apa yang kita pikirkan di waktu sekarang tentang masa depan (termasuk sedetik yang akan datang), tidak bisa lepas dari asumsi bahwa alam semesta di masa depan bekerja dengan cara yang sama seperti masa lalu. Dengan kata lain, ekspektasi. Meski begitu, hanya karena kita tidak tahu tentang masa depan, bukan berarti Anda lantas tidak menghindar ketika Anda dilempar batu, dan alih-alih sibuk meyakinkan diri bahwa, "Ah, siapa tahu sepersekian detik lagi hukum fisika berubah dan batunya tidak mengenai saya." Atas dasar ekspektasi inilah, pengetahuan tentang dunia kita lantas dibuat.
Ludwig Wittgenstein sendiri menyigi pengetahuan dengan cara yang berbeda. Jika orang tidak benar-benar yakin apakah gravitasi itu ada dan nyata, menurutnya, tidak ada yang bisa dilakukan untuk meyakinkan orang tersebut sebaliknya. Pernyataan "gravitasi itu nyata" bukanlah klaim tentang bagaimana dunia bekerja, melainkan sebuah ruang untuk diskusi. Tidak ada lagi yang bisa dibahas ketika sesuatu yang begitu sederhana seperti keberadaan gravitasi diragukan habis-habisan. Skeptisisme mutlak meniadakan fondasi bagi pemahaman kita, dan menggantinya dengan sesuatu yang pada akhirnya melumpuhkan pengetahuan. Tentu saja, fondasi pengetahuan bisa berubah. Namun, akan selalu tetap ada fondasi di bawah, dan fondasi tersebut lah yang memungkinkan kita to talk about the world in a meaningful way.
Dan, pada akhirnya, pengetahuan bercabang menjadi dua aliran: empirisisme dan rasionalisme. Rasionalis berangkat pada posisi bahwa kita memiliki pengetahuan, dan pengetahuan itu berangkat dari ide. Seperti matematika dan logika. Tidak ada fakta empiris yang menerangkan kalau 1 + 1 = 2, karena semuanya berdasar pada ide tentang apa itu "1", "+", "=", dan "2". Akan tetapi, rasionalisme terjebak untuk menjelaskan fenomena seperti gravitasi, di mana kita memang harus memverifikasinya dengan suatu bukti yang empiris. Misalnya, ketika kita melihat apel yang jatuh. Pengetahuan tentang gravitasi tidak bisa semata-mata dibangun dari ide. Observasi datang terlebih dahulu, baru rumus matematikanya datang belakangan. Maka muncullah paham empirisisme.
Empirisisme menerangkan kalau pengetahuan harus dapat dibuktikan. Ia menolak habis-habisan metafisika, teologi, dan etika, karena mereka tidak bisa dibuktikan secara empiris. Meskipun begitu, empirisisme terjebak pada pernyataan mereka sendiri: "pernyataan yang tidak bisa dibuktikan tidak berarti apa-apa." Bagaimana cara membuktikan kebenaran dari statement tadi? Self-defeating lagi, bukan? Belum lagi argumen Karl Popper yang menyebutkan bahwa kita tidak bisa membuktikan suatu hipotesis benar; kita hanya bisa membuktikan apakah ia ditolak atau dapat diterima. Anda yang belajar statistik tentu paham benar tentang hal tersebut. Contohnya yang lain lagi, kita bisa membuktikan kalau fisika klasik Newton salah pada level kuantum, karena kita melihat ada banyak fenomena yang tidak cocok dengan penjelasannya. Akan tetapi, kita tidak bisa secara konklusif menyatakan kalau relativisme itu selalu benar. Bagaimana jika nanti ia terbukti salah? Pada akhirnya, conclusiveness dari suatu pernyataan tidak dapat benar-benar dibuktikan.
Begitulah. Pengetahuan selalu akan diikuti oleh ketidaktahuan dan ketidakmungkinan yang lain. Debat seperti ini sudah berlangsung puluhan, ratusan tahun dan sepertinya tidak akan ada habisnya. Perkembangan pengetahuan tetap berjalan, dan bahkan semakin pesat. Tidak peduli apakah fondasinya kuat atau tidak. Karena jika kita berhenti menyelidiki hanya karena kita tidak tahu pasti apakah intuisi kita ini benar atau tidak, maka umat manusia akan berhenti berkembang dan peradaban akan hancur. Tentu, pengetahuan telah beberapa kali membawa kita pada kehancuran, misalnya pengetahuan kita tentang atom yang membawa kita pada senjata pemusnah massal. Namun, seringkali, ia membawa kita kepada pencerahan.
Maka dari itu, jangan berhenti berpikir, jangan berhenti bertanya, dan jangan berhenti menyelidiki hanya karena kita tidak pernah benar-benar mengerti tentang semua yang ada di dunia ini. Kata Pramoedya Ananta Toer, "[M]anusia pun bisa mengusahakan lahirnya syarat-syarat baru, kenyataan baru, dan tidak hanya berenang di antara kenyataan-kenyataan yang telah tersedia."
Teruntuk #7HariMenulis. Didedikasikan juga kepada Pramoedya Ananta Toer yang hari ini berulang tahun.
Tuesday, February 5, 2013
Tentang Ketidaktahuan dan Ketidakmungkinan (Bagian I)
"There are known knowns; there are things we know we know.
We also know there are known unknowns; that is to say we know there are some things we do not know."Donald Rumsfeld
Kita hidup pada masa di ilmu pengetahuan mengalami perkembangan yang luar biasa pesat. Bumi kita yang renta ini telah meyaksikan bagaimana paham geosentrisme digantikan heliosentrisme, bagaimana fisika klasik digeser fisika kuantum, bagaimana komputer berukuran 2 x 3 meter digantikan komputer yang tidak lebih lebar dari genggaman tangan. Sains mengalami proses tesis-sintesis-antitesis tanpa henti, melahirkan ide-ide dan penemuan-penemuan baru. Sains membuatkan peta tentang bagaimana dunia ini bekerja: mulai dari level selular sampai biosfer; mulai level quark sampai galactic supercluster. Namun, setelah sejauh ini, adakah hal yang tetap tidak terjangkau (dan tidak akan terjangkau) oleh sains? Ternyata ada. Sains beroperasi dengan cara menganalisa fenomena-fenomena yang terjadi di alam, di mana terdapat banyak batasan fundamental yang bekerja di dalamnya. Batasan-batasan inilah yang akhirnya menghalangi usaha manusia untuk mengkajinya. Lalu, apa saja mereka?
