Monday, July 30, 2012

The Dark Knight Rises: Tentang Anarkisme dan John Blake


Review ini hanya sekedar ikut-ikutan saja, karena banyak orang di Twitter yang sudah mengulas tentang film terbaru besutan Christopher Nolan dan juga seri terakhir dari trilogi Batman miliknya, “The Dark Knight Rises” (demikian akan disebut TDKR). Saya tidak akan mengulas tentang bagaimana kerennya teknologi CGI yang digunakan untuk membuat gambaran Batpod dan “The Bat,” atau scoring orkestratik milik Hans Zimmer yang terdengar sangat grandiose, atau berapa skor yang layak untuk film ini. Yang itu saya serahkan pada peresensi film saja.

Jika Anda berumur lebih dari 17 tahun dan sedikit banyak paham tentang kondisi politik dan ekonomi di dunia, khususnya di Amerika Serikat (dan jika kehidupan Anda tidak melulu dipenuhi dengan obsesi kepada bintang K-Pop), tentu mahfum bahwa di balik film TDKR ini terdapat sentimen politik, meskipun Nolan tidak terang-terangan mengakuinya. Hal ini tidaklah mengejutkan, mengingat sebenarnya, jika kita bisa melihat jauh melampaui performance apik dari Joker-nya Heath Ledger di film sebelum TDKR, yaitu “The Dark Knight”, ada alegori tentang situasi politik yang dialami Amerika Serikat pascaperistiwa 9/11 yang bisa ditarik darinya. Misalnya, bagaimana Joker mengakali anak buahnya untuk menjalankan aksi yang sebenarnya merupakan misi bunuh diri (here goes the terrorism). Atau bagaimana pahlawan kita Bruce Wayne alias Batman menculik Lau, sang akuntan para mafia, di Hong Kong (here goes the extraordinary rendition). Atau, bagaimana Batman dan Lucius Fox menyadap sinyal telepon genggam orang-orang dan menggunakannya sebagai pelacak (here go the PATRIOT Act and wiretapping). Bahkan, ada yang membandingkan pertarungan Batman vs. Joker sebagai “perang” antara Dick Cheney dengan Osama bin Laden.


Sinopis (SPOILER ALERT!)


Kisah TDKR sebenarnya sederhana: Bruce Wayne (diperankan oleh Christian Bale) yang kecewa karena kematian kekasihnya Rachel Dawes serta terpaksa dikorbankan image-nya sebagai pahlawan agar Harvey Dent, sang jaksa-brilian-namun-berubah-menjadi-penjahat-bernama-Two-Face namanya tetap harum, mengasingkan diri selama delapan tahun. Dia tahu dirinya tidak dibutuhkan lagi oleh Gotham; sudah ada Harvey Dent Act yang menjaga para penjahat dibalik jeruji besi. Dan dengan demikianlah dia kehilangan semangat hidup, karena dia tidak tahu harus hidup demi apa atau siapa lagi. Sampai muncullah seorang teroris bernama Bane (Tom Hardy).


Tom Hardy sebagai Bane. Sebenarnya saya berharap Vin Diesel saja yang memerankannya.

Tidak seperti Joker yang terkesan chaotic dan hanya ingin melihat dunia terbakar, Bane memiliki sebuah cita-cita yang di luarnya tampak mulia: menghancurkan sistem dan mengembalikannya kepada rakyat. Dia memiskinkan Bruce Wayne, membebaskan para penjahat, mempersenjatai mereka, dan mencuri teknologi fisi milik Wayne Corporation dan mengubahnya menjadi bom neutron. Gotham jatuh, bahkan lebih hancur daripada sebelumnya ketika di tangan Joker. Anggota kepolisian Gotham terjebak dan tidak bisa berbuat apa-apa. Orang-orang kaya dirampok dan dibunuh. Sisanya diadili secara kejam di “Pengadilan Rakyat” yang hukumannya hanya ada dua: dibuang atau mati, yang keduanya sama-sama berujung pada kematian.

