Hari begitu dingin di Kapadokia, ketika salju turun di daerah yang
masih termasuk wilayah Anatolia, Turki itu. Namun salju bukanlah
satu-satunya yang membeku di sana. Dalam keluarga kecil Aydin, ada yang
dinginnya lebih menggigit daripada salju. Yang satu ini dinginnya
menggigit jiwa.
Winter Sleep (Kis Uykusu) dibuka dengan establishing shot
lansekap Kapadokia, lengkap dengan rumah-rumah berbetuk seperti jamur
yang dipahat dari tebingnya yang berbatu. Di sini, Aydin (Haluk
Bilginer) mengelola hotel bernama Othello bersama asistennya Hidayet
(Ayberk Pekcan). Tak hanya memiliki hotel, Aydin memiliki tanah-tanah di
situ. Tak hanya tuan tanah, ia juga seorang intelektual dan mantan
pemain teater. Karena kunjungan turis sepi menjelang musim dingin, juga
urusan menagih sewa rumah sudah ditangani Hidayet, maka ia menghabiskan
waktunya menulis di kolom sebuah koran lokal, “Voices of the Steppe”.
Akan tetapi, yang benar-benar menjadi obsesinya adalah untuk menulis
buku tentang sejarah teater Turki. Bagi Aydin, tak ada tulisan tentang
sejarah teater Turki yang benar-benar serius.
Suatu hari saat
Aydin berkendara dengan Hidayet dalam jip warna oranyenya, sebuah batu
melayang mengenai kaca jendela mobilnya. Ilyas (Emirhan Doruktutan),
bocah yang melempar batu tadi, adalah anak dari Ismail (Nejat Isler),
seorang pengangguran dan juga mantan napi yang menyewa salah satu rumah
milik Aydin. Ilyas protes karena debt collector
yang dikirim Hidayet untuk menagih sewa yang menunggak mengambil
televisi satu-satunya milik keluarganya. Selama tiga jam ke depan, film
yang juga memenangkan penghargaan Palme D’Or di festival Cannes tahun
2014 ini membabar kehidupan Aydin, juga hubungan-hubungannya dengan
tetangga-tetangganya, istrinya, dan adik perempuannya.
Kengehean Kelas Intelektual Borjuis dan Kaum Elit
Dalam
Bahasa Turki, Aydin berarti “tercerahkan” atau “intelektual”. Akan
tetapi, menjadi intelektual tidak serta merta memberinya kapasitas otak
untuk berempati. Pengetahuannya yang luas adalah alat untuk mengerdilkan
hal-hal yang tidak ia suka. Dan, seperti yang secara tepat dilontarkan
oleh adik perempuannya, Necla (Demet Akbag), Aydin sebenarnya tidak suka
dengan semua orang. Concern troll, demikian istilah yang tepat untuk Aydin. Concern troll
adalah ia yang sok bijak dengan mengungkapkan kritik atau permasalahan,
tetapi dengan munafiknya lantas absen, atau justru mengkritik
upaya-upaya menuju perbaikan. Ia nampaknya peduli, namun sebenarnya
kepeduliannya kosong, sekosong empatinya.
Dalam sebuah tulisannya,
Aydin dengan jemawanya berkotbah bahwa orang-orang miskin adalah “wajah
jelek kota”, “sebuah deprivasi estetik”, dan “pemalas”. Ada sebuah establishing shot pada
adegan saat Aydin dan Hidayet menuntut pertanggungjawaban Ilyas dan
Ismail atas batu yang dia lempar. Di situ ditampilkan barang-barang yang
lapuk dan berkarat di depan rumah yang disewa Ismail. Ini adalah
simbolisasi situasi ekonomi Turki yang melapuk. Sementara itu, Aydin
menulis kritiknya tentang orang-orang miskin memakai sebuah MacBook,
yang sekarang dimafhumi sebagai salah satu simbol kapitalisme. Aydin
mengingatkan kita kepada potret kelas menengah dan kaya urban yang rajin
mengutuksumpahi gerakan buruh lewat gadget
terbarunya di sebuah kafe penyedia kopi waralaba – sebuah potret
sinisme yang tak berperasaan. Dengan demikian, ia adalah manifestasi kengehean
kelas intelektual borjuis. Dengan pongahnya ia melabeli mereka yang
miskin sebagai “pemalas” atau “tak mau bekerja keras”. Padahal, ia lupa
bahwa hidup mudahnya adalah berkat hotel dan berbagai properti warisan
ayahnya, sama seperti kelas menengah dan kaya ngehe kita
yang hidup mudah berkat berbagai privilese yang nampaknya luput dari
penglihatan mereka. “Kerajaanku mungkin kecil, namun aku tetaplah raja
di sini!”, begitulah Aydin memaknai hidupnya di Kapadokia. Orang lain
yang sengsara, dan keadaan ekonomi yang buruk hanyalah nuisance yang mengganggu kenyamanan sang petit bourgeoisie.
