Di luar sedang hujan, seperti malam-malam sebelumnya di
bulan Desember. Perlahan, ia membuka pintu katedral itu. Matanya menyiratkan
kebimbangan, antara gentar dan geram, dan dia tidak tahu harus memilih yang
mana. Ia melangkahkan kakinya masuk ke bilik pengakuan, sambil memegang erat
pistol di balik jasnya, yang baru beberapa saat yang lalu memuntahkan maut. Lalu
ia duduk. Terpekur. Dan dengan datar ia berkata kepada Pendeta di balik bilik
itu, “Bapa, aku telah berdosa. Baik dalam pikiran dan perbuatan. Dan aku
membunuh lagi malam ini.”
----------------------------------------------------------
“Sudah lama sekali sejak aku terakhir datang ke gereja.
Mungkin sudah tujuh tahun,” ia menggumam, “Ya. Sudah tujuh tahun.” Badan
Pendeta bergetar. Tangannya dingin. Ia takut. Belum pernah sekalipun dalam sepanjang
hidupnya, yang sudah ia serahkan kepada Tuhan, ia berbicara kepada seorang
pembunuh. Dan dengan jarak yang hanya sepelemparan tangan, ia yakin bahwa
hidupnya belum tentu aman. Meskipun dia punya Tuhan.
“Mengapa kau diam saja, Bapa?” Dan baru sesaat Pendeta
berpikir untuk melarikan diri, dia mendengar suara dari balik bilik itu. “Kalau
kau mencoba keluar, aku akan membunuhmu!” Kilatan dari badan pistol itu
terpatri di matanya, dan untuk pertama kali, dia tidak pernah merasa sedekat
ini dengan kematian.
“Apa maumu? Apakah kau ke sini untuk meminta pengampunanku?
Engkau tentu tahu, bahwa membunuh adalah kejahatan yang paling keji di mata
Tuhan. Kau tidak akan diampuni jika kau tidak benar-benar bertobat dari dosamu
itu! Kau harus pergi ke polisi. Serahkan dirimu. Dan berdamailah dengan Tuhan!”
“Aku tidak ke sini untuk meminta pengampunan, Bapa. Aku ke
sini untuk mengerti.”
“Apa yang ingin kau mengerti?”
“Tiga hari yang lalu, aku membunuh seseorang. Sebelum ia
mati, ia meminta waktu padaku untuk berdoa. Dan aku mempersilahkannya.” Pendeta
bergidik ngeri. Ia tidak sanggup membayangkan apa yang dialami orang itu. “Aku
ingat benar, Bapa, dia mengucapkan ayat-ayat dari Kitab Mazmur. Kurasa Mazmur
dua puluh tiga. Aku melihat damai memancar dari matanya. Damai yang belum
pernah aku lihat sebelumnya.” Pembunuh itu menghela nafasnya. “Aku merasa, damai
itu berasal dari iman. Katakan padaku, Bapa, bagaimana kau dapat beriman pada
sesuatu yang tak dapat kau buktikan?”
“Kurasa… karena itulah ia disebut iman. Ia tidak perlu
bukti.” Mata si Pembunuh memicing. Kelihatan benar ia tidak puas dengan jawaban
Pendeta.
“Kau tahu, Bapa, bahwa iman yang kau ciptakan ini, hanyalah supaya kau merasa nyaman? Nyaman bahwa setelah kau mati jiwamu akan kekal. Nyaman bahwa hidupmu di dunia ini ada artinya. Bagaimana jika semuanya itu ilusi, Bapa? Bagaimana jika tidak ada neraka dan surga? Apakah kau masih beriman pada-Nya?”
“Kau tahu, Bapa, bahwa iman yang kau ciptakan ini, hanyalah supaya kau merasa nyaman? Nyaman bahwa setelah kau mati jiwamu akan kekal. Nyaman bahwa hidupmu di dunia ini ada artinya. Bagaimana jika semuanya itu ilusi, Bapa? Bagaimana jika tidak ada neraka dan surga? Apakah kau masih beriman pada-Nya?”
“Aku tidak mengerti apa maumu bertanya seperti itu. Kau
membunuh setidaknya dua orang! Sadarlah!”
“Oh, bahkan lebih dari itu, Bapa. Aku telah membunuh banyak
orang. Dan akan bertambah lagi malam ini.”
“Tolong, berhentilah!” Si Pendeta mulai tidak sanggup lagi
mendengarkan Pembunuh itu bercerita. Ada setetes air mata di sudut matanya.
“Nyawa manusia itu berharga di mata Tuhan. Kau tidak boleh
sesuka hatimu menghilangkannya! Bertobatlah!’ kata Pendeta itu setengah
memohon. “Yang benar saja, Bapa! Tuhan yang di surga membunuh lebih banyak
orang daripada aku! Hitung saja! Sudah berapa nyawa yang mati karena nama-Nya?”
Kata-kata si Pembunuh mencekik sanubari si Pendeta. Di dalam hati dia pun menyetujui.
