Review ini hanya sekedar ikut-ikutan saja, karena banyak
orang di Twitter yang sudah mengulas tentang film terbaru besutan Christopher
Nolan dan juga seri terakhir dari trilogi Batman miliknya, “The Dark Knight
Rises” (demikian akan disebut TDKR). Saya tidak akan mengulas tentang bagaimana
kerennya teknologi CGI yang digunakan untuk membuat gambaran Batpod dan “The
Bat,” atau scoring orkestratik milik
Hans Zimmer yang terdengar sangat grandiose,
atau berapa skor yang layak untuk film ini. Yang itu saya serahkan pada
peresensi film saja.
Jika Anda berumur lebih dari 17 tahun dan sedikit banyak
paham tentang kondisi politik dan ekonomi di dunia, khususnya di Amerika
Serikat (dan jika kehidupan Anda tidak melulu dipenuhi dengan obsesi kepada
bintang K-Pop), tentu mahfum bahwa di balik film TDKR ini terdapat sentimen
politik, meskipun Nolan tidak terang-terangan mengakuinya. Hal ini tidaklah
mengejutkan, mengingat sebenarnya, jika kita bisa melihat jauh melampaui performance apik dari Joker-nya Heath Ledger
di film sebelum TDKR, yaitu “The Dark Knight”, ada alegori tentang situasi
politik yang dialami Amerika Serikat pascaperistiwa 9/11 yang bisa ditarik
darinya. Misalnya, bagaimana Joker mengakali anak buahnya untuk menjalankan
aksi yang sebenarnya merupakan misi bunuh diri (here goes the terrorism). Atau bagaimana pahlawan kita Bruce Wayne
alias Batman menculik Lau, sang akuntan para mafia, di Hong Kong (here goes the extraordinary rendition).
Atau, bagaimana Batman dan Lucius Fox menyadap sinyal telepon genggam
orang-orang dan menggunakannya sebagai pelacak (here go the PATRIOT Act and
wiretapping). Bahkan, ada yang membandingkan pertarungan Batman vs. Joker
sebagai “perang” antara Dick Cheney dengan Osama bin Laden.
Sinopis (SPOILER ALERT!)
Kisah TDKR sebenarnya sederhana: Bruce Wayne (diperankan
oleh Christian Bale) yang kecewa karena kematian kekasihnya Rachel Dawes serta
terpaksa dikorbankan image-nya
sebagai pahlawan agar Harvey Dent, sang jaksa-brilian-namun-berubah-menjadi-penjahat-bernama-Two-Face
namanya tetap harum, mengasingkan diri selama delapan tahun. Dia tahu dirinya
tidak dibutuhkan lagi oleh Gotham; sudah ada Harvey Dent Act yang menjaga para
penjahat dibalik jeruji besi. Dan dengan demikianlah dia kehilangan semangat
hidup, karena dia tidak tahu harus hidup demi apa atau siapa lagi. Sampai
muncullah seorang teroris bernama Bane (Tom Hardy).
Tom Hardy sebagai Bane. Sebenarnya saya berharap Vin Diesel saja yang memerankannya.
Tidak seperti Joker yang terkesan chaotic dan hanya ingin melihat dunia terbakar, Bane memiliki
sebuah cita-cita yang di luarnya tampak mulia: menghancurkan sistem dan
mengembalikannya kepada rakyat. Dia memiskinkan Bruce Wayne, membebaskan para
penjahat, mempersenjatai mereka, dan mencuri teknologi fisi milik Wayne
Corporation dan mengubahnya menjadi bom neutron. Gotham jatuh, bahkan lebih
hancur daripada sebelumnya ketika di tangan Joker. Anggota kepolisian Gotham
terjebak dan tidak bisa berbuat apa-apa. Orang-orang kaya dirampok dan dibunuh.
Sisanya diadili secara kejam di “Pengadilan Rakyat” yang hukumannya hanya ada
dua: dibuang atau mati, yang keduanya sama-sama berujung pada kematian.
Batman tidak berdaya baik secara fisik maupun semangatnya,
dan bahkan dikecewakan lebih lagi oleh pelayannya yang setia, Alfred Pennyworth
(Michael Caine). Beruntung di antara penduduk Gotham masih ada orang-orang
seperti Lucius Fox (Morgan Freeman), Opsir John Blake (Joseph Gordon-Levitt),
dan Komisaris Polisi James Gordon (Gary Oldman – masih brilian seperti
biasanya) yang membantu. Juga ada Selina Kyle (Anne Hathaway), Robin Hood-slash-femme fatale yang lincah seperti
kucing, yang akhirnya datang sebagai juru selamat. Di akhir, siapa kawan dan
siapa lawan akhirnya terungkap. Dan Batman harus menghadapi kekecewaan (sekali lagi)
bahwa musuh yang selama ini dicarinya ternyata ada di bawah hidungnya, serta
keadaan yang memaksa dia untuk mengorbankan hal terbesar yang dapat diberikan
oleh seorang pahlawan, yakni hidupnya sendiri, bagi kota yang selama ini
menganggapnya sebagai seorang penjahat.
