Tadi malam kau menemuiku lagi di dalam mimpi. Masih dengan gelagat yang sama. Masih dengan senyuman yang sama. Senyuman yang selalu membuatku muak sekaligus menginginkanmu di saat yang bersamaan. Bukankah aku sudah pernah berkata kepadamu untuk pergi jauh-jauh dariku?
Aku masih ingat malam ketika pertama kali kita bertemu di sudut kafe itu. Kau memesan segelas mocha. Sedangkan aku hanya memesan kopi hitam biasa. Kemudian, entah siapa yang memulai percakapan, tiba-tiba kita sudah berbicara terlalu jauh. Tentang kamu. Tentang aku. Tentang mimpimu yang imajinatif. Tentang mimpiku yang bahkan lebih naif. Aku harusnya sadar, momen ketika aku menatap matamu, maka semuanya tak lagi sama. Dan aku seharusnya tidak usah pergi ke kafe itu untuk berjumpa.
Gelas kopiku sudah mulai dingin. Yang tersisa hanya ampas dan aromanya yang terbawa angin. Namun aku tak mau beranjak, seakan tersihir oleh celotehanmu yang sesungguhnya banal itu. “Lho, kok diem?” ujarmu. Aku termangu, kelu. “Eh… Nggak kok. Aku cuma bingung mau ngomong apa lagi.” Mendadak kemampuan berbahasaku seperti anak umur lima tahun. Kata-kata yang kurangkai dalam kepalaku tiba-tiba hilang, lepas. Segala tingkah lakuku menjadi tidak pas. Yang kemudian disambung oleh kesunyian. Sebuah kesunyian yang nyaman. Setidaknya begitulah bagiku. Karena dalam diam aku menikmatimu. Sama seperti aku menikmati malam ini. Yang lantas kusesali.
Sejak pertemuan pertama itu, pikiranku dihinggapi rasa yang tak dapat kumengerti. Duniaku terbalik. Kau nyata. Ada. Tapi di hidupku – setidaknya sampai saat ini – kau hanya menjadi fantasiku. Sebuah imaji yang semu. Namun, kau pergi dari kafe itu dengan memberikan hasrat pada otakku. Semacam ekstase yang berkesinambungan dan tak ada habisnya. Untuk mengamatimu. Untuk menganalisa kehidupanmu. Ini mungkin sebuah penyakit, obsesi, gejala psikotik, aku tak tahu. Tapi, entah kenapa, aku nyaman dengan ini. Dan, kalaupun itu semua benar, aku pun juga tak mau menjadi sembuh.
Aku sadar benar bahwa mungkin aku tak dapat dan tak akan dapat memilikimu. Kamu dan hidup ini bukanlah kopi yang bisa seenaknya dipesan sesuai keinginan dan lantas ditinggalkan. Dan akhirnya ketakutanku menjadi kenyataan, di kali kedua kita bertemu. “Aku sudah tunangan,” katamu. “Oh!” Aku terhenyak, bebarengan dengan api dari rokok kretek murahan yang menyengat jariku. Di dalam dadaku membuncah berbagai sumpah serapah. Saat itu pula aku memakai topeng yang terbaik yang aku punya sambil mengucapkan selamat. Beserta doa semoga langgeng dunia akhirat. Sesungguhnya, aku tidak rela. Siapa yang bisa? Yang benar saja! Tapi aku bisa berbuat apa? Karena aku yakin, sama seperti kau yang hanya menjadi bayangan di hidupku, aku pun juga tak lebih dari sekedar bayangan di hidupmu. Hanya, tidak sepertimu, rasanya aku lebih tidak rasional. Kau menjelma menjadi seseorang yang benar-benar aku mau. Seseorang yang benar-benar aku inginkan. Seperti puteri dalam dongeng atau roman picisan. Dan, bodohnya, aku berharap terlalu banyak. Jiwaku retak. Dan akhirnya aku menyerah. Kalah.
Sejak itulah kau muncul dalam mimpi. Berkelebatan di malam-malam yang berbeda. Namun, ceritanya selalu sama. Menyedihkan, bukan? Kadang-kadang, aku berharap bahwa yang muncul di mimpiku ini setan saja. Kuakui, lama-lama, bermimpi pun menjadi hal yang menjemukan buatku. Apalagi jika bahkan dalam mimpiku pun aku tetap tak dapat memilikimu. Kau selalu diam, dengan pose yang sama dan pandangan mata yang sama. Bicaralah sekali-kali! Seperti patung saja kau ini!
Aku tidak menyalahkanmu. Tidak. Kau tidak berdosa. Kesalahanmu hanya satu, yaitu membuatku tergila-gila padamu. Kegilaan yang membuatku selalu berpikir bahwa ada yang kurang dari hidupku. Kegilaan yang menguras semua energiku untuk kembali ke tempat dan waktu di mana aku tidak pernah mengenalmu. Atau setidaknya, di mana dirimu hanyalah seorang asing yang tetap menjadi seorang asing – atau paling banter hanya menjadi seorang teman. Aku terlanjur jatuh terlalu jauh. Jatuh dan terus jatuh, sampai aku tak yakin lagi apakah ada dasar di bawah sana. Kamu itu sebuah kutukan bagiku. Sebuah kutukan yang akan lenyap, hanya kalau diriku juga lenyap. Sekarang aku telah kehilangan jejak atas semuanya. Jejak dari kehidupanku sebelumnya di mana dirimu bukanlah tuhannya. Yang sekarang sudah remuk, hancur dalam beribu fragmen.
Dan kini, seperti malam-malam sebelumnya, kau menemuiku lagi di dalam mimpi. Tapi kali ini kau berbeda. Kau memelukku. Erat. Lekat. Tubuhmu hangat. Sesaat aku berpikir, mungkin inilah surga. Sederhana saja. Tidak perlu ada hingar-bingar malaikat melantunkan puji-puja. Yang ada hanya cinta. Cinta dua orang insan yang tidak pernah terwujud di alam nyata. Lalu kau membisikkan sesuatu di telingaku. Sesuatu yang tidak akan pernah kulupakan sepanjang hidupku. “Jangan biarkan aku pergi.” Dan aku pun berharap aku tak akan pernah bangun lagi.
Belakang rumah, 22 Mei 2012, 01.00 pagi, dengan bintang di seberang mata dan rokok di genggaman jemari.
* Bête noire, yang dalam bahasa Perancis secara literal artinya "makhluk buas berwarna hitam," merupakan sebuah ungkapan untuk menunjukkan seseorang atau sesuatu yang tidak disukai, atau bahkan ditakuti. Bisa juga diartikan sebagai mimpi buruk (meskipun dalam bahasa Perancis, "mimpi buruk" biasanya memakai istilah cauchemar.)
interesting... baru kali ini baca karya bahasa indonesianya Andre yang berbentuk cerpen/prosa.
ReplyDeletemendapat kesan yang sangat berbeda, seperti ditulis orang lain;)
Hahahaha. Ini ceritanya spur-of-the-moment aja nulisnya. Masih berantakan. Hahaha. Many many thanks, Mbak Naya. :D
ReplyDelete