Hipokrisi
Aydin tak hanya sampai di situ. Sebagai intelektual, entah mengapa ia
merasa perlu untuk mengkritisi semua hal. Ia marah pada hal-hal yang
menurutnya amatiran. Dalam sebuah dialog panjang bersamanya, Necla
lagi-lagi dengan tepat mengungkapkan borok pemikiran Aydin. Baginya,
Aydin tak lebih dari sekedar misantrof yang tak konsisten dengan
pemikirannya sendiri. “Aku berharap batas-batas membohongi diri
sendiriku serendah punyamu,” komentar Necla. Menurutnya, Aydin membenci
orang-orang tua karena mereka kolot, namun juga membenci anak-anak muda
karena mereka seenaknya sendiri menerabas tradisi. Ia mengkritik para
konservatif karena mereka fanatik, namun juga mengkritik para liberal
karena mereka bebas. “Kau membenci agama dan orang-orang percaya tanpa
sekalipun menginjakkan kaki ke masjid,” protes Necla. Dengan
intelektualitasnya, Aydin menjadi sebuah tiran, dengan prinsip-prinsip
“tinggi” yang membuatnya membenci semua orang di bawah dia. Dengan
kepalsuannya, Aydin menjajah pikiran alih-alih mencerahkan, atau –
mengutip perkataan Nihal (Melisa Sozen), istri Aydin – “untuk mencekik
orang lain; untuk menghancurkan dan membuat mereka malu.” Patronisasi
yang demikian ini mungkin familiar di linimasa media sosial, di mana
seringkali dijumpai orang-orang yang secara refleksif mengkritik ini
itu, senggol kanan senggol kiri, merasa paling benar – dan yang
terparah, palsu.
Hamdi (Serhat Kilic), seorang imam yang juga
kakak Ismail dan paman Ilyas, adalah potret lain kebusukan para elit. Di
sini kita perlu melihat Aydin yang punya kuasa atas tanah dan ekonomi
sebagai perwujudan pemerintah atau negara. Hamdi dengan demikian adalah
perwujudan kaum relijius yang suka bermanis-manis dan menjilat
pemerintah. Tak sungguh-sungguh, tentu saja, karena mereka juga membenci
pemerintah namun cukup sadar untuk tidak melawannya. Saat Ilyas, si
rakyat kecil yang paling lemah, melemparkan batu ke mobil Aydin sebagai
bentuk protes, sang paman bersikeras agar Ilyas meminta maaf. Kalau
perlu, sampai sujud-sujud saat mencium tangan Aydin. Pingsannya Ilyas di
hadapan Aydin dan Hamdi adalah kolapsnya rakyat kecil saat pemerintah
dan elit agama saling kongkalikong demi sebuah kedamaian yang
superfisial.
Rentenir dan Relasi Kuasa dalam Ekonomi
Kita semua familiar dengan tipe karakter rakus harta seperti Shylock dalam “The Merchant of Venice”-nya Shakespeare, atau Ebenezer Scrooge dalam “A Christmas Carol”-nya
Dickens, atau Datuk Maringgih dalam Siti Nurbaya-nya Marah Roesli.
Aydin pun dibuat dalam stereotip karakter jahat yang serupa, seorang
rentenir dan tuan tanah yang menindas rakyat dengan bunga tinggi atau
sewa yang tak terjangkau.
Dengan sewa tanah yang semakin meningkat
dengan banyaknya populasi (karena tanah makin sempit), juga perbaikan
dan infrastruktur di sekitar tanah tersebut (karena nilai ekonomis
tanahnya meningkat), maka penderitaan kaum miskin adalah keniscayaan.
Makin naiknya sewa akan semakin menambah kekayaan riil tuan tanah, maka
manfaat ekonomi akan selalu condong ke arah si empunya tanah. Seperti
riba, sewa tanah yang eksesif adalah bentuk nilai surplus yang
mensentralisasi kekayaan kepada orang-orang kaya sebagai pemiliknya.