Fisika
Batasan yang paling sering "dilangkahi" oleh para futuris dan pengarang fiksi sains adalah batasan kecepatan cahaya: tidak ada yang bisa melebihi kecepatan cahaya (sampai ada yang bilang bahwa ini adalah hukum Tuhan ke-11). Konsekuensi pertama adalah kita tidak bisa membangun mesin warp drive dan melakukan perjalanan superluminal seperti di serial Star Trek (perjalanan superluminal membutuhkan impossible acceleration dan juga melanggar prinsip kausalitas. Baca juga entri Wikipedia berikut tentang light cone dan spacetime). Konsekuensi kedua adalah karena alam semesta berekspansi dengan kecepatan yang semakin bertambah ketika semakin jauh jaraknya, maka apapun yang berada pada jarak lebih dari 46 miliar tahun cahaya (4 x 10^23 kilometer) dari kita tidak akan pernah sampai cahayanya ke bumi, sehingga tidak akan pernah bisa dideteksi. Inilah yang menentukan jarak pandang terjauh bagi kita di alam semesta.
Batasan yang lain adalah asas ketidakpastian Heisenberg. Asas ini menjadikan mustahil untuk mengetahui posisi dan momentum suatu partikel secara pasti. Asas ini menerangkan bahwa sebelum diukur, keadaan kuantum elektron hanyalah berbentuk probabilitas yang memungkinkan ia berada pada dua tempat atau (superposisi) secara bersamaan. Hal ini menimbulkan perdebatan yang luar biasa mengapa dunia yang kita kenal tampak begitu pasti (walaupun sebenarnya tidak juga). Telepon genggam Anda tidak berada pada dua tempat pada saat yang bersamaan seperti yang kita lihat pada level kuantum, bukan? Akhirnya, muncul dua interpretasi untuk menjelaskan dunia kita: interpretasi Copenhagen dan interpretasi many-worlds. Nanti akan saya jelaskan kapan-kapan, karena tinjauan atas teori ini bisa mencakup hal yang sangat-sangat luas.
Akibat asas ketidakpastian Heisenberg ini juga, kita tidak bisa mendinginkan benda sampai benar-benar mencapai suhu 0 K (-273,15 derajat Celcius). Hal ini disebabkan karena tidak mungkin bagi suatu benda untuk mencapai tingkat energi yang benar-benar 0. Konsekuensi lainnya adalah bahwa pada level yang paling elementer, semesta bekerja secara random, acak. Ini berimplikasi pada, misalnya, ketidakmungkinan kita untuk mengetahui waktu persisnya kapan sebuah atom akan meluruh. Kita hanya bisa memprediksi probabilitas dan rata-rata half-life-nya saja. Anda tentu familiar terhadap konsep kucing yang mati dan hidup pada saat yang sama milik Schrödinger, bukan? Itu merupakan salah satu efeknya.
Masih ada hal yang lain, seperti misalnya mustahil bagi kita untuk membuat mesin yang bisa bergerak sendiri tanpa membutuhkan energi dari luar, karena ia akan melanggar Hukum Kedua Termodinamika. Atau bahwa kita tidak bisa melakukan percobaan di dalam lubang hitam. Atau untuk membuktikan secara empiris keberadaan dimensi ekstra atau string seperti yang dicetuskan oleh string theory; karena untuk membuktikan sesuatu yang begitu kecil (jauh lebih kecil dari quark) dibutuhkan energi yang sangat besar dan ukuran particle collider yang mungkin sebesar galaksi Bima Sakti ini.
Matematika
Teorema ketidaklengkapan pertama dari Kurt Gödel menyatakan bahwa pada suatu sistem matematika yang tidak mengandung kontradiksi di dalamnya, pasti mengandung ekspresi matematis yang tidak bisa dibuktikan dalam sistem itu sendiri. Gampangnya, akan selalu ada statemen matematika yang benar dan konsisten, namun tidak akan pernah bisa dibuktikan - dengan kata lain, aksioma. Dalam perkembangannya, Alan Turing mengembangkan teorema Gödel tersebut untuk merumuskan sesuatu yang musykil untuk dijawab oleh sebuah komputer: halting problem.
Biologi/Sejarah
Seperti yang telah menjadi konsensus para ilmuwan, bahwa kehidupan timbul lewat mekanisme evolusi. Maka, jika dirunut lagi jauh ke belakang sekitar 3,8 milyar tahun yang lalu, ada bentuk kehidupan pertama kali yang muncul dari benda mati. Sayangnya, bentuk makhluk hidup paling dasar (mungkin berbentuk protein tanpa RNA/DNA seperti prion) ini tidak terfosilisasi, sehingga mustahil bagi kita mempelajari mekanisme abiogenesis secara pasti. Ketidaklengkapan jejak berupa fosil juga tidak memungkinkan kita untuk memetakan evolusi secara utuh dan lengkap. Akibatnya, untuk mengetahui makhluk paling awal apa yang memiliki mata yang fungsional, atau kapan sel syaraf pertama kali muncul adalah tidak mungkin, jika bukan sangat sulit. Ketidaklengkapan artefak juga menjadi pembatas bagi kita untuk mengetahui secara pasti hal-hal seperti kapan konsep seperti kata dan kalimat muncul pertama kali dalam sejarah kehidupan manusia, atau untuk tahu seperti apa musik, tulisan, dan tarian yang paling awal dibuat oleh manusia.
Ekonomi
Tidak pernah ada teori yang mampu secara akurat dan absolut menjelaskan tentang ekonomi manusia. Teori seperti ekonometrik terganjal oleh variabel-variabel ekonomi yang tidak terisolasi dengan sempurna, serta ketergantungannya pada data historis yang kerap salah dalam memprediksi masa depan. Teori makroekonomi/mikroekonomi yang lain dibangun atas asumsi bahwa manusia sebagai homo economicus akan selalu bertindak rasional, padahal seringkali tidak. Teori yang lain seperti game theory atau behavioral economic terganjal pada model yang terlalu simplistik, players-limited (padahal semua orang dan institusi pada dasarnya adalah pelaku ekonomi dan jumlahnya ada banyak sekali, sehingga teori-teori ini tidak bisa menjelaskan agregat keseluruhan kegiatan ekonomi), serta tidak rigid secara matematis. Pada akhirnya, usaha untuk memformulasikan Economic Theory of Everything adalah hal yang musykil.
Mengetahui apa yang tidak mungkin diketahui manusia bukanlah sebuah halangan, melainkan justru adalah sebuah kesempatan untuk mengeksplorasi secara fokus hal-hal yang masih bisa diselami oleh akal pikiran dan ilmu pengetahuan manusia. Dan, pada akhirnya, pengetahuan akan menggiring kita untuk mengetahui lebih banyak lagi.
Teruntuk #7HariMenulis. Tulisan ini adalah bagian pertama. Bagian kedua, yang akan membahas filosofi tentang apa yang bisa diketahui dan yang tidak, serta menjadi tulisan terakhir bagi #7HariMenulis.
