Ada seribu bunga terbakar di langit raya saat kita melihat keluar jendela, ungu, jingga, kuning, berkelap-kelip sebentar lalu hilang ditelan malam. Namun tidak dengan sepi ini. Seakan menikmati waktu, ia masuk, diam, mengiris nadi perlahan-lahan. Meninggalkan aku, sisa-sisa manusia yang masih akan dicekam ketakutan seribu hari kemudian.
"Genggamlah tanganku selagi aku masih bisa menggengam."
"Tentu, tentu." Jawabku lebih lirih lagi. Aku hampir tersedu. Habis sudah, tinggal nanar. Hatiku berteriak, rasanya tak kuat ditimbun sendu.
Satu tanganku menggenggam jemari tangan kirimu yang hangat, yang satunya menggenggam harap: biarlah kiranya penghabisan itu masih jauh adanya.
"Apa yang akan kau lakukan? Toh, tidak ada yang bisa kita perbuat."
"Entahlah. Mungkin berpesta," kataku bercanda.
"Bolehkah aku ikut denganmu?" Sayangnya kau tidak bercanda.
"Kau kan tahu, sebaiknya aku tidak boleh terlalu sedih, terlalu depresi. Maka biarkanlah aku ikut berpesta denganmu. Menghitung semua yang tersisa dengan suka dan tawa," lanjutmu.
"Baiklah, jika itu yang menjadi maumu." Namun tak kusangka usahaku menertawakan nasib akan menjadi sesusah ini.
Di antara gelas-gelas teh setengah kosong, juga hidangan dingin rumah makan Cina yang tak habis dimakan, kunikmati kedua matamu yang masih terang serupa pagi, sedangkan punyaku sendiri telah redup dan berangsur-angsur menutup, dibarengi nafas yang semakin berat dan terasa dingin, seperti senja bulan Desember yang tak mengenal apa pun selain mendung, dan air bah kotor yang menyapu jalanan kota ini, yang udaranya mencekik, yang airnya membikin sakit, yang manusianya sering kali brengsek.
Kursi berderit, pelayan mulai resah, menggumamkan keluh tentang hari yang seharusnya sudah berakhir seandainya saja dua orang yang sedang dilihatnya ini, yang tak menghabiskan makanan dan minumannya ini, segera membayar lalu pergi.
"Sudah selesai? Ayo kita pulang."
"Kau tidak keberatan jika kita jalan kaki saja?"
"Tentu tidak. Ayo."
Lalu kita keluar, menyusuri liku-liku jalanan sempit dimakan mobil di kiri kanan. Menjengkali rona biru gelap langit malam ini. Bergandeng tangan, melewati poskamling kosong dan anak-anak berlari-larian tak kenal hari. Anak-anak tanpa rasa cemas, yang belum mengenal getir yang bernama takdir, tak ada keharusan untuk menjadi tabah, hanya tertawa, menangis, tertawa, menangis, namun tidak pernah dikutuk untuk mengingat. Mengingat bahwa hidup tidak akan selamanya berlangsung.
Kita sampai di depan rumah tempatmu mengontrak. Kau membuka pagar, masuk, lalu memberi sebuah lambaian tanda aku harus pergi.
"Sampai jumpa besok! Aku mencintaimu."
"Aku mencintaimu juga."
Jalanan menuju tempat parkir motor di depan rumah makan Cina yang sekarang sudah tutup terasa mematahkan hati. Aku bergetar, menangis tanpa sebab. Aku pulang, ditemani angin tengah malam. Melewati lampu-lampu jalanan yang berkelibatan seperti lorong cahaya. Mengulang-ulang kalimat yang terakhir kuucapkan padamu malam ini. Merapalnya bak sepotong sajak duka. Merapalnya secara khusyuk dalam tangis. Dalam kegilaan.
Aku ingin menemanimu pulang malam ini, esok hari, selamanya. Aku ingin melihatmu tumbuh hingga renta. Karena semuanya indah di sana. Aku ingin semuanya tetap indah di sana.
No comments:
Post a Comment