Thursday, March 14, 2013

Firasat

Di depan tiang gantungan ini aku terkesiap. Jadi, seperti inilah aku akan berakhir? Menjemput maut perlahan-lahan diiringi cemoohan di kiri, kanan, dan depan? Mati terhina seperti anjing rabies di pasar itu yang mati dilempari batu oleh anak-anak dengan diiringi sorak-sorai dan teriakan? Tidak, tidak bisa. Lantai kayu di sebuah panggung di tengah-tengah kota ini berdecit keras. Aku memberontak. Aku merasa tali yang menjeratku naik dan menjadi semakin kencang. Meremas dan mencekik batang tenggorokanku dari segala arah. Panas sekali rasanya. Tubuhku meronta. Jangan, jangan! Aku orang baik-baik! Aku bukan kriminal. Aku…

***

Sinar matahari bulan Desember mengintip malu-malu dari balik jendela. Selimut, bantal, sprei, semuanya tersusun secara kaotik seperti habis ada pergumulan di kasur ini. Jantungku berdebar-debar seperti habis menenggak kopi lalu disuruh berlari. Bulir-bulir keringat terbentuk di dahi lalu jatuh ke pangkuan, meskipun suhu cuaca begitu dingin semalaman. Ah, mimpi lagi rupanya. Brengsek. Jika Morpheus itu ada, aku akan menggugatnya habis-habisan. Mimpi seperti ini bukan yang pertama kali, malah sudah yang ketiga kalinya. Dan semuanya selalu sama, penghukuman yang berujung pada kematian. Jika Morpheus itu ada, aku akan memaksanya untuk memberikanku mimpi yang indah-indah saja, seperti mimpi bercinta atau mimpi jadi kaya. Namun, Morpheus tidak ada. Sama seperti omong kosong helenik lainnya. Dan aku tetap tak bisa memilih-milih mimpi.

Pagi itu dengan langkah yang masih gontai, aku berangkat ke kantor. Sial, mimpi tadi malam seperti melolosi semua tulangku, hampir-hampir saja aku terjatuh lemas ketika hendak naik kereta bawah tanah.

“Hei, Jay, laporan investigasimu tentang Suriah sudah selesai?” tanya Connor, bosku. Namaku sendiri Jeremiah. Orang-orang sering memanggilku Jerry atau Jay, tapi aku  sendiri lebih suka jika dipanggil Jay. Nama Jerry itu seperti tikus kartun itu saja.

“Belum, Connor. Beri aku waktu satu dua hari.”
“Baiklah. Kau terlihat pucat. Ada apa?”
“Tidak, aku baik-baik saja. Mungkin karena mimpi buruk kemarin.”
“Mimpi apa kau? Nikah?” kelakar Simon, kolegaku, sambil tertawa.
Goddammit, Simon.”
Semua yang di ruangan tertawa.

Aku bekerja di sebuah lembaga pemerjuang hak asasi manusia bertempat di Washington, selain juga sebagai seorang kontributor lepas di berbagai koran dan sindikasi Amerika Serikat maupun internasional. Aku satu-satunya yang berasal dari Indonesia, bahkan Asia Tenggara di sini. Bekerja seperti ini, berpindah-pindah di beberapa medan tempur paling panas di bumi, membongkar kekejaman yang dilakukan oleh pemerintah maupun perusahaan-perusahaan kapitalis raksasa yang keji, membuatku berpikir pernikahan adalah hal yang musykil. Meskipun sebenarnya beberapa kolegaku di kantor ini sudah menikah dan berkeluarga. Kasihan anak-anak dan istriku nanti jika harus memikirkan aku yang bermain dadu dengan malaikat maut setiap kali bertugas. Alasan ini yang membuat orang tuaku menyerah dan tidak mengungkit-ungkit lagi tentang kapan aku akan menikah.