Monday, February 4, 2013
Tentang Kritik
Sering, terlampau sering saya mendengar ungkapan kekesalan yang muncul kala seseorang memutuskan untuk mengungkapkan kritik terhadap suatu hal. Anda tidak perlu jauh-jauh pergi mencarinya, silakan lihat saja linikala Twitter atau Facebook Anda. Saya yakin, barang sekali dua kali Anda pasti pernah menemukan orang yang berkata bahwa, "Ini orang bisanya kritik saja, tanpa menawarkan solusi! Memangnya dia pernah jadi penulis/presiden/penyanyi/dsb.? Memangnya gampang?"
Jika orang tersebut mau memikirkan kembali ucapannya, seharusnya ia bisa melihat sesat pikir dari perkataannya tadi. Tentu saja, sebagai pemangku kepentingan dan aktor sekaligus penonton yang mau tidak mau menyaksikan berbagai fenomena sosial yang timbul (kecuali, jika Anda tinggal di dalam gua), kritik adalah sarana yang paling alamiah bagi seseorang untuk menggugat keadaan yang ia lihat jauh dari ideal. Orang tidak perlu menjadi presiden untuk menilai kinerja seorang presiden, ia hanya perlu belajar mengerti politik, ekonomi, dan kebijakan publik. Orang tidak perlu menjadi sutradara macam Orson Welles atau Akira Kurosawa untuk tahu mana film yang jelek dan mana yang tidak, ia hanya perlu menonton sebanyak-banyaknya film, kemudian membuat tolok ukur dari situ (atau jika perlu, belajar sinematografi). Orang tidak perlu menjadi pelatih sepakbola untuk berkata bahwa Pep Guardiola adalah salah satu pelatih terbaik yang pernah melatih Barcelona, Anda hanya perlu menonton sebanyak-banyaknya pertandingan bola.
Beberapa teman saya merupakan kritikus yang handal. Mas Nuran dan Mas Manan, misalnya, keduanya bukanlah seorang musisi yang bisa Anda tunggu-tunggu kemunculannya di pentas musik tanah air. Namun, baca saja tulisan mereka. Anda akan tahu bahwa Anda sedang membaca buah pikiran kritikus dengan kredensial yang mumpuni. Atau Mas Arman Dhani, yang kritiknya membawa gonjang-ganjing di dunia Twitter sampai Goenawan Mohamad dan Dewi Lestari pun juga angkat bicara. Mas Panjoel, yang tulisan-tulisannya tentang sepakbola bernas dan cerdas. Di skena film, Anda tentu bercanda jika mengatakan bahwa pemenang Pulitzer, Roger Ebert, (yang ini bukan teman saya) atau Mas Yandri (yang ini teman saya) adalah kritikus yang payah hanya karena mereka tidak pernah membuat film yang meraih Oscar.
Lalu, untuk apa ada kritik; lebih-lebih kritik tanpa solusi, tanpa perubahan nyata yang timbul? Pertama-tama, kritik, terlepas ada atau tidaknya perubahan nyata dari tatanan sosial yang timbul, adalah suatu bentuk ekspresi manusia yang sah adanya. Raison d'être yang paling dasar bagi suatu kritik adalah untuk dikatakan, untuk diekspresikan. Tentu Anda tidak mungkin menyalahkan seorang Mancunian yang mengkritisi performa Manchester United, meskipun kritiknya tentu tidak akan pernah sampai ke telinga Sir Alex Ferguson atau bahkan Malcolm Glazer.
Di samping itu, kita tidak bisa menafikan bahwa adalah sangat mungkin bagi kritik untuk mewujud sebagai sebuah opini publik, apalagi, di era demokrasi yang menjamin para kritikus bebas dari upaya pembungkaman sistematis (systematic silencing) dan tirani mayoritas. Pada konstelasi politik Indonesia sendiri misalnya, kritik pernah menggagalkan usaha seorang gubernur incumbent untuk terpilih kembali di periode kedua. Saat kritik dilancarkan terhadap sebuah figur atau institusi, ia dapat menjangkau orang-orang yang berpendapat sama, yang sedang dalam usaha melawan hegemoni yang (mungkin) tiran dan bebal. Kritik lalu timbul sebagai inti kekuatan gerakan subversif.
Dalam ranah ilmu pengetahuan, seni, dan literatur, kritik diperlukan sebagai suatu clearing-out mechanism. Ia ada untuk memberi ruang untuk regenerasi serta menyuntikkan perspektif yang segar dan radikal, yang selama ini tertahan oleh cengkeraman pemikiran gaya lama. Jika semua orang mengamini begitu saja ide-ide yang sudah established tanpa menyanggah atau mempertanyakannya, maka musykil untuk timbul proses tesis-sintesis-antitesis seperti yang dikatakan Hegel atau perubahan paradigma seperti yang pernah diajarkan oleh Thomas Kuhn. Tanpa kritik, maka pengetahuan akan stagnan dan mati. Kritik berfungsi sebagai alat untuk membentuk diskusi yang konstruktif dan mencerahkan bagi banyak orang.
Namun, bahkan dalam lingkup yang lebih kecil, kritik pun juga sangat bermanfaat. Minimal, kritik tersebut bisa dibaca oleh mereka yang sedang membutuhkan opini orang lain terhadap sesuatu; entah tentang masalah interpretasi agama, atau masalah yang lebih remeh seperti buku apa yang menarik untuk dibeli tahun ini.
Menjadi Kritikus yang Baik
Kritik yang baik dibentuk dari argumen yang bebas dari bias, prasangka, dan sesat pikir (jika tidak, maka adu kritik dapat berakhir buruk seperti ini). Kritik harus disampaikan secara relevan terhadap apa yang hendak dikritik. Ia harus dapat dijustifikasi dengan akal sehat bagi pembacanya yang average reasonable persons. Contohnya, ketika Anda sedang menyigi suatu fenomena politik/ekonomi, maka Anda harus dapat mempertanggungjawabkannya dengan filsafat politik dan statistik ekonomi agar kritik Anda memiliki dasar untuk berdiri (ini mengapa cukup jarang ditemuikan kritik tentang politik yang cerdas di Indonesia - karena politik itu memang tidak mudah untuk dipelajari). Anda tidak boleh mengkritisi suatu kebijakan hanya karena Anda tidak suka dengan perumusnya. Anda harus dapat menjelaskan mengapa kebijakan tersebut tidak penting, tidak layak (not feasible), bertentangan dengan hak asasi manusia, atau terbukti tidak efektif, misalnya. Pun, ketika Anda sedang mengkritisi suatu tulisan atau musik, Anda harus bisa menjelaskan dengan seobyektif mungkin mengapa tulisan atau musik tersebut buruk; bukan karena semata-mata tidak suka dengan pengarangnya atau genrenya.