Batman tidak berdaya baik secara fisik maupun semangatnya, dan bahkan dikecewakan lebih lagi oleh pelayannya yang setia, Alfred Pennyworth (Michael Caine). Beruntung di antara penduduk Gotham masih ada orang-orang seperti Lucius Fox (Morgan Freeman), Opsir John Blake (Joseph Gordon-Levitt), dan Komisaris Polisi James Gordon (Gary Oldman – masih brilian seperti biasanya) yang membantu. Juga ada Selina Kyle (Anne Hathaway), Robin Hood-slash-femme fatale yang lincah seperti kucing, yang akhirnya datang sebagai juru selamat. Di akhir, siapa kawan dan siapa lawan akhirnya terungkap. Dan Batman harus menghadapi kekecewaan (sekali lagi) bahwa musuh yang selama ini dicarinya ternyata ada di bawah hidungnya, serta keadaan yang memaksa dia untuk mengorbankan hal terbesar yang dapat diberikan oleh seorang pahlawan, yakni hidupnya sendiri, bagi kota yang selama ini menganggapnya sebagai seorang penjahat.


Tentang Anarkisme?


Kali ini alegorinya cukup jelas. Dengan adegan nyanyian “The Star Spangled Banner” dan bendera Amerika Serikat yang compang-camping, orang bisa melihat konteks tentang kesenjangan sosial di Amerika Serikat dan gerakan “Occupy Wall Street” di film ini – selain juga mencatut Harvey Dent Act yang sangat mirip dengan PATRIOT Act  sambil lalu dan kemudian tidak dikembangkan lagi.  Digambarkan di TDKR bahwa kalangan pengusaha, bankir, pialang saham, dan orang-orang kaya lainnya sibuk berpesta dan menyibukkan diri dengan kegiatan filantropis dangkal berkedok acara penggalangan amal – atau dengan meminjam kalimat Selina Kyle - mereka “hidup berkecukupan dan menyisakan hanya sedikit saja bagi orang lain”. Di sisi lain, ada anak-anak panti asuhan yang tidak terurus, ada tukang semir sepatu yang terpaksa merendahkan dirinya di depan dua orang pialang saham demi satu atau dua dollar. Lalu datanglah Bane dengan semangat revolusi yang tampaknya pro-rakyat cilik. Dia “menyerahkan” Gotham kembali ke tangan rakyat. Rakyat yang selama ini tertekan oleh kemiskinan dan ketidakadilan memberontak kepada kaum elit, lalu runtuhlah tatanan sosial di Gotham. Apa yang coba diungkapkan Nolan dengan kontekstualisasi macam ini? Apakah dia mencoba mengingatkan kaum satu persen tentang konsekuensi menjadi kikir, a la sinetron Hidayah? Mungkin saja. Namun, apakah penggambaran seperti ini does some justice terhadap gerakan revolusi rakyat yang berlandaskan anarkisme dan sosialisme? Saya tidak setuju.

Ada yang bilang revolusi yang dilakukan Bane mirip dengan apa yang dicetuskan Mikhail Bakunin (bubarkan penjara, bunuh orang-orang kaya!). Saya rasa tidak. Revolusi yang dilakukan Bane dan Miranda Tate/Talia al-Ghul (diperankan oleh Marion Cotillard yang luar biasa cantik) tidak berlandaskan filosofi apa-apa, melainkan hanyalah sebuah intrik balas dendam dan sekedar father issue. Apakah rakyat yang miskin dan yang termarjinalkan lah yang sedang berrevolusi di kota Gotham? Bukan. Mereka adalah eks-napi yang banyak diantaranya adalah anggota mafia, geng, dan mob. Lagipula, anarkisme bukanlah konsep yang membenarkan orang merampok atau memperkosa satu sama lain hanya karena adanya semangat free sharing. Anarkisme tetap menghormati dan menganggap penting adanya consent atau persetujuan orang lain (meskipun dalam teori anarkisme, menghormati consent orang lain ini tidak di-enforce oleh negara). Sosialisme juga bukanlah tentang mengambil kalung mutiara milik orang kaya, tetapi tentang penggunaan means of production secara komunal. Dan lagi, anarkisme tidak melulu tentang kekerasan. Simak apa yang dicetuskan Henry David Thoreau, Mohandas Karamchand Gandhi, dan Leo Tolstoy sebagai anarcho-pacifism. Apa yang dilakukan Nolan justru bisa jadi akan menambah sentimen anti-kiri gaya Republikan yang sekarang mulai kuat kembali di Amerika Serikat.