Tentang Anarkisme?
Kali ini alegorinya cukup jelas. Dengan adegan nyanyian “The
Star Spangled Banner” dan bendera Amerika Serikat yang compang-camping, orang
bisa melihat konteks tentang kesenjangan sosial di Amerika Serikat dan gerakan
“Occupy Wall Street” di film ini –
selain juga mencatut Harvey Dent Act yang sangat mirip dengan PATRIOT Act sambil lalu dan kemudian tidak dikembangkan
lagi. Digambarkan di TDKR bahwa kalangan
pengusaha, bankir, pialang saham, dan orang-orang kaya lainnya sibuk berpesta
dan menyibukkan diri dengan kegiatan filantropis dangkal berkedok acara
penggalangan amal – atau dengan meminjam kalimat Selina Kyle - mereka “hidup
berkecukupan dan menyisakan hanya sedikit saja bagi orang lain”. Di sisi lain,
ada anak-anak panti asuhan yang tidak terurus, ada tukang semir sepatu yang
terpaksa merendahkan dirinya di depan dua orang pialang saham demi satu atau
dua dollar. Lalu datanglah Bane dengan semangat revolusi yang tampaknya
pro-rakyat cilik. Dia “menyerahkan” Gotham kembali ke tangan rakyat. Rakyat
yang selama ini tertekan oleh kemiskinan dan ketidakadilan memberontak kepada
kaum elit, lalu runtuhlah tatanan sosial di Gotham. Apa yang coba diungkapkan
Nolan dengan kontekstualisasi macam ini? Apakah dia mencoba mengingatkan kaum
satu persen tentang konsekuensi menjadi kikir, a la sinetron Hidayah? Mungkin
saja. Namun, apakah penggambaran seperti ini does some justice terhadap gerakan revolusi rakyat yang
berlandaskan anarkisme dan sosialisme? Saya tidak setuju.
Ada yang bilang revolusi yang dilakukan Bane mirip dengan
apa yang dicetuskan Mikhail Bakunin (bubarkan penjara, bunuh orang-orang kaya!).
Saya rasa tidak. Revolusi yang dilakukan Bane dan Miranda Tate/Talia al-Ghul
(diperankan oleh Marion Cotillard yang luar biasa cantik) tidak berlandaskan filosofi
apa-apa, melainkan hanyalah sebuah intrik balas dendam dan sekedar father issue. Apakah rakyat yang miskin
dan yang termarjinalkan lah yang sedang berrevolusi di kota Gotham? Bukan.
Mereka adalah eks-napi yang banyak diantaranya adalah anggota mafia, geng, dan mob. Lagipula, anarkisme bukanlah konsep
yang membenarkan orang merampok atau memperkosa satu sama lain hanya karena
adanya semangat free sharing.
Anarkisme tetap menghormati dan menganggap penting adanya consent atau
persetujuan orang lain (meskipun dalam teori anarkisme, menghormati consent orang lain ini tidak di-enforce oleh negara). Sosialisme juga
bukanlah tentang mengambil kalung mutiara milik orang kaya, tetapi tentang
penggunaan means of production secara
komunal. Dan lagi, anarkisme tidak melulu tentang kekerasan. Simak apa yang
dicetuskan Henry David Thoreau, Mohandas Karamchand Gandhi, dan Leo Tolstoy sebagai anarcho-pacifism. Apa yang
dilakukan Nolan justru bisa jadi akan menambah sentimen anti-kiri gaya
Republikan yang sekarang mulai kuat kembali di Amerika Serikat.
Sosok Alfred pun tidak kalah problematisnya. Dia menganggap
bahwa yang dibutuhkan seorang Gotham bukanlah Bruce Wayne sebagai Batman, namun
sebagai seorang filantropis. Filosofi “filantropi sebagai alternatif dari revolusi”
macam inilah yang salah sasaran. Bruce Wayne sendirian tidak mungkin
menghapuskan kesenjangan sosial dengan kedermawanannya. Impuls sosial yang
melahirkan revolusi ada bukan karena cuma ada sebiji-dua biji dermawan di kota.