Jika dipikir-pikir, pekerjaanku sendiri lebih dekat dengan maut jika dibandingkan dengan mimpiku yang tidak nyata itu. Aku sudah menyicipi betapa mengerikannya jalanan Darfur dan Monrovia, atau rasanya lari di hutan di Ekuador ketika para tentara bayaran yang disewa sebuah perusahaan tambang multinasional mengejar kami. Telingaku sendiri sudah terbiasa mendengar desingan peluru, di Gaza, Fallujah, maupun lapangan Tahrir, dan terakhir di Suriah. Namun mimpi itu, entah kenapa, lebih menggangguku daripada dengungan Predator drone yang pernah kudengar di perbatasan Pakistan dan Afganistan. Mungkin karena ia seakan meramalkan sesuatu yang buruk yang tidak dapat dielakkan. Mungkin karena ia serupa kematian yang berhasil merangsek masuk ke tidurku, yang selama ini kuanggap sebagai tempat yang paling damai dan aman. Aku tidak tahu.

Aku juga tidak tahu apakah mimpi ini sekedar bunga tidur belaka ataukah sebuah pertanda, entahlah. Terakhir kali aku iseng-iseng mencari tahu tentang tafsir mimpi di internet, tidak ada yang memberi jawaban pasti. Pun juga ketika membuka-buka laman neurosains populer, hasilnya nihil. Tidak ada yang dapat menerangkan kepadaku makna mimpi ini.

Mimpi itu selalu dimulai dengan adegan yang sama. Tidak ada epilog yang mengantar cerita. Tahu-tahu, aku, yang ada di dalam mimpi, sudah duduk menunduk menghadap lantai yang beralaskan jerami. Di depanku ada jeruji dari kayu berpola palang sederhana. Nampaknya tebal dan kuat meskipun aku belum pernah menyentuhnya, karena di dalam ketiga mimpiku itu, tangan dan kakiku selalu terbelenggu oleh tali. Aku sendiri tidak bisa melihat dengan jelas keadaan sekitar ruang tahananku itu. Di kanan kiri hanya kelihatan gelap yang mencekat napas. Kedua mataku pun antara terbuka dan terpejam, nampaknya lebam. Mengapa dan siapa yang memukul kedua mataku sampai babak belur tidak pernah terjawab sampai saat ini.

Kemudian, aku mendengar dari arah pintu datang seseorang. Aku tidak dapat melihat seperti apa rupanya, hanya kakinya saja. Suara langkah kaki yang keras dan mantap mengisyaratkan siapapun orang ini, pastilah ia berbadan besar. Ia membuka pintu, lalu menyeretku dengan cara menarik tanganku. Tepat ketika berada di luar kamar sel, aku selalu menghadap ke kiri. Ya, tiga kali mimpi dan tiga kali menghadap ke kiri. Namun, di sebelah kiri dari lorong di depan selku tidak nampak apa-apa. Lagi-lagi hanya kegelapan sejauh pandangan mata.

Lalu, yang kutahu, tiba-tiba saja aku sudah berada di tengah-tengah sebuah alun-alun, di atas sebuah panggung kayu kira-kira dua meter lebih tinggi dari sekitarnya. Semua orang berkumpul seakan-akan sedang ada parade atau pertunjukan. Seperti adegan di mana Yesus waktu disalib di Golgota, di film-film menjelang Paskah yang dulu kutonton sewaktu masih bocah. Aku dapat melihat semua mata sedang memandangku dengan pandangan yang entah jijik entah menghina. Sang algojo lalu menarik kerahku sehingga aku menjadi setengah berdiri. Dari sini, ketiga mimpiku mulai menjadi berbeda-beda.

Di mimpiku yang pertama, leherku ditempatkan di sebuah palang kayu yang ada cekungannya, yang rupanya adalah guillotine, instrumen kematian zaman Pemerintahan Teror di Perancis. Di mimpi yang kedua, sang algojo yang tidak pernah dapat kulihat mukanya itu memposisikanku sehingga aku duduk bersimpuh. Lalu, yang terakhir kulihat hanyalah kilatan benda logam tipis panjang serupa pedang yang mengarah ke bagian leher di belakang kepala. Di mimpi yang ketiga, aku berhasil memberontak sebentar sebelum akhirnya aku melihat sebuah tali dikalungkan ke leherku, yang lalu ditarik perlahan sampai akhirnya jiwaku kembali bangun dalam kesadaran. Tiga mimpi yang memiliki akhir yang berbeda, meskipun awalnya persis sama.

