Hari Jumat tanggal 16 November 2012 (sebelum gendang “Saya mau naik gunung karena film 5cm!” yang menjemukan itu terdengar) kami berdua melaju dari Karanganyar menuju Cemara Kandang dengan persiapan yang minim. Kami hanya membawa uang, jaket, baju hangat, alas tidur, jas hujan, satu (ya, satu) buah senter yang itupun juga menempel pada sebuah korek api elektrik, juga, tentu saja, batang nikotin. Saya sudah tidak memikirkan apa-apa selain bersenandung dengan nada khas Dora (“Mau ke mana kita?” “Gunung Lawu!”) yang terus terngiang-ngiang di dalam kepala.
Pukul 12 kurang sedikit, kami mulai mendaki. Perjalanan dimulai dengan melewati jalan berbatu yang membelah hutan pinus dan tanaman paku-pakuan. Selama ini perjalanan masih mudah, ditemani batang nikotin yang tersulut.
Setengah jam kemudian, kami tiba di sebuah pos di dekat Sendang Panguripan. Kami sempat berbincang dengan ibu penjual nasi di sana sambil makan gorengan. Ada juga sebuah keluarga yang terdiri dari bapak, ibu, dan seorang anak yang umurnya kira-kira masih enam tahun. “Anaknya juga sampai ke puncak, Mbak?”, tanya saya. “Iya, Dik, nggak minta digendong pula.” Luar biasa. Tak lama kemudian ada beberapa pendaki yang sedang dalam perjalanan turun bercerita bahwa ada kekurangan air bersih untuk minum di atas karena Sendang Drajat sedang kering. Saya lumayan panik (karena saya cukup sering minum) dan berkata kepada Derry, “Udah, isi air di sini aja yang banyak”.
Bapak pencari air di Sendang Panguripan.
Perjalanan dari Sendang Panguripan ke Pos 1 hanya memakan waktu yang cukup singkat, kira-kira 10 menit. Di Pos 1 ini, kami hanya istirahat sebentar dan membeli nasi untuk bekal nanti dimakan di Pos 2.
Sebuah warung di Pos 1.
Jalan dari Pos 1 ke Pos 2 ternyata lumayan panjang dan menanjak, membuat kami berkali-kali harus berhenti dan mengambil napas. Yang saya sukai dalam perjalanan mendaki Gunung Lawu ini adalah bagaimana hampir semua pendaki selalu menyapa setiap pendaki yang berpapasan dengan mereka. Mungkin seperti ada code of the mountain yang berlaku di sini. Di tengah perjalanan, kami bertemu dengan bapak, ibu, seorang pemudi, dan seorang pemuda yang bagian lututya penuh luka.
“Jatuh di atas ya, Mas?” saya bertanya.
“Oh, tidak, Dik. Jatuhnya pas naik motor mau ke sini.” Ibunya menjawab.
“Lho, itu juga nekat sampai ke puncak, Bu?”
“Iya, Mas.” Gantian si bapak yang menjawab. Sudah ada satu anak umur enam tahun dan pemuda yang baru saja mengalami kecelakaan yang mencapai puncak Lawu. Saya tidak mau kalah, tentu saja.
Kemudian ada beberapa pendaki yang turun, banyak di antaranya adalah ibu-ibu usia 30 atau 40-an. Rupanya ada acara hiking bersama satu kantor di sini. Beberapa dari mereka bertanya apakah Pos 1 masih jauh. Saya mencoba memberi jawaban yang mendekati kenyataan mengenai jarak dan waktu tempuh sebenarnya, tetapi teman saya Derry memberikan jawaban yang, bisa dibilang agak memberi harapan palsu. “Tinggal bentar lagi sampai, kok, Bu, Pak.” katanya. Ketika saya sergah, dia menjawab, “Biar semangat.” Kami meneruskan perjalanan sambil saya berceloteh tentang riset psikologi yang saya ingat (yang juga membenarkan perkataan Derry). Sungguh cara yang absurd untuk mengalihkan diri dari kelelahan dan oksigen yang semakin menipis.
Satu jam kurang, dan tibalah kami di Pos 2. Kami mampir di sebuah warung untuk makan bekal dan perjalanan pun dilanjutkan.
Warung, Pos 2.
Makanan di sini memang mahal-mahal. Tapi, jika Anda melihat apa yang harus dilakukan untuk menyediakan makanan bagi Anda di puncak gunung, saya rasa harganya layak - atau bahkan mungkin kurang adil bagi mereka.
Kami sampai di Pos 3 kira-kira pukul 3 dan mampir untuk istirahat sebentar. Beberapa bagian atapnya sudah tidak tertutup seng lagi padahal mendung sudah cukup kelam. Dan, kekhawatiran saya pun terjadi, hujan turun. Kami terpaksa menghentikan perjalanan dan bercakap-cakap dengan beberapa pendaki asal Bekasi yang turun gunung. Saya juga menyempatkan diri tidur sebentar.
Ternyata hujan tidak reda juga, sehingga saya pun berkata kepada Derry bahwa pukul 4 kita harus melanjutkan perjalanan, tidak peduli apakah hujan reda atau tidak, supaya masih ada cahaya matahari untuk menerangi perjalanan. Hujan ternyata tidak reda dan kami memakai jas hujan untuk melanjutkan perjalanan.