Namun, yang tidak kalah penting, adalah kritik harus disampaikan dalam decorum, kepantasan. Kritik yang disampaikan dengan cara yang (secara moral dan etis) bisa dikatakan menjijikkan, tidak lebih dari omong kosong yang tidak perlu dianggap serius. Bukan berarti Anda tidak boleh menuliskan kritik dalam bahasa yang satirikal, bukan. Ada batasan yang jelas antara kritik yang satir, dengan menjadi bebal dan self-righteous. Moral dan etika adalah persyaratan minimum yang harus dimiliki oleh seorang manusia. Jika tidak, maka berikanlah saja sebuah mikrofon pada seekor monyet, lalu silakan anggap apa yang dia sampaikan nantinya adalah sebuah kritik.
Membentuk Kritikus Sedari Kecil
Mayoritas dari kita tumbuh dalam budaya yang tidak mengajarkan pentingnya beretorika. Kita seringkali dididik sedari kecil untuk tidak mengkritik dan dianjurkan untuk menghindari perdebatan. Terlebih lagi, masyarakat acapkali menyamakan perdebatan dengan pertengkaran. Akibat miskonsepsi ini, tanpa disadari kita telah banyak kehilangan kemampuan untuk usefully and reasonably disagree, dan alih-alih menjadi pribadi yang lebih suka bergabung dalam groupthink, menggosip, atau menjadi pasif-agresif.
Bagi Anda yang sudah memiliki anak, maka lebih baik jika Anda mengajari anak Anda untuk beretorika dan bersikap kritis. Retorika tidak akan membentuk anak Anda menjadi tukang berkelahi, justru ia membuat anak Anda mengerti sudut pandang orang lain; ia akan mengajarkan anak Anda untuk mempersuasi orang lain, alih-alih mendominasi orang lain dengan kekuatannya.
Lalu, bagaimana caranya? Meminjam istilah Aristoteles, anda harus mengajari anak Anda bagaimana berargumen dengan logos, pathos, dan ethos. Logos adalah argumen berdasarkan logika. Pathos adalah argumen yang mempersuasi emosi lawan. Sedangkan ethos adalah argumen yang berdasarkan karakter; bagaimana si pembicara berargumen bahwa ia memiliki sifat, reputasi, dan kemampuan yang dapat diandalkan oleh orang lain. Mudahnya begini, jika logos adalah Albert Einstein, maka pathos adalah Oprah Winfrey, dan ethos adalah George Washington. Dengan mengikutsertakan mereka dalam pengambilan keputusan, mengajari nilai-nilai baik (virtues), membuat mereka berorientasi kepada masa depan dan problem-solving, serta membentuk keluarga yang demokratis dan adil dalam memberikan reward and punishment, secara alami, anak Anda akan tumbuh dengan menguasai ketiga elemen tersebut yang membentuk mereka sebagai kritikus cilik yang baik. Saya sendiri belum memiliki anak (pacar pun belum), namun, saya rasa inilah itu.
Mari sama-sama membangun budaya mengkritik!
Jika orang tersebut mau memikirkan kembali ucapannya, seharusnya ia bisa melihat sesat pikir dari perkataannya tadi. Tentu saja, sebagai pemangku kepentingan dan aktor sekaligus penonton yang mau tidak mau menyaksikan berbagai fenomena sosial yang timbul (kecuali, jika Anda tinggal di dalam gua), kritik adalah sarana yang paling alamiah bagi seseorang untuk menggugat keadaan yang ia lihat jauh dari ideal. Orang tidak perlu menjadi presiden untuk menilai kinerja seorang presiden, ia hanya perlu belajar mengerti politik, ekonomi, dan kebijakan publik. Orang tidak perlu menjadi sutradara macam Orson Welles atau Akira Kurosawa untuk tahu mana film yang jelek dan mana yang tidak, ia hanya perlu menonton sebanyak-banyaknya film, kemudian membuat tolok ukur dari situ (atau jika perlu, belajar sinematografi). Orang tidak perlu menjadi pelatih sepakbola untuk berkata bahwa Pep Guardiola adalah salah satu pelatih terbaik yang pernah melatih Barcelona, Anda hanya perlu menonton sebanyak-banyaknya pertandingan bola.
Beberapa teman saya merupakan kritikus yang handal. Mas Nuran dan Mas Manan, misalnya, keduanya bukanlah seorang musisi yang bisa Anda tunggu-tunggu kemunculannya di pentas musik tanah air. Namun, baca saja tulisan mereka. Anda akan tahu bahwa Anda sedang membaca buah pikiran kritikus dengan kredensial yang mumpuni. Atau Mas Arman Dhani, yang kritiknya membawa gonjang-ganjing di dunia Twitter sampai Goenawan Mohamad dan Dewi Lestari pun juga angkat bicara. Mas Panjoel, yang tulisan-tulisannya tentang sepakbola bernas dan cerdas. Di skena film, Anda tentu bercanda jika mengatakan bahwa pemenang Pulitzer, Roger Ebert, (yang ini bukan teman saya) atau Mas Yandri (yang ini teman saya) adalah kritikus yang payah hanya karena mereka tidak pernah membuat film yang meraih Oscar.
Lalu, untuk apa ada kritik; lebih-lebih kritik tanpa solusi, tanpa perubahan nyata yang timbul? Pertama-tama, kritik, terlepas ada atau tidaknya perubahan nyata dari tatanan sosial yang timbul, adalah suatu bentuk ekspresi manusia yang sah adanya. Raison d'être yang paling dasar bagi suatu kritik adalah untuk dikatakan, untuk diekspresikan. Tentu Anda tidak mungkin menyalahkan seorang Mancunian yang mengkritisi performa Manchester United, meskipun kritiknya tentu tidak akan pernah sampai ke telinga Sir Alex Ferguson atau bahkan Malcolm Glazer.
Di samping itu, kita tidak bisa menafikan bahwa adalah sangat mungkin bagi kritik untuk mewujud sebagai sebuah opini publik, apalagi, di era demokrasi yang menjamin para kritikus bebas dari upaya pembungkaman sistematis (systematic silencing) dan tirani mayoritas. Pada konstelasi politik Indonesia sendiri misalnya, kritik pernah menggagalkan usaha seorang gubernur incumbent untuk terpilih kembali di periode kedua. Saat kritik dilancarkan terhadap sebuah figur atau institusi, ia dapat menjangkau orang-orang yang berpendapat sama, yang sedang dalam usaha melawan hegemoni yang (mungkin) tiran dan bebal. Kritik lalu timbul sebagai inti kekuatan gerakan subversif.