***

Sudah satu bulan berlalu sejak mimpi burukku yang ketiga kalinya itu, dan aku tidak bermimpi apa-apa lagi, tidak juga mimpi dihukum mati. Bahkan, tidak ada mimpi bercinta, atau mimpi menjadi kaya, atau mimpi yang paling sederhana seperti mimpi berjalan menyusuri kota (atau sebenarnya aku bermimpi namun tidak ada yang kuingat? Entahlah).

Malam ini, aku sudah berada di dalam pesawat untuk tugasku yang selanjutnya. Connor menugaskanku untuk meliput krisis kemanusiaan di Republik Demokratik Kongo. Gerakan milisi M23 yang memberontak kepada pemerintah Kongo telah menambah daftar korban jiwa dari perang yang sudah 12 tahun meneror penduduk Kongo dan membunuh 5,4 juta warganya.

Aku melongok ke luar jendela pesawat. Samudera Pasifik di waktu malam yang menjemukan itu tidak juga membuatku tertidur karena bosan. Sedangkan pria di sebelahku yang rasanya tadi hanya dapat melihat kursi di depannya saja sudah begitu terlelap sejak dari tiga jam yang lalu. Sampai akhirnya…

Jerami ini, lantai ini, jeruji itu… Rasa-rasanya sesuatu yang kukenal. Suara itu datang lagi. Ya, kaki yang sama yang melangkah mendekati jeruji. Ah, mimpi yang keempat kalinya rupanya. Aku sudah pasrah. Menunggu diseret keluar, menghadap ke kiri, lalu dibunuh di depan umum entah dengan cara apa kali ini. Dia datang, semakin dekat. Semakin mendekat. Tanganku disentakkan dan seluruh badanku diseret. Menjelang keluar dari kamar tahanan, aku melongok ke kiri seperti yang sudah-sudah. Gelap. Lalu tiba-tiba terang.

Alun-alun ini lagi, lantai kayu di panggung tengah alun-alun yang berdecit serta tatapan mata lautan manusia yang masih tetap merendahkan. Mengerikan. Meskipun sudah bisa menebak akhir dari mimpi ini, hatiku masih bergidik ngeri saat menebak-nebak instrumen kematian apa lagi yang akan menghabisiku kali ini. Aku sempat berharap pria yang disebelahku tadi melihatku menggigil dalam tidur dan membangunkanku kembali ke alam nyata.

Sang algojo menjambak rambutku ke atas dari belakangku, sampai aku berdiri terhuyung-huyung. Ah, bahkan di mimpi yang kali ini pun aku tidak dapat melihat mukanya. Sebagai gantinya, kulihat lima moncong senapan mengarah kepadaku. Salah satunya bahkan mengarah tepat ke tengah-tengah dahiku. Belum sempat aku bicara, tanpa ada aba-aba…

Dor!

Aku bangun tepat ketika ada pemberitahuan bahwa pesawat sudah akan mendarat ke Kinshasa. Pria di sampingku masih tertidur pulas. Aku membangunkannya, karena sudah saatnya mendarat dan memasang sabuk pengaman. “Tewima kasih,” katanya dalam bahasa Inggris dengan logat yang aneh, sepertinya orang Prancis. “Sama-sama”, kataku. Dan itulah satu-satunya percakapan antara kami sepanjang perjalanan di pesawat.

Dari Kinshasa, aku langsung menuju ke daerah Kivu Utara. Menanyai penduduk yang keadaanya begitu mengenaskan, seakan hidup di neraka. Bagaimana tidak, total 200.000 penduduk di Kivu Utara dan Selatan menderita akibat insurjensi dari gerakan M23. Hampir 4.000 penduduk wanitanya diperkosa. Anak-anak direkrut menjadi tentara. Belum lagi kelaparan, penyakit, dan kekurangan air bersih yang menghajar warga-warga tak berdosa ini tanpa ampun. Pemandangan seperti inilah, yang menghancurkan imanku kepada tuhan.

