Wednesday, November 26, 2014

Winter Sleep: Jiwa-jiwa yang Dingin di Kapadokia

Hari begitu dingin di Kapadokia, ketika salju turun di daerah yang masih termasuk wilayah Anatolia, Turki itu. Namun salju bukanlah satu-satunya yang membeku di sana. Dalam keluarga kecil Aydin, ada yang dinginnya lebih menggigit daripada salju. Yang satu ini dinginnya menggigit jiwa.

Winter Sleep (Kis Uykusu) dibuka dengan establishing shot lansekap Kapadokia, lengkap dengan rumah-rumah berbetuk seperti jamur yang dipahat dari tebingnya yang berbatu. Di sini, Aydin (Haluk Bilginer) mengelola hotel bernama Othello bersama asistennya Hidayet (Ayberk Pekcan). Tak hanya memiliki hotel, Aydin memiliki tanah-tanah di situ. Tak hanya tuan tanah, ia juga seorang intelektual dan mantan pemain teater. Karena kunjungan turis sepi menjelang musim dingin, juga urusan menagih sewa rumah sudah ditangani Hidayet, maka ia menghabiskan waktunya menulis di kolom sebuah koran lokal, “Voices of the Steppe”. Akan tetapi, yang benar-benar menjadi obsesinya adalah untuk menulis buku tentang sejarah teater Turki. Bagi Aydin, tak ada tulisan tentang sejarah teater Turki yang benar-benar serius.

Suatu hari saat Aydin berkendara dengan Hidayet dalam jip warna oranyenya, sebuah batu melayang mengenai kaca jendela mobilnya. Ilyas (Emirhan Doruktutan), bocah yang melempar batu tadi, adalah anak dari Ismail (Nejat Isler), seorang pengangguran dan juga mantan napi yang menyewa salah satu rumah milik Aydin. Ilyas protes karena debt collector yang dikirim Hidayet untuk menagih sewa yang menunggak mengambil televisi satu-satunya milik keluarganya. Selama tiga jam ke depan, film yang juga memenangkan penghargaan Palme D’Or di festival Cannes tahun 2014 ini membabar kehidupan Aydin, juga hubungan-hubungannya dengan tetangga-tetangganya, istrinya, dan adik perempuannya.

Kengehean Kelas Intelektual Borjuis dan Kaum Elit

Dalam Bahasa Turki, Aydin berarti “tercerahkan” atau “intelektual”. Akan tetapi, menjadi intelektual tidak serta merta memberinya kapasitas otak untuk berempati. Pengetahuannya yang luas adalah alat untuk mengerdilkan hal-hal yang tidak ia suka. Dan, seperti yang secara tepat dilontarkan oleh adik perempuannya, Necla (Demet Akbag), Aydin sebenarnya tidak suka dengan semua orang. Concern troll, demikian istilah yang tepat untuk Aydin. Concern troll adalah ia yang sok bijak dengan mengungkapkan kritik atau permasalahan, tetapi dengan munafiknya lantas absen, atau justru mengkritik upaya-upaya menuju perbaikan. Ia nampaknya peduli, namun sebenarnya kepeduliannya kosong, sekosong empatinya.

Dalam sebuah tulisannya, Aydin dengan jemawanya berkotbah bahwa orang-orang miskin adalah “wajah jelek kota”, “sebuah deprivasi estetik”, dan “pemalas”. Ada sebuah establishing shot pada adegan saat Aydin dan Hidayet menuntut pertanggungjawaban Ilyas dan Ismail atas batu yang dia lempar. Di situ ditampilkan barang-barang yang lapuk dan berkarat di depan rumah yang disewa Ismail. Ini adalah simbolisasi situasi ekonomi Turki yang melapuk. Sementara itu, Aydin menulis kritiknya tentang orang-orang miskin memakai sebuah MacBook, yang sekarang dimafhumi sebagai salah satu simbol kapitalisme. Aydin mengingatkan kita kepada potret kelas menengah dan kaya urban yang rajin mengutuksumpahi gerakan buruh lewat gadget terbarunya di sebuah kafe penyedia kopi waralaba – sebuah potret sinisme yang tak berperasaan. Dengan demikian, ia adalah manifestasi kengehean kelas intelektual borjuis. Dengan pongahnya ia melabeli mereka yang miskin sebagai “pemalas” atau “tak mau bekerja keras”. Padahal, ia lupa bahwa hidup mudahnya adalah berkat hotel dan berbagai properti warisan ayahnya, sama seperti kelas menengah dan kaya ngehe kita yang hidup mudah berkat berbagai privilese yang nampaknya luput dari penglihatan mereka. “Kerajaanku mungkin kecil, namun aku tetaplah raja di sini!”, begitulah Aydin memaknai hidupnya di Kapadokia. Orang lain yang sengsara, dan keadaan ekonomi yang buruk hanyalah nuisance yang mengganggu kenyamanan sang petit bourgeoisie.