Dalam ranah ilmu pengetahuan, seni, dan literatur, kritik diperlukan sebagai suatu clearing-out mechanism. Ia ada untuk memberi ruang untuk regenerasi serta menyuntikkan perspektif yang segar dan radikal, yang selama ini tertahan oleh cengkeraman pemikiran gaya lama. Jika semua orang mengamini begitu saja ide-ide yang sudah established tanpa menyanggah atau mempertanyakannya, maka musykil untuk timbul proses tesis-sintesis-antitesis seperti yang dikatakan Hegel atau perubahan paradigma seperti yang pernah diajarkan oleh Thomas Kuhn. Tanpa kritik, maka pengetahuan akan stagnan dan mati. Kritik berfungsi sebagai alat untuk membentuk diskusi yang konstruktif dan mencerahkan bagi banyak orang.
Namun, bahkan dalam lingkup yang lebih kecil, kritik pun juga sangat bermanfaat. Minimal, kritik tersebut bisa dibaca oleh mereka yang sedang membutuhkan opini orang lain terhadap sesuatu; entah tentang masalah interpretasi agama, atau masalah yang lebih remeh seperti buku apa yang menarik untuk dibeli tahun ini.
Menjadi Kritikus yang Baik
Kritik yang baik dibentuk dari argumen yang bebas dari bias, prasangka, dan sesat pikir (jika tidak, maka adu kritik dapat berakhir buruk seperti ini). Kritik harus disampaikan secara relevan terhadap apa yang hendak dikritik. Ia harus dapat dijustifikasi dengan akal sehat bagi pembacanya yang average reasonable persons. Contohnya, ketika Anda sedang menyigi suatu fenomena politik/ekonomi, maka Anda harus dapat mempertanggungjawabkannya dengan filsafat politik dan statistik ekonomi agar kritik Anda memiliki dasar untuk berdiri (ini mengapa cukup jarang ditemuikan kritik tentang politik yang cerdas di Indonesia - karena politik itu memang tidak mudah untuk dipelajari). Anda tidak boleh mengkritisi suatu kebijakan hanya karena Anda tidak suka dengan perumusnya. Anda harus dapat menjelaskan mengapa kebijakan tersebut tidak penting, tidak layak (not feasible), bertentangan dengan hak asasi manusia, atau terbukti tidak efektif, misalnya. Pun, ketika Anda sedang mengkritisi suatu tulisan atau musik, Anda harus bisa menjelaskan dengan seobyektif mungkin mengapa tulisan atau musik tersebut buruk; bukan karena semata-mata tidak suka dengan pengarangnya atau genrenya.
Namun, yang tidak kalah penting, adalah kritik harus disampaikan dalam decorum, kepantasan. Kritik yang disampaikan dengan cara yang (secara moral dan etis) bisa dikatakan menjijikkan, tidak lebih dari omong kosong yang tidak perlu dianggap serius. Bukan berarti Anda tidak boleh menuliskan kritik dalam bahasa yang satirikal, bukan. Ada batasan yang jelas antara kritik yang satir, dengan menjadi bebal dan self-righteous. Moral dan etika adalah persyaratan minimum yang harus dimiliki oleh seorang manusia. Jika tidak, maka berikanlah saja sebuah mikrofon pada seekor monyet, lalu silakan anggap apa yang dia sampaikan nantinya adalah sebuah kritik.
Membentuk Kritikus Sedari Kecil
Mayoritas dari kita tumbuh dalam budaya yang tidak mengajarkan pentingnya beretorika. Kita seringkali dididik sedari kecil untuk tidak mengkritik dan dianjurkan untuk menghindari perdebatan. Terlebih lagi, masyarakat acapkali menyamakan perdebatan dengan pertengkaran. Akibat miskonsepsi ini, tanpa disadari kita telah banyak kehilangan kemampuan untuk usefully and reasonably disagree, dan alih-alih menjadi pribadi yang lebih suka bergabung dalam groupthink, menggosip, atau menjadi pasif-agresif.
Bagi Anda yang sudah memiliki anak, maka lebih baik jika Anda mengajari anak Anda untuk beretorika dan bersikap kritis. Retorika tidak akan membentuk anak Anda menjadi tukang berkelahi, justru ia membuat anak Anda mengerti sudut pandang orang lain; ia akan mengajarkan anak Anda untuk mempersuasi orang lain, alih-alih mendominasi orang lain dengan kekuatannya.
Lalu, bagaimana caranya? Meminjam istilah Aristoteles, anda harus mengajari anak Anda bagaimana berargumen dengan logos, pathos, dan ethos. Logos adalah argumen berdasarkan logika. Pathos adalah argumen yang mempersuasi emosi lawan. Sedangkan ethos adalah argumen yang berdasarkan karakter; bagaimana si pembicara berargumen bahwa ia memiliki sifat, reputasi, dan kemampuan yang dapat diandalkan oleh orang lain. Mudahnya begini, jika logos adalah Albert Einstein, maka pathos adalah Oprah Winfrey, dan ethos adalah George Washington. Dengan mengikutsertakan mereka dalam pengambilan keputusan, mengajari nilai-nilai baik (virtues), membuat mereka berorientasi kepada masa depan dan problem-solving, serta membentuk keluarga yang demokratis dan adil dalam memberikan reward and punishment, secara alami, anak Anda akan tumbuh dengan menguasai ketiga elemen tersebut yang membentuk mereka sebagai kritikus cilik yang baik. Saya sendiri belum memiliki anak (pacar pun belum), namun, saya rasa inilah itu.
Mari sama-sama membangun budaya mengkritik!
Teruntuk #7HariMenulis.
Sunday, February 3, 2013
Dari Jalanan Alengka
*kepada penari dari Kamboja yang memerankan Sinta
Tak peduli apakah tiga puluh atau
tiga ratus enam puluh lima
surat cinta
yang sedianya kukirimkan kepadamu
satu demi satu di setiap harinya
tak akan ada yang bisa menjangkaumu
di tengah-tengah Taman Asoka
Maafkan aku, sayang,
jika aku lebih suka menyimpan
busur dan panah Guwawijaya
dan melangkah pergi
dari jalanan Alengka yang berbatu
(tersandung, tersesat, tertatih
berbekalkan hati yang terkutuk perih)
daripada harus melesatkan senjata
kepada ia yang sekarang memilikimu
Maka, biarkanlah aku,
mengumpulkan serpihan dirimu
yang telah kutulis pada kertas-kertas berserakan ini
lalu membakarnya dalam api
dan biarkan ingatan tentangmu lenyap
bersamaan dengan asap yang menjemput langit petang
karena hanya keajaiban yang mampu mewujudkan harap
kemudian membawamu kembali pulang
lantas menuliskan sejarah tepat seperti seharusnya:
bahwa Rama akan selalu menang atas Rahwana
bahwa cinta itu sebanding dengan nyawa
Teruntuk #7HariMenulis. Didedikasikan juga kepada #30HariMenulisSuratCinta
Saturday, February 2, 2013
Kepada Arman Dhani
Beberapa bulan belakangan ini, teman saya Arman Dhani, menelurkan tulisan-tulisan yang memicu kontroversi dan (maaf) mungkin terkesan pretensius. Misalnya, tulisannya yang menggugat sastrawan dan "sastrawan" sosial media dadakan yang mengeluarkan karya tak layak baca tahun kemarin. Atau, tulisannya yang mencap travel writer yang seringkali malas, pandir, tidak peduli terhadap keberlangsungan destinasi wisata tersebut dan alih-alih malah sibuk mengunggah foto di Instagram. Saya tidak menyalahkan, toh, kritik dan polemik memang penting, karena ia memancing banyak orang untuk berpikir dan menelaah kembali. Dan seburuk-buruknya manusia, adalah mereka yang masih dikaruniai kemampuan berpikir namun enggan menggunakannya, yang tidak peduli dengan keadaan di sekitarnya.
