Never - in my imaginations, nor even in the loveliest dream I've always wished to dream - come the days that we are like what we are right now. Seemed like yesterday when the images of you were still as remote as the stars beyond the universe; as heaven for the unrepentant, heinous sinner. You were the oasis that my eyes could see but could never reach. You were the mirage for the rain-thirst desert of my heart. At least, that's how you were in my mind.
But you now manifest as the air that I can now breathe. And I am forever grateful, even if this may not last forever. For what's the best thing a dreamer can have, but to have his oneiric longing turns to reality?
Our story was too simple, but it's not of being simply in love. The promises to leave, the implosions of the hearts, the undulating emotions, the indifferent moments - all knitted together with love in a story no sentence could carry.
And for now, let's walk together. Let's wish for the eternal sunny day and starry night. If there will be an end for this road, or a merciless thunderstorm to end our days, let's hope that none of us will regret this. I will watch you silently. I will pray for you from afar that you'll be happy, to be one with he who loves you better than me.
But for now, let me just be drowned in the sweetness of your hours. Let me put my heart home, in you. In your love.
The firmest faith can be told in the fewest words. For as the turtles can't sing, yet they also fall in love, even for centuries. May this speak as a declaration - a modest one - and let our love speak louder than this.
Let me love you modestly.
Let me love you incessantly.
Thursday, November 21, 2013
Thursday, November 14, 2013
Mercusuar
"Blessed are the hearts that can bend; they shall never be broken." - pengarangnya tidak diketahui. Sering disalahatributkan kepada Albert Camus.
--------
Pada mulanya adalah firman: "brocen wurde"; "telah hancur". Lalu, pelan-pelan, kuukir kata-kata itu menjadi sebuah epitaf imajiner di dalam dada. Mungkin memang - entah bagaimana - nasib menabhiskan aku menjadi sebuah gelombang soliton; ombak yang menjelajah lautan luas dengan kecepatan dan juga kesunyian yang konstan. Sementara dirimu adalah mercusuar, yang tegak menjulang dengan cahaya yang membutakan.
Ketika hidup merangsek dan menerjang tiba-tiba dalam kegelapan, siapakah yang hendak kujadikan pelita? Dirimu terlalu jauh, terlalu tinggi di atas tebing karangmu yang curam. Musim panas telah beranjak, digantikan oleh musim dingin yang kejam. Dan badai-badainya yang membekukan telah menghempaskan aku lagi dan lagi ke pantaimu. Hancur memecah menjadi sisa-sisa zarah.
Kau dan pantaimu adalah tempat yang magis. Benar, sayang, aku melihat keajaiban di matamu terang menyala bak seribu matahari. Terus terbakar dari lima tahun yang lalu dan tak pernah mati. Bagiku kau bukanlah penunjuk arah tempat di mana aku harus berhenti. Kaulah tempat aku harus melabuhkan diri.
Namun, sebuah ombak soliton tidaklah cukup besar untuk menjangkaumu. Untuk memelukmu dalam keabadian dan memujamu bagaikan dewi-dewi surgawi. Maka, aku hanya berharap agar gelombangku cukup kuat untuk membawaku pergi, saat bulan purnama menjejak langit pantaimu malam ini.
Kulihat cahayamu menembus pekatnya kabut dini hari. Aku pergi dalam diam, bersama pasang naik dan angin laut yang membawa rindu-rinduku serta. Selamanya.
Di atas, Tuhan mengangguk sambil tersenyum. Tak terlihat sedikitpun di paras wajah-Nya sebuah ironi.
--------
Frasa "brocen wurde" diambil dari puisi "The Battle of Maldon". Sebuah puisi Inggris Kuno, berasal dari tahun yang tidak diketahui. Bercerita tentang pertempuran Maldon yang terjadi pada tahun 991.
Subscribe to:
Posts (Atom)