Hipokrisi Aydin tak hanya sampai di situ. Sebagai intelektual, entah mengapa ia merasa perlu untuk mengkritisi semua hal. Ia marah pada hal-hal yang menurutnya amatiran. Dalam sebuah dialog panjang bersamanya, Necla lagi-lagi dengan tepat mengungkapkan borok pemikiran Aydin. Baginya, Aydin tak lebih dari sekedar misantrof yang tak konsisten dengan pemikirannya sendiri. “Aku berharap batas-batas membohongi diri sendiriku serendah punyamu,” komentar Necla. Menurutnya, Aydin membenci orang-orang tua karena mereka kolot, namun juga membenci anak-anak muda karena mereka seenaknya sendiri menerabas tradisi. Ia mengkritik para konservatif karena mereka fanatik, namun juga mengkritik para liberal karena mereka bebas. “Kau membenci agama dan orang-orang percaya tanpa sekalipun menginjakkan kaki ke masjid,” protes Necla. Dengan intelektualitasnya, Aydin menjadi sebuah tiran, dengan prinsip-prinsip “tinggi” yang membuatnya membenci semua orang di bawah dia. Dengan kepalsuannya, Aydin menjajah pikiran alih-alih mencerahkan, atau – mengutip perkataan Nihal (Melisa Sozen), istri Aydin – “untuk mencekik orang lain; untuk menghancurkan dan membuat mereka malu.” Patronisasi yang demikian ini mungkin familiar di linimasa media sosial, di mana seringkali dijumpai orang-orang yang secara refleksif mengkritik ini itu, senggol kanan senggol kiri, merasa paling benar – dan yang terparah, palsu.

Hamdi (Serhat Kilic), seorang imam yang juga kakak Ismail dan paman Ilyas, adalah potret lain kebusukan para elit. Di sini kita perlu melihat Aydin yang punya kuasa atas tanah dan ekonomi sebagai perwujudan pemerintah atau negara. Hamdi dengan demikian adalah perwujudan kaum relijius yang suka bermanis-manis dan menjilat pemerintah. Tak sungguh-sungguh, tentu saja, karena mereka juga membenci pemerintah namun cukup sadar untuk tidak melawannya. Saat Ilyas, si rakyat kecil yang paling lemah, melemparkan batu ke mobil Aydin sebagai bentuk protes, sang paman bersikeras agar Ilyas meminta maaf. Kalau perlu, sampai sujud-sujud saat mencium tangan Aydin. Pingsannya Ilyas di hadapan Aydin dan Hamdi adalah kolapsnya rakyat kecil saat pemerintah dan elit agama saling kongkalikong demi sebuah kedamaian yang superfisial.

 Rentenir dan Relasi Kuasa dalam Ekonomi

Kita semua familiar dengan tipe karakter rakus harta seperti Shylock dalam “The Merchant of Venice”-nya Shakespeare, atau Ebenezer Scrooge dalam “A Christmas Carol”-nya Dickens, atau Datuk Maringgih dalam Siti Nurbaya-nya Marah Roesli. Aydin pun dibuat dalam stereotip karakter jahat yang serupa, seorang rentenir dan tuan tanah yang menindas rakyat dengan bunga tinggi atau sewa yang tak terjangkau.