Bukankah memang sudah banyak darah tertumpah karena nama-Nya?
“Bapa, aku ingin mengerti, kenapa Tuhan yang Maha Kuasa dan
Maha Tahu, mengijinkan manusia berbuat sekehendak hati mereka? Mengapa Dia
tidak menghentikan kejahatan?”
“Tuhan memberikan manusia kehendak bebas, itu sebabnya.”
Pendeta itu menjawab sekenanya. Dia pernah mendapatkan hal semacam ini di
seminari sebelumnya. Hanya, ia tidak menyangka bahwa kelak dia harus diuji. Di
tempat seperti ini. Dengan kondisi di mana dia setiap saat bisa mati.
“Hahaha… Enak sekali kau bicara seperti itu, Bapa.”
Pembunuh itu sesaat menatap pistol yang digenggamnya erat, kemudian melanjutkan, “Bukankah Tuhan ini Maha Kuasa, Bapa? Tidak bisakah Dia menciptakan dunia, di mana kejahatan hanya akan menyakiti orang yang melakukannya saja? Tidak perlu ada orang tak bersalah yang menderita. Tidak perlu ada orang tak berdosa yang kehilangan nyawa. Dunia di mana manusia tetap bisa belajar agar tidak melakukan kesalahan, dan bertobat ketika dia melakukan kesalahan. Dunia di mana kehendak bebas tetap ada, namun tidak perlu ada korban sia-sia.”
Pembunuh itu sesaat menatap pistol yang digenggamnya erat, kemudian melanjutkan, “Bukankah Tuhan ini Maha Kuasa, Bapa? Tidak bisakah Dia menciptakan dunia, di mana kejahatan hanya akan menyakiti orang yang melakukannya saja? Tidak perlu ada orang tak bersalah yang menderita. Tidak perlu ada orang tak berdosa yang kehilangan nyawa. Dunia di mana manusia tetap bisa belajar agar tidak melakukan kesalahan, dan bertobat ketika dia melakukan kesalahan. Dunia di mana kehendak bebas tetap ada, namun tidak perlu ada korban sia-sia.”
“Aku tidak mengerti kenapa kau malah mengajakku berfilosofi.
Mari kita bicarakan saja, apa sebenarnya yang menyebabkanmu membunuh?” Si Pendeta sadar benar
dia tidak bisa menjawab pertanyaan barusan, maka cepat-cepat dia mengalihkan
pembicaraan.
“Ah. Aku pun sebenarnya tidak tahu, Bapa. Inilah aku. Inilah
yang kulakukan. Seperti ini hidupku. Lagipula, tenang saja, Bapa, aku hanya
membunuh mereka yang jahat dan pantas dibunuh.”
“Kau tidak berhak melakukannya!” sergah Pendeta, “Itu hak
Tuhan!”
“Lucu sekali, Bapa. Aku pernah memohon pada Tuhan supaya
seseorang ini mati dilaknat. Seseorang yang benar-benar jahat. Jahat di mata
manusia, dan lebih-lebih di mata Tuhan. Dan dia tetap hidup, sampai kemudian
aku turun tangan.”
“Aku tahu kenapa kau melakukannya. Kau ingin bertindak
seperti Tuhan. Kau hanya ingin menunjukkan kekuatan. Hentikanlah semua itu!”
“Bapa, tidakkah kau kadang ingin agar seseorang mati?”
“Tidak… Tidak pernah sedikitpun…”
“Jangan bohong kau, Bapa! Atau kutembak kepalamu!” hardik Pembunuh
sambil mengangkat pistol sejajar kepala Pendeta.
“Baiklah! Baiklah! Pernah ada seseorang yang sangat kubenci
hingga aku ingin dia mati. Tapi… apa yang kulakukan tidak seperti yang kau
lakukan. Pikiran bukanlah tindakan kejahatan!”
“Secara tidak langsung kau sudah berharap, Bapa. Dan harapan
adalah doa. Kau berdoa supaya Tuhan mengambil sebuah nyawa.”
“Doa yang jahat tidak akan dikabulkan! Lagipula aku pun
sudah memaafkan dia. Begitupun juga engkau. Siapapun yang membuatmu menjadi
seperti ini, ampunilah dia! Jadilah orang baik dan lanjutkanlah hidupmu!”
Pembunuh menurunkan pistolnya, dan terkekeh.
“Maksudku… lihatlah, Bapa. Bukankah ada kegelapan di setiap
hati kita? Kegelapan yang sama yang membuatku membunuh dan membuatmu berharap Tuhan
yang membunuh? Apa bedanya…”
“Bedanya adalah aku tidak membunuhnya! Dan meskipun
kegelapan ada di setiap hati kita, di situ juga terletak cahaya. Aku yakin di
hatimu pun juga ada! Ampunilah mereka yang menyakitimu… Ampunilah…”
Pendeta itu menangis sambil memegang rosari. Tangisan yang
sama yang dilakukan Yesus dulu di Taman Getsemani. Antara keraguan dan keyakinan.