Hal ini bukan berarti bahwa charity itu
tidak layak untuk dilakukan. Bukan. Namun, ada struktur politik, struktur
ekonomi, dan struktur sosial yang kesemuanya menciptakan kesenjangan dan
ketidakadilan di masyarakat yang tidak akan hilang semata-mata karena ada aksi
kedermawanan beberapa orang kaya. Revolusi anarkis/sosialis mencoba mengubah
tatanan semacam itu, dan Bruce Wayne bisa saja menyalurkan Messiah complex yang dideritanya untuk mendukung revolusi tersebut.
“Struktur adalah belenggu,” demikian kata John Blake, dan vigilante macam Batman dan John Blake yang mampu melewati struktur
inilah yang seharusnya mampu membantu revolusi mengubah tatanan kota Gotham
menjadi lebih baik.
Siapa Pahlawannya?
Nolan adalah penutur yang jenius. Dia bisa membuat film yang
appealing ke pencinta film block buster maupun pecinta film non-mainstream; yang appealing ke anak-anak yang gemar Batman,
maupun ke bapak-ibunya yang gemar politik (meskipun saya yakin sepanjang film mereka
pasti pusing ditanyai oleh anak-anaknya). Ia mampu merekonstruksi habis-habisan
tokoh-tokoh macam Joker, Bane, dan Selina Kyle, serta mengkontekstualisasi
ulang cerita dari komik Batman (misalnya, menciptakan tokoh John Blake dan
memakai kisah Bane yang lahir di penjara sebagai kisah hidup Talia al-Ghul). Nolan
juga mampu menciptakan film superhero tanpa superhero, yang biasanya dipatok tanpa
cela. Bagaimana tidak? Hampir semua tokoh di TDKR mengalami momen kepahlawanan
dan kejatuhannya masing-masing. Batman, sang tokoh sentral, pada mulanya undur
diri jadi pahlawan, meskipun dia tahu benar Gotham membusuk perlahan-lahan.
Komisaris Gordon, terpaksa menyangkal dirinya setiap tahun pada peringatan
Harvey Dent Day dan terlibat pada konspirasi untuk menjatuhkan Batman agar
Harvey Dent Act bisa dijalankan; meskipun dia tahu benar Harvey Dent lah
penjahat sesungguhnya dulu. Alfred Pennyworth, sang pelayan keluarga Wayne yang
setia, pergi meninggalkan Bruce Wayne bahkan pada momen-momen terendah dalam hidupnya
sebagai Batman. Selina Kyle meskipun jadi pahlawan, mulanya adalah pencuri
spesialis orang-orang kaya dan juga pada satu waktu mengkhianati sang Batman.
Bane, si penjahat, ternyata digambarkan dulu pernah menolong Miranda Tate/Talia
al-Ghul kecil ketika waktu masih dipenjara di Pena Dura. Dan Miranda Tate/Talia
al-Ghul, di balik misi mulianya untuk menolong Gotham menyediakan energi yang
murah dan terbarukan, ternyata mastermind hancurnya Gotham selama ini.
Marion Cotillard sebagai Miranda Tate. Anggun sekali. How can you not love her?
Sesungguhnya, tokoh yang tidak melenceng dari pakem klasik seorang pahlawan adalah John Blake. Lihat saja integritasnya ketika polisi lain mencoba menangkap Batman demi ketenaran, dia satu-satunya yang percaya bahwa Batman-lah pahlawan Gotham yang sebenarnya. Dialah yang berani bertaruh nyawa demi menyelamatkan polisi Gotham lainnya yang terjebak. Dialah yang mengetahui (entah bagaimana caranya, tidak dijelaskan) tentang alter ego Bruce Wayne dan meyakinkan padanya bahwa Gotham masih memerlukan dia sebagai Batman. Dan ketika Batman telah lengser, Gotham masih bisa bernafas lega, karena dari Bat Cave akan muncul seorang pahlawan anyar: Robin John Blake.
Superb review;)
ReplyDeleteAku suka banget film ini tapi ga sempet berpikir sejauh kamu, tentang filosofi2 yang terkandung didalamnya. Mungkin karena distracted dengan special effects yang disuguhkan, juga kecantikan dan keahlian si Selina Kyle ketika melakukan tugasnya. Mungkin juga dengan banyaknya tokoh menarik dengan ceritanya sendiri, atau dengan plot yang lebih banyak mengasah otak dibandingkan dengan film superhero lain..
Semoga banyak film lain seperti ini;)