Setelah melakukan investigasi seharian, aku bermalam di sebuah rumah penduduk di daerah Goma. Nama pemiliknya Omasombo Tampa. Rumahnya sangat sederhana. Hanya ada tiga kamar tidur dan satu kamar mandi di luar (lebih tepatnya, satu tempayan berisi air dan seng yang menutupinya). Kamarku sendiri ada di pojok kiri belakang rumah, tanpa jendela, dan berwarna kemerah-merahan karena debu. Aku trenyuh, di tengah keadaan seperti ini, masih ada yang mau terbebani oleh kedatangan orang asing yang belum tentu juga dapat mengubah keadaan menjadi lebih baik. “Kami berharap kepadamu”, katanya. Ada ketulusan dan kepasrahan yang menyesakkan ketika aku memandang matanya.

Aku sudah hampir tertidur ketika ada yang menggedor rumah Tampa. Aku mendengar perdebatan yang sengit lalu suara gedebukan. Aku keluar kamar, dan belum seluruh anggota tubuhku keluar, popor senjata sudah menyambut wajahku. Aku hendak menangkis lagi ketika sudah ada dua orang yang membawa tali dan mengikat kaki dan tanganku. Tampa sendiri sudah tergeletak pingsan di dekat pintu. Aku diseret keluar, dan salah seorang dari mereka yang bertopi baret membawa laptop dan kertas-kertas kerjaku. Menjelang keluar dari rumah Tampa, wajahku dipopor lagi. Kali ini begitu keras hingga aku tak sadarkan diri.

Aku bangun dari pingsanku dengan tamparan yang keras dan membekas panas di pipi. Si topi baret itu rupanya yang menamparku. Aku diikat di kursi, menghadap kira-kira selusin orang yang semuanya membawa senjata AK-47.

“Kamu. Barat. Tidak ada urusan di sini. Ini negara kami”, kata si topi baret dalam bahasa Inggris yang patah-patah.

“Aku ke sini hanya sebagai pekerja kemanusiaan, bukan perwakilan negara apalagi mata-mata.”

“Kamu dan tentara MONUSCO* itu sama saja. Mati!”

“Mati! Mati!” teriak orang-orang di belakang si topi baret.

Si topi baret mengacungkan senjatanya tepat di tengah-tengah dahiku. Seperti salah seorang penembak di mimpiku yang terakhir di pesawat.

Aku menutup mata. Membayangkan semuanya. Ayah dan Ibuku. Keluargaku. Teman-temanku. Connor, Simon, serta kolegaku yang lain. Kehidupanku andai saja aku tidak memilih hidup seperti ini, di mana aku tidak perlu mempertaruhkan nyawa dan bisa tinggal tenang bersama anak dan istri. Dan, yang paling menyakitkan, adalah mengingat wajah Tampa. Orang terakhir yang harapannya gagal kuwujudkan.

“Jangan! Jangan!”

Dor!

Sepersekian detik sebelum kematian adalah sunyi. Dan aku masih membayangkan apakah dunia masih akan tetap keji. Dan apakah koran-koran akan memberitakan namaku esok hari. Apakah kehidupanku dulu sudah cukup berarti? Apakah setelah kematianku ini masih akan ada lagi, atau selesai sampai di sini?

Apakah…

***

“Kenapa, Mas? Mas Munir kok sepertinya sakit? Sudah Mas, ditunda dulu saja ke Amsterdamnya.”

“Ah, nggak apa-apa. Aku hanya mimpi buruk. Udah yang ketiga kali ini.”

Suaranya terdengar parau.

-------

Post-Scriptum:

*MONUSCO adalah Misi Organisasi Stabilisasi Perserikatan Bangsa-bangsa di Republik Demokratik Kongo.

No comments:

Post a Comment