Ini yang disebut oleh Karl Marx sebagai “money aristocracy”:
aristokrasi di tangan pemilik kapital. Marx juga pernah mengingatkan
tentang bahayanya, “It does not alter the mode of production, but
attaches itself to it as a parasite and makes it miserable. It sucks its
blood, kills its nerve, and compels reproduction to proceed under even
more disheartening conditions.” Apa yang dirasakan oleh Ismail, Ilyas,
dan Hamdi dalam Winter Sleep
semakin relevan jika kita melihat kondisi masyarakat dunia ketiga
seperti Turki dan Indonesia yang terasing dari tanahnya sendiri, bahkan
terusir, karena berbagai kepentingan politik maupun ekonomi yang
seringkali terinterkoneksi.
Maka Ilyas adalah wujud perlawanan
kelas proletariat kepada kelas borjuis untuk mengkonfrontasi kebusukan
praktek ekonomi yang menghisap darah seperti itu. Batu yang ia lempar
adalah katalis untuk proses transformasi sosial atas struktur kuasa yang
ada di masyarakatnya. Dengan kata lain, batunya adalah seruan revolusi.
Hal sentral lain dalam film ini adalah tentang sedekah. Tak bisa
diragukan bahwa sedekah adalah kewajiban dalam agama Islam (atau agama
lain). Tak bisa diragukan juga bahwa sedekah dilandasi dengan itikad
baik. Akan tetapi, Winter Sleep
menyuguhkan perspektif lain yang seringkali kita lupakan tentang
sedekah. Misalnya, bahwa sedekah bisa nampak merendahkan bagi ia yang
menerimanya. Selalu ada pertentangan dan jurang antara si pemberi dan
penerima. Kebajikan bisa menjadi alat penindas. Ada relasi kuasa yang
tak mungkin dihapuskan dengan belas kasihan, ada harga diri yang
terinjak, ada kemiskinan yang sifatnya struktural, dan sedekah tak bisa
menjadi sebuah panacea
– obat penyembuh segala penyakit – untuk ini semua. Film ini juga
menunjukkan bahwa tidak mustahil bagi altruisme mewujud menjadi alat
untuk memenuhi egoisme pribadi. Adalah egois sebenarnya, jika sedekah
direduksi menjadi sekedar alat untuk menghapus rasa tak nyaman saat “aku” yang kaya ini melihat kemiskinan. Atau yang mungkin lebih ngehe, ia
bisa “disalahgunakan” untuk menunjukkan bahwa si pemberi sedekah punya
kuasa, seperti Aydin. Atau misalnya bila kegiatan sosial dilakukan saat “aku” merasa bosan tak ada kegiatan. Sedekah sebagai alat feel good ini
bisa kita lihat pada motivasi sedekah Nihal. Tengoklah panti-panti
asuhan yang mendadak banjir kegiatan saat Ramadhan atau Natal. Bukannya
apa-apa, sedekahnya tentu tetap baik. Motivasi-motivasi di belakangnya
belum tentu mulia.
Para Wanita yang Terkungkung
Ada
sebuah percakapan (yang lagi-lagi panjang) yang menarik antara Necla,
Nihal, dan Aydin. Necla mengungkapkan pendapat menarik tentang
ketidakmauan melawan kejahatan dengan kejahatan. Menurutnya, dengan tak
melawan kejahatan diharapkan si pelaku akan merasa malu dengan dirinya
sendiri. Aydin tak setuju dengan perspektif Gandhian ini. Menurut Aydin,
adalah luar biasa bodoh untuk diam saja, itu sama saja dengan bekerja
sama menuruti kemauan penjahat. Sebenarnya, ini adalah poin yang menarik
jika melihat bagaimana Barat menarasikan seorang perempuan ideal.
Perempuan
ideal, begitu seringkali dilihat dari kacamata liberal, adalah ia yang
bebas dan menolak untuk menjadi “korban”. Ia adalah wanita yang
memperjuangkan, bahkan kadang-kadang mengglorifikasi pilihan-pilihan
hidupnya (“choices”). Dalam liberalisme, agensi personal ditandingkan dengan hal menjadi-korban (victimhood).