Sosok Alfred pun tidak kalah problematisnya. Dia menganggap bahwa yang dibutuhkan seorang Gotham bukanlah Bruce Wayne sebagai Batman, namun sebagai seorang filantropis. Filosofi “filantropi sebagai alternatif dari revolusi” macam inilah yang salah sasaran. Bruce Wayne sendirian tidak mungkin menghapuskan kesenjangan sosial dengan kedermawanannya. Impuls sosial yang melahirkan revolusi ada bukan karena cuma ada sebiji-dua biji dermawan di kota. Hal ini bukan berarti bahwa charity itu tidak layak untuk dilakukan. Bukan. Namun, ada struktur politik, struktur ekonomi, dan struktur sosial yang kesemuanya menciptakan kesenjangan dan ketidakadilan di masyarakat yang tidak akan hilang semata-mata karena ada aksi kedermawanan beberapa orang kaya. Revolusi anarkis/sosialis mencoba mengubah tatanan semacam itu, dan Bruce Wayne bisa saja menyalurkan Messiah complex yang dideritanya untuk mendukung revolusi tersebut. “Struktur adalah belenggu,” demikian kata John Blake, dan vigilante macam Batman dan John Blake yang mampu melewati struktur inilah yang seharusnya mampu membantu revolusi mengubah tatanan kota Gotham menjadi lebih baik.


Siapa Pahlawannya?


Nolan adalah penutur yang jenius. Dia bisa membuat film yang appealing ke pencinta film block buster maupun pecinta film non-mainstream; yang appealing ke anak-anak yang gemar Batman, maupun ke bapak-ibunya yang gemar politik (meskipun saya yakin sepanjang film mereka pasti pusing ditanyai oleh anak-anaknya). Ia mampu merekonstruksi habis-habisan tokoh-tokoh macam Joker, Bane, dan Selina Kyle, serta mengkontekstualisasi ulang cerita dari komik Batman (misalnya, menciptakan tokoh John Blake dan memakai kisah Bane yang lahir di penjara sebagai kisah hidup Talia al-Ghul). Nolan juga mampu menciptakan film superhero tanpa superhero, yang biasanya dipatok tanpa cela. Bagaimana tidak? Hampir semua tokoh di TDKR mengalami momen kepahlawanan dan kejatuhannya masing-masing. Batman, sang tokoh sentral, pada mulanya undur diri jadi pahlawan, meskipun dia tahu benar Gotham membusuk perlahan-lahan. Komisaris Gordon, terpaksa menyangkal dirinya setiap tahun pada peringatan Harvey Dent Day dan terlibat pada konspirasi untuk menjatuhkan Batman agar Harvey Dent Act bisa dijalankan; meskipun dia tahu benar Harvey Dent lah penjahat sesungguhnya dulu. Alfred Pennyworth, sang pelayan keluarga Wayne yang setia, pergi meninggalkan Bruce Wayne bahkan pada momen-momen terendah dalam hidupnya sebagai Batman. Selina Kyle meskipun jadi pahlawan, mulanya adalah pencuri spesialis orang-orang kaya dan juga pada satu waktu mengkhianati sang Batman. Bane, si penjahat, ternyata digambarkan dulu pernah menolong Miranda Tate/Talia al-Ghul kecil ketika waktu masih dipenjara di Pena Dura. Dan Miranda Tate/Talia al-Ghul, di balik misi mulianya untuk menolong Gotham menyediakan energi yang murah dan terbarukan, ternyata mastermind hancurnya Gotham selama ini.

Marion Cotillard sebagai Miranda Tate. Anggun sekali. How can you not love her?

Sesungguhnya, tokoh yang tidak melenceng dari pakem klasik seorang pahlawan adalah John Blake. Lihat saja integritasnya ketika polisi lain mencoba menangkap Batman demi ketenaran, dia satu-satunya yang percaya bahwa Batman-lah pahlawan Gotham yang sebenarnya. Dialah yang berani bertaruh nyawa demi menyelamatkan polisi Gotham lainnya yang terjebak. Dialah yang mengetahui (entah bagaimana caranya, tidak dijelaskan) tentang alter ego Bruce Wayne dan meyakinkan padanya bahwa Gotham masih memerlukan dia sebagai Batman. Dan ketika Batman telah lengser, Gotham masih bisa bernafas lega, karena dari Bat Cave akan muncul seorang pahlawan anyar: Robin John Blake.

1 comment:

  1. Superb review;)

    Aku suka banget film ini tapi ga sempet berpikir sejauh kamu, tentang filosofi2 yang terkandung didalamnya. Mungkin karena distracted dengan special effects yang disuguhkan, juga kecantikan dan keahlian si Selina Kyle ketika melakukan tugasnya. Mungkin juga dengan banyaknya tokoh menarik dengan ceritanya sendiri, atau dengan plot yang lebih banyak mengasah otak dibandingkan dengan film superhero lain..

    Semoga banyak film lain seperti ini;)

    ReplyDelete