Seperti tulisan-tulisan mengenai refleksi lainnya, saya akan mengawali ini dengan sebuah frasa: "Quo vadis?"
Quo vadis. Mau ke mana?
Sudah hampir setahun gerakan literasi kecil-kecilan kami, Birokreasi, berdiri. Meskipun saya bukanlah penggagas awalnya, saya menyaksikan sendiri proyek ini, mulai dari embrionya yang diberi nama "Saujana", hingga #7HariMenulis, sampai akhirnya ia dilahirkan menjadi bayi milik kami bersama dalam situs birokreasi.com. Anda bisa melihat sejarahnya secara lebih lengkap di laman blog Gita Wiryawan ini.
Saya tidak ingat benar bagaimana saya bergabung. Seingat saya, dulu ketika masih menjadi pegawai magang bergaji lebih rendah daripada gaji satpam, Gita mengontak saya lewat Google Chat. Dia mengajak saya untuk bergabung ke sebuah proyek menulis, entah zine, entah apa. Yang jelas, kala itu, yang muncul di benak saya hanya pikiran, "Asik, asik, mau bikin politburo!" Maafkan saya. Dulu gairah kekirian saya masih meluap-luap.
Beberapa waktu dan obrolan berselang, barulah saya tahu apa yang sebenarnya dikehendaki oleh Gita. Gerakan yang akhirnya diberi nama Birokreasi ini dimaksudkan sebagai sebuah antitesis terhadap stereotip pegawai negeri yang kaku, yang tidak nyeni, yang tahunya cuma uang dan angka. Birokreasi ada sebagai suaka yang menampung entah tulisan pujaan kepada gebetan, entah keluh kesah terhadap institusi negara.
Adalah halangan geografis - yang sebenarnya tidak menjadi masalah seandainya saja gaji kita tiga kali lipat daripada gaji sekarang - yang menjadi kendala kami untuk membahas semuanya secara komprehensif. Waktu itu bahkan saya harus mlipir saat diklat prajabatan demi bertemu Heru Irfanto untuk membahas ide-ide yang saya punyai (yang dibantu banyak oleh Margaretha Nitha). Kemudian ketika pertama kali penempatan di Jakarta, di kosan Fanny Perdhana sebelum dia pindah, untuk membahas format web. Barulah ketika kami kumpul bersama saat DTSD, kami benar-benar utuh dan tak terpisah-pisah. Proyek dongeng anak #KudaBesi pun lahir dari situ.
Banyak yang kami korbankan, sebelum akhirnya bayi kami ini mewujud. Bahkan, dulu, saya sempat berpesan kepada Nitha, "Kalaupun saya pergi dari kehidupan kamu, tolong tetap bantu teman-teman Birokreasi ya." Ah, lucunya kalau saya mengingat semua ini.
Lalu, quo vadis?
Menyitir tulisan Gita,
"Tetapi sampai detik ini apa yang dilakukan oleh Birokreasi hanyalah sebatas hal-hal remeh, juga tak cukup beranjak dari masa setahun lampau. [...] Barangkali Birokreasi hari ini perlu melakukan refleksi kembali mengenai visi dan misinya. Apakah kami mengetahui tentang dunia literasi? Apakah kami cukup berkompeten untuk mengusung label sastra yang demikian berat?"
Sayangnya, Gita mungkin memimpikan Birokreasi sebagai JakartaBeat versi birokrat. Karena argumen "hal-hal remeh" tidak pernah disubstansiasi. Apa itu hal remeh? Mengapa hal-hal tersebut dianggap remeh? Apakah membuat antologi dongeng secara swadaya juga bisa dianggap remeh?
Saya sendiri tidak nyaman jika harus membawa Birokreasi ke ranah hipsterdom atau snobism. Apakah menulis dengan gaya a la Goenawan Mohamad itu kriteria wajib seseorang dalam menulis sastra? Apakah menulis resensi tentang buku-buku babon, atau menelaah tentang kitsch itu adalah sesahih-sahihnya gerakan literasi?
Tentu tidak. Bahkan penulis seperti Alice Munro yang tulisannya tidak sekompleks tulisan James Joyce saja bisa memenangkan hadiah Nobel.
Saya akan berangkat pada hal yang tidak muluk-muluk: kontributor yang masih itu-itu saja. Sesuatu yang beberapa kali membuat kami pusing karena kurangnya tulisan, sementara kami sendiri juga sedang disibukkan pekerjaan. Barangkali, content management dan social media management jawabannya. Sebenarnya, mau mempertahankan imej eksklusif PNS pun tak jadi masalah. Banyak PNS yang mempunyai tulisan di blog masing-masing, atau notes di Facebook, tetapi belum berhasil kami persuasi untuk menyumbangkan tulisan. Mungkin ini yang seharusnya dibenahi. Dengan Birokreasi yang belum terlalu sastrawi saja, beberapa orang sudah takut untuk menyumbangkan tulisannya.
Meskipun begitu, tetap menjadi harapan saya bahwa Birokreasi akan selalu berkembang, baik dalam segi kuantitas maupun kualitas tulisan. Saya sendiri memimpikan Birokreasi yang lebih berwarna-warni, seperti obrolan warung kopi. Anda bisa membahas tentang gebetan, juga telaah kritis terhadap teologi. Sama seperti yang saya lakukan ketika semester akhir kuliah dulu di sebuah warung kopi daerah Pondok Jaya.
Selamat menjadi satu, Birokreasi! Semoga kamu menjadi suaka yang nyaman bagi kami semua untuk lari dari hiruk-pikuk birokrasi! :"3
No comments:
Post a Comment