Menjadi “korban”, dalam dalam definisi liberal, berarti tak punya
agensi – tak utuh sebagai manusia. Tak menjadi “korban” berarti harus
melawan, menjadi “empowered”,
dan menolak menjadi pasif. Menukil kawan saya yang juga seorang
feminis, Satrio Pratama di salah satu status Facebook-nya, dikotomi
seperti ini terlalu simplistik dan terlalu mengglamorisasi apapun yang
dilakukan perempuan sebagai bentuk resistensi kepada patriarki. Secara
kontras, tesis antiperlawanan yang dikemukakan Necla melampaui dikotomi
antara bebas versus tak-bebas. Ketika tidak ada jalan keluar dari
penderitaan, ia lebih suka menerimanya dengan keanggunan. Ia menderita
dalam kemegahan dan tanpa dendam. Ia adalah cerita tentang kesabaran
bahkan ketika dia tahu dia akan kalah, dan dengan demikian dia menang
bahkan ketika dia kalah. Dia adalah korban yang tidak berubah menjadi
pemangsa karena rasa marah atau balas dendam. Dan ketika seorang wanita
berubah menjadi penjahat, dia tidak menang. Sayangnya, kita melihat
bahwa tesis Necla ini ternyata sebenarnya adalah preteks untuk rujuk
dengan mantan suaminya dulu yang mengasarinya, karena sebenarnya ia
lebih-lebih merasa terkutuk oleh kebosanan di hotel Othello daripada
saat bersama dengan mantan suaminya.
Keterkungkungan ini tak hanya
dirasakan oleh Necla. Nihal, sang istri, mengalihkan perhatiannya
kepada kegiatan sosial karena bosan. Namun di luar itu, ia merasa bahwa
agensi personalnya – kemanusiaannya – sudah tergerus oleh rasa takut dan
rasa malu di hadapan suaminya. Kedegilan dan sinisme suaminya telah
mengambil masa muda dan membuang tahun-tahun terbaik Nihal. Berkarya di
luar akhirnya menjadi satu-satunya jalan berekspresi tanpa mendapat
campur tangan Aydin. Maka wajarlah ketika Nihal melawan saat Aydin mau
sok ikut campur ke dalam gerakan sosial yang sedang ia rilis. Seperti
yang Aydin katakan sendiri, “Aku tak pernah melarangmu. Bahkan kalau kau
minta pergi aku tak akan menghalangi”, Aydin memang tak pernah
menyakiti Nihal dengan menampar (fisikal), mengatakan sumpah serapah
(verbal), atau tidak menafkahinya (ekonomi). Namun bukan berarti Nihal bahagia. Leo Tolstoy tidaklah membual
ketika ia berkata, “Tiap-tiap keluarga yang tidak bahagia, tidak bahagia
dengan caranya masing-masing.”
Winter Sleep adalah
perkawinan antara sinema dan literatur. Ia adalah amalgamasi dari
problematika sosial Tolstoy, tema-tema kemanusiaan yang gelap dari
Dostoyevsky, karakter yang kompleks dan multifaceted
a la Shakespeare (lihat nama hotelnya), juga hubungan keluarga di
daerah pinggiran yang sering muncul dalam cerita-cerita pendek Chekov.
Bahkan Aydin, beserta hubungannya yang bermasalah dengan sang adik dan
sang istri serta kegemarannya menulis, adalah gabungan antara Vladimir
Semyonitch dalam “Excellent People” dan Pavel Andreitch dalam “The Wife”. Keduanya adalah cerita pendek Anton Chekov. Begitulah Nuri Bilge Ceylan, sang sutradara yang juga menulis screenplay-nya bersama sang istri, meramu Winter Sleep
seperti novel-novel asal Rusia yang panjang dan kompleks, tetapi tetap
filmis. Ada potret sebuah keluarga yang tak bahagia. Motivasi,
pergulatan sosial, juga perkara emosional masa lampau masing-masing
karakternya mulai terbuka seiring dengan narasi yang panjang dan lambat,
namun kaya dengan detail. Kontur audiovisual yang sederhana –
sinematografi yang tak terlalu istimewa dan musik yang minimalis namun
masih teatrikal (memakai Sonata no. 20-nya Franz Schubert) – membuat
kita memusatkan perhatian pada tokoh dan cerita film ini. Dan Ceylan
tidak bergegas untuk bercerita kepada kita dalam konstruk dramaturgi
standar. Alih-alih, karakternya teracak pada dialog-dialog yang
bertaburan seperti salju. Baru ketika film hampir usai, karakternya
menjadi utuh, bak tanah Kapadokia yang utuh putih ketika hujan salju
sudah hampir reda.