Pun ketika dia menuliskan sebuah pengantar bagi proyek menulis kolektif kami di Birokreasi. Saya merasakan kegundahan yang sama melihat skena kepenulisan di Indonesia yang sedang mengalami kebekuan intelektualitas. Atau, jika asumsi saya memang benar, dia merasakan sedikit sekali muncul adu retorika yang berkualitas hari-hari ini. Mungkin, dia merindukan adanya polemik macam Goenawan Mohamad dengan Pramoedya Ananta Toer. Atau Joseph Stalin dengan Leon Trotsky. Atau Niels Bohr dengan Albert Einstein. Terhadap ini, saya pun juga merasakan hal yang sama. Dan, jika snobbery adalah jalan untuk memunculkannya, maka biarkan saja. Namun, ini pun hanya sekedar asumsi saya. Lagi pula, kalaupun asumsi ini benar, mengkritisi snobbery bukanlah titik yang pas untuk menanggapi pengantar yang dituliskan kawan saya tadi. Ia tak lebih dari sekedar serangan ad hominem tanpa isi.
Jika saya harus menanggapi, maka saya akan berangkat dari pernyataan ini: "Agak klise sebenarnya. Kampanye seragam sudah terlalu banyak dan sayangnya hanya sedikit saja yang bisa bertahan dan menyebarkan virus literasi." Saya tidak tahu mengapa ini disebut klise. Apakah kampanye mengentaskan kemiskinan dan korupsi juga bisa disebut klise karena hal yang serupa sudah terlalu banyak namun kemiskinan dan korupsi tetap merajalela? Tentu tidak. Untuk menjadi klise, sesuatu tersebut harus menjemukan. Membikin jengah. Perjuangan, revolusi, sekecil apapun itu, tidak akan menjadi klise selama alasan positif mengapa ia diperjuangkan masih tetap ada. Lagipula, apabila tulisan Gita Wiryawan ini bisa dianggap sebagai manifesto dari gerakan kami, kami tidak pernah berpretensi untuk menyebarkan virus literasi. Kami hanya ingin berekreasi; semacam masturbasi intelektual. Beberapa karya kami (termasuk saya) lahir dari curhat belaka. Beberapa yang lain hanya ingin menceritakan hal yang banal seperti pengalamannya mendengarkan album, atau melakukan perjalanan entah ke mana. Kami menampung segala macam bentuk tulisan, terlepas apakah secara literasi ia bisa dianggap bagus (kami semua masih belajar) dan berpengaruh atau tidak. Meskipun, untuk bercita-cita menularkan virus literasi tentu saja tidak salah; malahan, sangat bagus.
Namun, saya lebih suka pernyataan Dhani sendiri, bahwa "Tentu perlu batas. Segala yang berlebihan pada akhirnya hanya akan membawa kebebalan. Juga dalam menulis." Kami tahu market niche kami seperti apa dan gerakan ini untuk apa. Menjadi kumpulan agitator propanganda untuk melahirkan polemik, bukanlah prioritas utama kami. Menjadi penulis yang kejam tanpa ampun (kritikus?) juga bukanlah prioritas utama kami. Memberikan perubahan meskipun dalam lingkup yang kecil dan membuat orang tergerak untuk melakukan sesuatu - yakni mengajak sebagian besar peserta kami yang berasal dari kaum birokrat yang rigid dan kaku, untuk sejenak melepaskan kekakuan mereka - adalah alasan kami mengada.
Ajakan Dhani untuk membaca terlebih dahulu sebelum menulis adalah gem dari pengantar yang ditulisnya. "Mustahil menulis tanpa membaca", demikian ungkapnya. Atas ini, saya sangat mengamini. Bagi saya, seperti halnya manusia haru bisa berjalan terlebih dahulu sebelum bisa berlari, ia harus membaca terlebih dahulu sebelum bisa menulis. Apa yang kita baca memberikan inspirasi stream of consciousness bagi apa yang akan kita tulis. Semakin luas khasanah bacaan kita, maka semakin banyak pula warna, diksi, moda narasi, struktur plot, simbolisme, motif, dan aliran logika yang dapat kita aplikasikan ke tulisan kita.
Akan tetapi, saya tidak mau terjebak pada elitisme yang mengagung-agungkan karya seminal klasik. Di satu sisi, Dhani menulis "Untuk itu memahami karya klasik saat ini dan mengapa ia penting merupakan berkah. Sehingga dengan akses internet yang begitu luas, kalian harusnya merebut kesempatan ini untuk membaca karya tersebut sebagai sebuah berkah kebebasan." Di sisi yang lain, dia sendiri terlihat inkonsisten dengan mengakui bahwa karya klasik "[...]terlalu membosankan untuk bisa dipahami dengan konteks kekinian secara harfiah. [...]terlalu banyak dan beberapa telah menjadi arkaik sebelum kita membacanya. [...], adalah perihal selera dan klaim. Ia tak bisa dipertanggung jawabkan secara etik kepada seluruh manusia. Dan yang terakhir karya klasik is much to [sic] overrated." Saya sendiri suka membaca karya klasik, tetapi saya tidak yakin benar apakah karya klasik yang seminal itu selalu berbanding lurus dengan kualitas. "Finnegan's Wake" dari James Joyce adalah karya seminal klasik, tetapi tidak begitu banyak orang yang bisa mengapresiasinya (saya sendiri tidak sanggup menyelesaikan membacanya). "Atlas Shrugged" dari Ayn Rand adalah karya seminal klasik, namun saya yakin banyak orang yang mengklaim pernah selesai membacanya tidak pernah benar-benar selesai membacanya. Membaca karya klasik tidak serta-merta menjadikan seorang penulis lebih berwawasan dan berbudaya daripada penulis yang tidak pernah membacanya. Karya sastra yang ada di dunia begitu bervariasi dan begitu banyak yang berkualitas, meskipun tidak klasik maupun seminal; dan penulis, dapat mengambil referensi dari mereka.