Percayalah, hujan itu menyenangkan jika Anda tidak sedang berada pada ketinggian 2.500 meter dari permukaan laut, mendaki jalan yang terus-terusan menanjak, dan dengan hanya satu kaki yang berfungsi optimal. Trek dari Pos 3 sampai ke Pos 4 merupakan jalur yang hanya terdiri dari tanjakan dan sedikit sekali bagian yang landai. Kami berkali-kali berhenti untuk mengambil napas setiap tiga atau empat tanjakan. Oh, iya, air minum keruh mencurigakan yang saya beli sebelum Pos 1, ternyata bukan air kotor, melainkan air jahe. Sepanjang perjalanan saya tidak mengambil gambar karena ponsel saya taruh di tas agar tidak basah karena hujan.
Pukul 5 kami sampai di Pos 5. Kami tidak berhenti sama sekali dari Pos 4, karena dari Pos 4 sampai ke Pos 5 cuma memerlukan waktu 15-20 menit. Dan meskipun hujan tidak berhenti, sunset terlihat dari sini.
Matahari terbenam di Pos 5.
Di Pos 5 saya secara kebetulan (I mean, what are the odds? What a coincidence!) bertemu kawan-kawan saya dari STAN: Heri, Rizal, dan Agus. Mereka bersama dua temannya lagi. Saya dan Derry menghabiskan waktu mengobrol dengan mereka di sebuah warung sambil ngopi sampai pukul 6 lebih. Rizal dan Agus mendirikan tenda, dan ketika sudah selesai, mereka kembali untuk menjemput Heri dan dua kawannya. Sementara saya dan Derry memilih untuk menginap di Mbok Yem, sebuah warung cum tempat menginap yang sangat-sangat sederhana berjarak kira-kira 10 menit perjalanan dari situ dan 200 meter di bawah puncak. Kegiatan kami di Mbok Yem hanya makan, ngopi, merokok, menghangatkan diri di dekat tungku, lalu tidur.
Warung Mbok Yem, daerah Hargo Dalem.
Pukul 3 pagi saya bangun. Hujan sudah reda dan langitnya bertaburan bintang, literally. Karena udara di sini sangat bersih, dan mengingat ketinggiannya serta langit yang bebas dari awan, maka bintang-bintang kecil yang biasanya tidak terlihat karena cahayanya terkaburkan oleh atmosfer jadi terlihat secara jelas di sini. Sayang sekali kamera ponsel saya terlalu lemah untuk menangkap cahayanya. Mungkin memang ada beberapa hal indah yang hanya bisa ditangkap mata dan bukan oleh simulakra kamera. Entahlah, yang jelas, pemandangan seperti ini sungguh menakjubkan. Bintang di atas, lampu kota Karanganyar di kejauhan, persis seperti Bukit Bintang di Jogjakarta, namun saya rasa 10 kali lebih indah. Saya dan Derry menyempatkan diri mengunjungi petilasan di mana Prabu Brawijaya V dianggap moksa (menghilang beserta jasadnya) sebelum naik ke puncak.
Jalan ke puncak itu sendiri tidak memiliki jalur yang pasti selain mengikuti selokan yang terbentuk dari tanah yang tergerus erosi. Pada saat itu (pukul 4) keadaan masih gelap gulita dan senter yang kami bawa hanyalah berupa lampu kecil yang menempel pada korek api. Di kiri-kanan banyak beraneka jenis pohon berukuran sedang yang membuat kami seringkali kehilangan arah dan harus memutar mencari jalur lain. Dan memang kami kehilangan arah, saat jarak hanya tinggal 10 meter dari semacam clearance (daerah yang bebas pohon dan rata) di bawah puncak. Sementara untuk berbalik ke belakang sudah terlalu jauh. Pilihan kami hanya dua: menunggu pendaki lain lewat atau nekat berjalan menembus pohon dan semak-semak. Kami memilih pilihan yang kedua.
Setelah menikmati bagaimana rasanya ditusuk-tusuk oleh duri dan ranting pohon, sampailah kami di puncak sebagai pendaki pertama hari itu. Matahari bahkan masih belum muncul, dan Merkurius serta Venus masih bertengger di langit. Lelah? Cedera di engkel? Sama sekali tidak terasa.
Titik putih di sebelah kiri atas adalah Venus, sedangkan Merkurius cahayanya sudah terlalu lemah untuk tertangkap kamera.
Lalu, matahari pun muncul, dan kami menikmati theatre du soleil – teater matahari yang indah ini. Jika ini bukanlah merupakan hal yang menyenangkan, maka saya tidak tahu lagi apa ini.
Selamat pagi, dunia!
Clouds.
Dawn.
Bukit sebelah.
More clouds.
Langit nampak seperti lautan.
Pluto, our guardian angel.
Padang rumput.
Pohon bunga Edelweiss.
Sendang Drajat. Kering kerontang.
Misty mountain.
A solitary tree.
Pohon ini tumbuh di atas batu - secara harafiah.
Padang rumput lagi.
Batu belah di dekat Pos 3.
"Siapa suruh, Dik, kamu cantik sekali?" - actual quote dari nyanyian anak-anak Undip yang kami temui ketika turun gunung.
Padang rumput lagi.
Entah kenapa saya jadi terbayang The Lord of the Ring.
"Cinta ora jahat." Yang artinya "cinta tidak jahat". Vox populi vox dei!
keren ceritanya, fotonya juga mantap.. salam kenal dari bandung. :)
ReplyDelete