Dengan sewa tanah yang semakin meningkat dengan banyaknya populasi (karena tanah makin sempit), juga perbaikan dan infrastruktur di sekitar tanah tersebut (karena nilai ekonomis tanahnya meningkat), maka penderitaan kaum miskin adalah keniscayaan. Makin naiknya sewa akan semakin menambah kekayaan riil tuan tanah, maka manfaat ekonomi akan selalu condong ke arah si empunya tanah. Seperti riba, sewa tanah yang eksesif adalah bentuk nilai surplus yang mensentralisasi kekayaan kepada orang-orang kaya sebagai pemiliknya.  Ini yang disebut oleh Karl Marx sebagai “money aristocracy”: aristokrasi di tangan pemilik kapital. Marx juga pernah mengingatkan tentang bahayanya, “It does not alter the mode of production, but attaches itself to it as a parasite and makes it miserable. It sucks its blood, kills its nerve, and compels reproduction to proceed under even more disheartening conditions.” Apa yang dirasakan oleh Ismail, Ilyas, dan Hamdi dalam Winter Sleep semakin relevan jika kita melihat kondisi masyarakat dunia ketiga seperti Turki dan Indonesia yang terasing dari tanahnya sendiri, bahkan terusir, karena berbagai kepentingan politik maupun ekonomi yang seringkali terinterkoneksi.

Maka Ilyas adalah wujud perlawanan kelas proletariat kepada kelas borjuis untuk mengkonfrontasi kebusukan praktek ekonomi yang menghisap darah seperti itu. Batu yang ia lempar adalah katalis untuk proses transformasi sosial atas struktur kuasa yang ada di masyarakatnya. Dengan kata lain, batunya adalah seruan revolusi.

Hal sentral lain dalam film ini adalah tentang sedekah. Tak bisa diragukan bahwa sedekah adalah kewajiban dalam agama Islam (atau agama lain). Tak bisa diragukan juga bahwa sedekah dilandasi dengan itikad baik. Akan tetapi, Winter Sleep menyuguhkan perspektif lain yang seringkali kita lupakan tentang sedekah. Misalnya, bahwa sedekah bisa nampak merendahkan bagi ia yang menerimanya. Selalu ada pertentangan dan jurang antara si pemberi dan penerima. Kebajikan bisa menjadi alat penindas. Ada relasi kuasa yang tak mungkin dihapuskan dengan belas kasihan, ada harga diri yang terinjak, ada kemiskinan yang sifatnya struktural, dan sedekah tak bisa menjadi sebuah panacea – obat penyembuh segala penyakit – untuk ini semua. Film ini juga menunjukkan bahwa tidak mustahil bagi altruisme mewujud menjadi alat untuk memenuhi egoisme pribadi. Adalah egois sebenarnya, jika sedekah direduksi menjadi sekedar alat untuk menghapus rasa tak nyaman saat “aku” yang kaya ini melihat kemiskinan. Atau yang mungkin lebih ngehe, ia bisa “disalahgunakan” untuk menunjukkan bahwa si pemberi sedekah punya kuasa, seperti Aydin. Atau misalnya bila kegiatan sosial dilakukan saat “aku” merasa bosan tak ada kegiatan. Sedekah sebagai alat feel good  ini bisa kita lihat pada motivasi sedekah Nihal. Tengoklah panti-panti asuhan yang mendadak banjir kegiatan saat Ramadhan atau Natal. Bukannya apa-apa, sedekahnya tentu tetap baik. Motivasi-motivasi di belakangnya belum tentu mulia.

Para Wanita yang Terkungkung

Ada sebuah percakapan (yang lagi-lagi panjang) yang menarik antara Necla, Nihal, dan Aydin. Necla mengungkapkan pendapat menarik tentang ketidakmauan melawan kejahatan dengan kejahatan. Menurutnya, dengan tak melawan kejahatan diharapkan si pelaku akan merasa malu dengan dirinya sendiri. Aydin tak setuju dengan perspektif Gandhian ini. Menurut Aydin, adalah luar biasa bodoh untuk diam saja, itu sama saja dengan bekerja sama menuruti kemauan penjahat. Sebenarnya, ini adalah poin yang menarik jika melihat bagaimana Barat menarasikan seorang perempuan ideal.