Saya sangat berterima kasih kepada Dhani, di tengah posisinya sebagai penulis yang kredibilitasnya sudah diakui dengan mendapatkan penghargaan Ahmad Wahib Award, dia mau meluangkan waktu untuk melihat kami, penulis-penulis amatiran, yang sedang mulai merangkak dari bawah; mengapresiasi kami yang sedang membangun gerakan yang mungkin di matanya terlihat klise. Tulisan pengantarnya merupakan lecutan bagi kami. Sekali lagi, Bung Dhani, saya berterima kasih.
"Tapi ada baiknya kita menjejak dari sebuah tanah yang keras, daripada lahir dari belantara surga. Kita tak butuh penulis yang lahir hanya untuk memuji dan dipuji." Saya kira saya tidak bisa lebih setuju lagi.
Teruntuk #7HariMenulis
Friday, February 1, 2013
On New Atheism
I never formally learned about philosophy of religions, but I have been in and out of various religious forums since long ago, switching roles as a theist, an atheist, or an agnostic just for the hell fun of it. I was once called as "the most intelligent theist" in an Indonesian atheist forum. I wasn't proud. I was ashamed, since I was just using standard theistic philosophical arguments. Apparently Indonesian theists are that lazy to read philosophy and apologetic books. Along these times, I've encountered various forms of theists, atheists, and agnostics. There are some who are peaceful and well-mannered (even the theists). But pains-in-the-asses were too many, not only coming from the religious, but the atheists - the new atheists - as well.
Quoting Simon Hooper on CNN, what new atheists try to disseminate is "a belief [sic] that religion should not simply be tolerated but should be countered, criticized and exposed by rational argument wherever its influence arises." It is commonly associated with Richard Dawkins, Daniel Dennett, Sam Harris, and Christopher Hitchens (together they are aptly named as "the Four Horsemen of New Atheism"). The only difference between the New Atheists and their forerunners is their stridency in highlighting and exposing the absurdities of organized religions. This may not be something new, as Bertrand Russell and Robert Ingersoll were also staunch critics of organized religions. But from now, I call "new atheists" to refer to the atheists in this internet era.
Concerning Anonymity
Before the coming of the internet that easily grants anonymity, heretical and counter-religious discourses were facing harsh treatments by then theocratic governments (except, for instance, at the time of Jalaluddin Muhammad Akbar's reign, when he provided ground for wide-range religious debates). We all remember how in 1616 Galileo was subject to the Inquisition for countering Catholic dogmatic view of geosentrism. Galileo was "more" fortunate, after all, than his colleague Giordano Bruno. In 1600, the Christian authorities in Rome put Bruno in the dungeon for 8 years, only then afterward they nailed his tongue, tied him to a metal post, put wood and some of his books under his feet, and burned him to death. And it was just for teaching heliocentrism. As the human right protection with regards to freedom of speech becomes more robust, the works from many atheist authors bloomed. However, not so much atheists enjoyed this privilege. In many theocratic countries, even becoming an apostate can lead to death sentence. We also still observe censorship, and books (even fictional works like The Satanic Verses or The Da Vinci Code) being banned or burned by governments in these days.
Then again, I'm not saying that anonymity is inherently bad or cowardly. True, outspoken people like Tan Malaka or Pramoedya Ananta Toer were brave enough to speak out to what they dearly believe as right. But in a country where Alex Aan or the recently convicted Sebastian Joe are incarcerated because of an insignificant Facebook status, anonymity grants these atheists assurance that their messages can spread widely first, before (perhaps) at certain point they are caught. Also, back then, Tan Malaka enjoyed massive supports due to the growing masses of PKI. Yet, in this era of open information, xenophobia and prejudice towards atheist - even ex-communists - is still high. You can recall how Pram was utterly disappointed with this country's half-assed apology and reconciliation process for ex-PKI members. That being said, to call these new atheists cowardly is then not quite true, as it is just a valid and strategic move.
What I want to criticize is not their anonymity, rather, the quality of their arguments. Instead of publishing well-thought satirical jeremiads like those from Voltaire or Thomas Paine, some of these new atheists turn themselves to internet anonymity as a shelter for their assholery. What's more irksome is that these new atheists contribute almost nothing towards the advancement of their position. They committed fanatically to the non-existence of God, yet only able to refute the most basic theistic arguments. They often resort to saying dopey remarks calling theism as "stupid", "barbaric" and then spewing further mockery, contempt, and condescending arrogance. They apparently forget that progressive Christian or Islam have flourished everywhere. This is utterly disappointing, as they are usually the ones who vehemently proclaim to be upholding decorum and reason over non-sequituurs. Funnily, if you try to call their movements as "getting this close to become religion", they will be terribly butthurted and will go uproar; despite actually their behaviors, as one may observe, are closer to religious fanatics than many moderate religious people. Bear in mind that I never called atheism as a religious system, merely some of new atheists' behaviors look so much like religious zealots.
On the Death of Religious Debate
I personally think that the debate of god and religion is dead already as there aren't many new epistemological/ontological approaches or new arguments these days. Many theists still revolve around 3rd century Aristotle's Prime Mover argument and argument from design (including the subsequent god-of-the-gaps arguments that follow). Some of them opt to use arguments from St. Anselm's ontology, St. Augustine, Thomas Aquinas, or Soren Kierkegaard's asceticism. Contemporary theist like Alvin Plantinga proposed "reformed epistemology", but this one is also easily refutable and is not much explored. On the other side, their atheist counterparts still revolve around Epicurean problem of evil - the most ironclad argument so far for atheism, Euthyphro dilemma, problem of hell, free will-omniscience problem, and omnipotence paradox. Oftenly they just say various refutations to theists' arguments, for example: Ultimate Boeing 747 gambit, Russell's teapot, aseity-sovereignty paradox, or anthropic principle. Everything that must be said has been said, and there are barely any significant developments. What's left to do nowadays is just completing our knowledge about Darwinian evolution, neuroscience, and astrophysical understanding of our universe. On the philosophy of god and religion? There is not much left to say.
In 1997, biologist Stephen Jay Gould coined the term non-overlapping magisteria, which means to suggest that science and religion each has a legitimate magisterium, or domain of teaching authority, and these two domains do not overlap. I think this is a more important point to start moving. We should have reached the era of what is so-called "post-religionism". In post-religionism, philosophy then serves, not to prove or disprove what view (theism, atheism, or agnosticism) is more correct. Philosophy then caters to guide a polity that allows atheists, agnostics, and theists to live in harmony. It becomes the purveyor and yardstick of rational discourse in crafting public policies, with regards to basic fulfillment of human rights protection for people with various worldviews. In such polity, religion that advocates killing other people from different religions, or condones slavery, rape, or genocide must be eliminated or be forced into being more progressive. The existence of speech that entrenched into public sphere, even though it comes from atheists, can be legitimately suppressed if it is indeed exercised in morally repugnant ways.