Antara ketakutan dan belas kasihan. Antara pasrah dan melawan.
“Menurutmu, apakah orang seperti itu layak dibiarkan hidup?”
“Pembalasan adalah hak-Nya… Nanti dia akan dihukum Tuhan di
neraka. Sudah, biarkanlah….”
Si Pembunuh menundukkan wajahnya, ada keresahan di desah
nafasnya.
“Kalau seperti itu, mengapa ada polisi dan pengadilan, Bapa?”
Suaranya terdengar lebih perlahan. Lebih tenang dari sebelumnya. “Kalau semua
kejahatan ini ada karena suatu tujuan yang hanya dimengerti oleh Tuhan. Kalau
semua ini nantinya akan dibalaskan… Mengapa kita perlu mencegah kejahatan?
Sekarang… di dunia ini?”
Si Pendeta tercekat. Baginya, tidak ada serangan iman yang
lebih menusuk daripada ini. Bahkan dibandingkan godaan untuk mengambil uang
persembahan di laci. Bahkan dibandingkan jemaat yang sering melayangkan senyum
penuh arti.
“Sepertinya apapun yang kukatakan tidak akan mempan bagimu.
Menurutmu itu semua adalah keadilan. Tapi… Tapi yang kulihat darimu… adalah
seseorang yang kecanduan akan kekuatan. Pistol itu memberimu kuasa. Kuasa untuk
menentukan hidupmu dan hidup orang lain. Kau tidak akan berhenti, karena
tanpanya hidupmu tak berarti!”
“Jangan naïf, Bapa! Aku juga melihat hal yang sama di
matamu. Mata yang kosong, bahkan ketika kau berbicara tentang Tuhan. Ada apa
denganmu, Bapa? Ada apa dengan imanmu? Apakah kau sudah tidak percaya lagi?
Apakah kependetaanmu ini semata-mata menunjukkan bahwa kau juga orang kuat?
Bahwa kau tidak hanya sekedar orang tua, yang sebenarnya tanpa atribut
keimananmu, salib, Alkitab, dan semua ini, tidak akan ada orang yang peduli?”
Seketika itu hancurlah hati Pendeta. Dia gagal membela
dirinya. Dia gagal membela Tuhannya. Tak tahan lagi, dia mulai mengutuki
dirinya sendiri. Bertahun-tahun menjadi pendeta, dia menyerah kalah. Kalah pada
perkataan seorang pembunuh. Siapakah orang ini gerangan? Apakah dia setan? Atau jangan-jangan dia
malaikat kematian?
----------------------------------------------------------
Sudah lima menit berlalu dari kata terakhir yang terucapkan.
Di dalam bilik si Pembunuh terdengar sebuah isakan.
“Bapa, sebenarnya alasanku kemari adalah untuk membunuhmu.”
“Apa sebenarnya yang kuperbuat padamu? Aku bahkan tidak
mengenalmu!” katanya setengah berteriak.
“Bapa, ingatkah engkau pada putra altar yang kau lecehkan tujuh
tahun lalu? Itu aku. Apakah perlu kuceritakan kembali, apa saja yang sudah kau
lakukan padaku?”
Pembunuh membuka sekat antar bilik, dan menempelkan
pistolnya ke dahi Pendeta.
“Aku mohon, ampunilah aku! Aku sudah berubah… Aku sudah
bertobat…”
“Tutup mulutmu, Bapa! Dan mulailah berdoa!”
“Tolong jangan bunuh aku! Apa yang dapat kulakukan untuk
memperbaiki kesalahanku padamu. Katakan saja!”
“Bukankah aku sedang berbuat baik kepadamu? Membuatmu lebih
cepat bertemu Tuhan yang kau puja-puja itu? Kalau kau yakin akan mendapatkan
surga, Bapa, seharusnya kau tidak perlu takut pada kematian.”
Air matanya mengalir deras ke pipi. Mulutnya terkunci.
Satu-satunya yang ia harapkan sekarang adalah bahwa semuanya ini hanyalah
mimpi. Ia mulai melihat seluruh kehidupannya berputar di matanya bagai sebuah
film. Tidak pernah menyangka, bahwa film ini nantinya akan berujung tragedi.
“Mulailah mohon ampun, Bapa. Apakah menurutmu Tuhan akan
mengampuni apa yang kau perbuat kepadaku?”
“Kurasa.. iya… Ampunilah hamba-Mu ini ya Tuhan!”
“Bagus! Karena aku tidak akan pernah mengampunimu!”
----------------------------------------------------------
Sekali berbunyi, setelah itu sepi. Tubuh rentanya jatuh ke
bumi, dengan darah yang mengucur deras dari lubang di dahi. Di tangannya, masih
tergenggam sebuah rosari.
Di luar, hujan sudah berhenti.
* Theodicy, berasal dari kata dalam bahasa Yunani, theos, yang berarti Tuhan, dan dike, yang berarti keadilan, atau pembenaran.
No comments:
Post a Comment