Perempuan ideal, begitu seringkali dilihat dari kacamata liberal, adalah ia yang bebas dan menolak untuk menjadi “korban”. Ia adalah wanita yang memperjuangkan, bahkan kadang-kadang mengglorifikasi pilihan-pilihan hidupnya (“choices”). Dalam liberalisme, agensi personal ditandingkan dengan hal menjadi-korban (victimhood). Menjadi “korban”, dalam dalam definisi liberal, berarti tak punya agensi – tak utuh sebagai manusia. Tak menjadi “korban” berarti harus melawan, menjadi “empowered”, dan menolak menjadi pasif. Menukil kawan saya yang juga seorang feminis, Satrio Pratama di salah satu status Facebook-nya, dikotomi seperti ini terlalu simplistik dan terlalu mengglamorisasi apapun yang dilakukan perempuan sebagai bentuk resistensi kepada patriarki. Secara kontras, tesis antiperlawanan yang dikemukakan Necla melampaui dikotomi antara bebas versus tak-bebas. Ketika tidak ada jalan keluar dari penderitaan, ia lebih suka menerimanya dengan keanggunan. Ia menderita dalam kemegahan dan tanpa dendam. Ia adalah cerita tentang kesabaran bahkan ketika dia tahu dia akan kalah, dan dengan demikian dia menang bahkan ketika dia kalah. Dia adalah korban yang tidak berubah menjadi pemangsa karena rasa marah atau balas dendam. Dan ketika seorang wanita berubah menjadi penjahat, dia tidak menang. Sayangnya, kita melihat bahwa tesis Necla ini ternyata sebenarnya adalah preteks untuk rujuk dengan mantan suaminya dulu yang mengasarinya, karena sebenarnya ia lebih-lebih merasa terkutuk oleh kebosanan di hotel Othello daripada saat bersama dengan mantan suaminya.

Keterkungkungan ini tak hanya dirasakan oleh Necla. Nihal, sang istri, mengalihkan perhatiannya kepada kegiatan sosial karena bosan. Namun di luar itu, ia merasa bahwa agensi personalnya – kemanusiaannya – sudah tergerus oleh rasa takut dan rasa malu di hadapan suaminya. Kedegilan dan sinisme suaminya telah mengambil masa muda dan membuang tahun-tahun terbaik Nihal. Berkarya di luar akhirnya menjadi satu-satunya jalan berekspresi tanpa mendapat campur tangan Aydin. Maka wajarlah ketika Nihal melawan saat Aydin mau sok ikut campur ke dalam gerakan sosial yang sedang ia rilis. Seperti yang Aydin katakan sendiri, “Aku tak pernah melarangmu. Bahkan kalau kau minta pergi aku tak akan menghalangi”, Aydin memang tak pernah menyakiti Nihal dengan menampar (fisikal), mengatakan sumpah serapah (verbal), atau tidak menafkahinya (ekonomi). Namun bukan berarti Nihal bahagia. Leo Tolstoy tidaklah membual ketika ia berkata, “Tiap-tiap keluarga yang tidak bahagia, tidak bahagia dengan caranya masing-masing.”

Winter Sleep adalah perkawinan antara sinema dan literatur. Ia adalah amalgamasi dari problematika sosial Tolstoy, tema-tema kemanusiaan yang gelap dari Dostoyevsky, karakter yang kompleks dan multifaceted a la Shakespeare (lihat nama hotelnya), juga hubungan keluarga di daerah pinggiran yang sering muncul dalam cerita-cerita pendek Chekov. Bahkan Aydin, beserta hubungannya yang bermasalah dengan sang adik dan sang istri serta kegemarannya menulis, adalah gabungan antara Vladimir Semyonitch  dalam “Excellent People” dan Pavel Andreitch dalam “The Wife”. Keduanya adalah cerita pendek Anton Chekov. Begitulah Nuri Bilge Ceylan, sang sutradara yang juga menulis screenplay­-nya bersama sang istri, meramu Winter Sleep seperti novel-novel asal Rusia yang panjang dan kompleks, tetapi tetap filmis. Ada potret sebuah keluarga yang tak bahagia. Motivasi, pergulatan sosial, juga perkara emosional masa lampau masing-masing karakternya mulai terbuka seiring dengan narasi yang panjang dan lambat, namun kaya dengan detail. Kontur audiovisual yang sederhana – sinematografi yang tak terlalu istimewa dan musik yang minimalis namun masih teatrikal (memakai Sonata no. 20-nya Franz Schubert) – membuat kita memusatkan perhatian pada tokoh dan cerita film ini. Dan Ceylan tidak bergegas untuk bercerita kepada kita dalam konstruk dramaturgi standar. Alih-alih, karakternya teracak pada dialog-dialog yang bertaburan seperti salju. Baru ketika film hampir usai, karakternya menjadi utuh, bak tanah Kapadokia yang utuh putih ketika hujan salju sudah hampir reda.

No comments:

Post a Comment