Certainty of god's existence (or nonexistence) cannot be possibly calculated if the tools appropriate for the task are not available. Since we cannot make any meaningful statements about what may exist outside of our closed system (i.e. god), then, doxastically, we are all
∃p: ¬p ∧ Bp.
So, unless it's about football clubs, let's not talk about what religious/non-religious view is the most superior from all.
--------------------------------------------------------------------------------------------
For my previous writings about religion: this, this, this, and this.
For more civilized debate, visit the best online religious forum in my opinion here. For one Indonesian freethinker that is not anonymous and I think well-mannered in arguing, go check Ioanes Rakhmat's Twitter timeline.
Quoting Simon Hooper on CNN, what new atheists try to disseminate is "a belief [sic] that religion should not simply be tolerated but should be countered, criticized and exposed by rational argument wherever its influence arises." It is commonly associated with Richard Dawkins, Daniel Dennett, Sam Harris, and Christopher Hitchens (together they are aptly named as "the Four Horsemen of New Atheism"). The only difference between the New Atheists and their forerunners is their stridency in highlighting and exposing the absurdities of organized religions. This may not be something new, as Bertrand Russell and Robert Ingersoll were also staunch critics of organized religions. But from now, I call "new atheists" to refer to the atheists in this internet era.
Concerning Anonymity
Before the coming of the internet that easily grants anonymity, heretical and counter-religious discourses were facing harsh treatments by then theocratic governments (except, for instance, at the time of Jalaluddin Muhammad Akbar's reign, when he provided ground for wide-range religious debates). We all remember how in 1616 Galileo was subject to the Inquisition for countering Catholic dogmatic view of geosentrism. Galileo was "more" fortunate, after all, than his colleague Giordano Bruno. In 1600, the Christian authorities in Rome put Bruno in the dungeon for 8 years, only then afterward they nailed his tongue, tied him to a metal post, put wood and some of his books under his feet, and burned him to death. And it was just for teaching heliocentrism. As the human right protection with regards to freedom of speech becomes more robust, the works from many atheist authors bloomed. However, not so much atheists enjoyed this privilege. In many theocratic countries, even becoming an apostate can lead to death sentence. We also still observe censorship, and books (even fictional works like The Satanic Verses or The Da Vinci Code) being banned or burned by governments in these days.
Then again, I'm not saying that anonymity is inherently bad or cowardly. True, outspoken people like Tan Malaka or Pramoedya Ananta Toer were brave enough to speak out to what they dearly believe as right. But in a country where Alex Aan or the recently convicted Sebastian Joe are incarcerated because of an insignificant Facebook status, anonymity grants these atheists assurance that their messages can spread widely first, before (perhaps) at certain point they are caught. Also, back then, Tan Malaka enjoyed massive supports due to the growing masses of PKI. Yet, in this era of open information, xenophobia and prejudice towards atheist - even ex-communists - is still high. You can recall how Pram was utterly disappointed with this country's half-assed apology and reconciliation process for ex-PKI members. That being said, to call these new atheists cowardly is then not quite true, as it is just a valid and strategic move.
What I want to criticize is not their anonymity, rather, the quality of their arguments. Instead of publishing well-thought satirical jeremiads like those from Voltaire or Thomas Paine, some of these new atheists turn themselves to internet anonymity as a shelter for their assholery. What's more irksome is that these new atheists contribute almost nothing towards the advancement of their position. They committed fanatically to the non-existence of God, yet only able to refute the most basic theistic arguments. They often resort to saying dopey remarks calling theism as "stupid", "barbaric" and then spewing further mockery, contempt, and condescending arrogance. They apparently forget that progressive Christian or Islam have flourished everywhere. This is utterly disappointing, as they are usually the ones who vehemently proclaim to be upholding decorum and reason over non-sequituurs. Funnily, if you try to call their movements as "getting this close to become religion", they will be terribly butthurted and will go uproar; despite actually their behaviors, as one may observe, are closer to religious fanatics than many moderate religious people. Bear in mind that I never called atheism as a religious system, merely some of new atheists' behaviors look so much like religious zealots.
On the Death of Religious Debate
I personally think that the debate of god and religion is dead already as there aren't many new epistemological/ontological approaches or new arguments these days. Many theists still revolve around 3rd century Aristotle's Prime Mover argument and argument from design (including the subsequent god-of-the-gaps arguments that follow). Some of them opt to use arguments from St. Anselm's ontology, St. Augustine, Thomas Aquinas, or Soren Kierkegaard's asceticism. Contemporary theist like Alvin Plantinga proposed "reformed epistemology", but this one is also easily refutable and is not much explored. On the other side, their atheist counterparts still revolve around Epicurean problem of evil - the most ironclad argument so far for atheism, Euthyphro dilemma, problem of hell, free will-omniscience problem, and omnipotence paradox. Oftenly they just say various refutations to theists' arguments, for example: Ultimate Boeing 747 gambit, Russell's teapot, aseity-sovereignty paradox, or anthropic principle. Everything that must be said has been said, and there are barely any significant developments. What's left to do nowadays is just completing our knowledge about Darwinian evolution, neuroscience, and astrophysical understanding of our universe. On the philosophy of god and religion? There is not much left to say.
In 1997, biologist Stephen Jay Gould coined the term non-overlapping magisteria, which means to suggest that science and religion each has a legitimate magisterium, or domain of teaching authority, and these two domains do not overlap. I think this is a more important point to start moving. We should have reached the era of what is so-called "post-religionism". In post-religionism, philosophy then serves, not to prove or disprove what view (theism, atheism, or agnosticism) is more correct. Philosophy then caters to guide a polity that allows atheists, agnostics, and theists to live in harmony. It becomes the purveyor and yardstick of rational discourse in crafting public policies, with regards to basic fulfillment of human rights protection for people with various worldviews. In such polity, religion that advocates killing other people from different religions, or condones slavery, rape, or genocide must be eliminated or be forced into being more progressive. The existence of speech that entrenched into public sphere, even though it comes from atheists, can be legitimately suppressed if it is indeed exercised in morally repugnant ways.
Certainty of god's existence (or nonexistence) cannot be possibly calculated if the tools appropriate for the task are not available. Since we cannot make any meaningful statements about what may exist outside of our closed system (i.e. god), then, doxastically, we are all
∃p: ¬p ∧ Bp.
So, unless it's about football clubs, let's not talk about what religious/non-religious view is the most superior from all.
--------------------------------------------------------------------------------------------
For my previous writings about religion: this, this, this, and this.
For more civilized debate, visit the best online religious forum in my opinion here. For one Indonesian freethinker that is not anonymous and I think well-mannered in arguing, go check Ioanes Rakhmat's Twitter timeline.
Written for #7HariMenulis. Dedicated to my theist, atheist, ignostic, nonreligious, and agnostic friends.
Subscribe to:
Posts (Atom)