Monday, August 11, 2014

Tentang Cerita yang Belum Kuceritakan Kepadamu - Sebuah Review

Tragedi seringkali melahirkan karya-karya yang monumental. Dan, tidak ada yang lebih tragis dari kematian dan penderitaan manusia selain cinta yang tak berbalas. Dari Don Quixote - Dulcinea rekaan Cervantes, hingga Jay Gatsby - Daisy Buchanan dalam novel Fitzgerald, dari puisi epik Dante hingga sonata-sonata Shakespeare, cinta tak berbalas menjadi leitmotif karya seni dalam berbagai genre dan bentuk. Kali ini, seorang kawan saya yang berbakat, Gita Wiryawan, mendapat gilirannya memanggul salib melewati Via Melancholia, dan lantas menuliskan dysangelion-nya[1] yang ia beri judul "Tentang Cerita yang Belum Kuceritakan Kepadamu." Tulisan-tulisan ini Gita ini mulanya dimuat dalam blog pribadinya yang dia beri password. Baru kemudian karya epistolaris digital ini ia jadikan sebuah buku cetak yang didedikasikan untuk pujaan hatinya (mari kita tidak usah bahas siapa orangnya). Anda tidak akan menemui buku ini di toko buku manapun, karena di tata surya ini hanya ada 10 buah buku ini yang dicetak dan semuanya tidak dijual. Mungkin karena ini sebenarnya hanyalah curhatan yang dibukukan? Yang jelas, Gita melewatkan kesempatan menjadi idola remaja Indonesia masa kini seperti Alitt Susanto, Arief Muhammad, dan Raditya Dika. (Toh, salah satu syarat menjadi idola - dengan menjadi seorang mikroseleb di Twitter - kurang lebih sudah dipenuhi Gita).

 Gita membuka buku ini dengan tulisan di bagian sampul belakang: "Surealisme adalah hal yang paling logis yang bisa ditemui ketika orang berhadapan dengan cinta [...] kau terjatuh di dunia yang sama sekali tidak kau mengerti." Ketidakmengertian Gita dalam cinta yang serba tak logis dan paradoksikal ini menggemakan kembali ratapan Werther muda tentang Lotte dalam karya Goethe, katanya, “Kadang-kadang aku tidak mengerti bagaimana orang lain bisa mencintainya, dan boleh mencintainya, sedangkan aku pun juga mencintainya segenap jiwaku, begitu kuat, begitu penuh, tidak memahami apa-apa, tidak mengetahui apa-apa, dan tidak mempunyai apa-apa selain dia!" Orang yang mencinta secara dahsyat tentu pernah merasakan hal yang seperti ini, sebuah cinta yang melukai namun menciptakan adiksi. Kegagalannya menghasilkan kegetiran dan kemarahan yang serupa badai dalam bentuk mental dan emosional, meninggalkan manusia-manusia yang pecah dan remuk. Butuh usaha lebih bagi beberapa orang untuk bangkit dari bentuknya yang tinggal puing. Ada yang melakukan solo trip ribuan kilometer hanya untuk membangun kembali kota hatinya, ada juga yang menulis seperti Gita ini. Dan lewat buku ini Gita tidak sedang mencari permakluman (dan rasanya memang tidak perlu) terhadap kelakuan Sisifean ini, karena katanya (kepada si pujaan hati – mari kita sebut si Perempuan), "Tentu kau boleh menertawai golongan orang macam itu." Jika saja Werther muda mengenal Gita, mungkin ia akan berkata padanya, "Sind wir nicht alle Trunkene und Wahnsinnige?"[2]





Sebuah buku sekali tenggak, "Tentang Cerita..." hanya sepanjang 101 halaman terdiri atas 18 fragmen yang berbentuk mirip surat-surat tak terkirim. Tidak ada surat yang terlalu panjang, kebanyakan terdiri dari 4-5 paragraf berisi 4-5 kalimat yang ringkas pula. Bahkan ada satu entri (#5) yang hanya terdiri dari satu paragraf. Di bagian akhir buku ini, terdapat testimoni-testimoni dari teman-teman terdekat Gita yang kurang lebih mengetahui hubungan mereka berdua. Saya pun ikut menulis testimoni di situ (tetapi malah seperti tahi cicak kering di buku yang sudah lama tidak Anda baca: mengganggu).

Gita menulis buku ini dengan dengan konstruksi yang prosaik nan minimalis. Isinya berupa observasi momen-ke-momen seperti yang biasa Anda ceritakan pada kekasih lewat telepon. Dalam entri #2, misalnya, Gita bertutur tentang pekerjaannya dan uraian tugasnya yang baru di seksi yang baru, juga tentang kesialannya gara-gara seorang pegawai yang tidak teliti membuat dia harus mengerjakan ulang semuanya. Di entri selanjutnya, Gita berbicara tentang syukuran seorang pegawai temannya satu kantor atas kesembuhan anaknya yang baru saja keluar dari rumah sakit. Yang lain bercerita tentang arisan keluarga, perjalanannya ke Kuala Tungkal (beserta kondisi penempatan di daerah-daerah terpencil di luar Jawa), menonton film di mall, serta cerita tentang wayang, puisi Wiji Thukul, dan novel lama Murakami Haruki. Yang terpendek, #5, malah hampir-hampir puisi. Jika boleh saya beri enjambemen asal-asalan, maka ia akan terbaca seperti ini:

Pukul tiga pagi,
kurang sepuluh menit
Dan aku hanya ingin bilang bahwa
aku
merindukanmu.

Tak lupa, seperti biasa, ia menyelipkan kalimat-kalimat quotable khas Gita seperti, “Ingatan bisa dimanipulasi. Rekam jejak tidak” atau “Melihatmu di masa kini adalah mengekalkan sebuah kesedihan.” 

Pada paragraf-paragraf akhir fragmennya Gita dengan halus memutar kisah kehidupannya sehari-hari menjadi sebuah quasi-monolog yang gelisah, murung, dan penuh frustasi. Seperti pantun, setiap fragmennya mempunyai “sampiran” berupa cerita-cerita yang banal. Wajah adik-adik kelasnya yang muram karena meninggalkan keluarga demi bekerja di tempat yang jauh menjadi ilustrasi kemuramannya yang ditinggalkan oleh si Perempuan. Membaca buku Murakami menjadi ilustrasi tentang buku, sebagai sebuah analogi kehidupan: sesuatu yang punya akhir, sesuatu yang bisa dilanjutkan dengan buku (baca: kehidupan) yang baru. Gita seperti membuat lukisan realis alih-alih - seperti yang diklaimnya sendiri - surealis. Tidak dalam simbolisme yang kabur, namun dalam jelujuran narasi yang remeh-temeh.

Yang menarik, Gita pun menggunakan tulisannya sebagai wadah untuk menggugat modernitas dan ekses negatifnya. Misal ketika dia sedang menginap di hotel ber-AC, dan lantas mengingat masih ada orang yang tidak berpunya. Atau saat ia tertampar oleh puisi Wiji Thukul tentang keegoisan yang tersirat dari kebiasaan bibliofilik yang ia punyai. Bahkan dalam satu fragmen, kamerad Gita mengajak Si Perempuan untuk ikut berpikir sejenak mengenai kondisi tanah di Jambi yang menjadi gersang karena dioverekspoitasi oleh petani kelapa sawit, “Untuk kasus ini, menurutmu siapa yang benar-benar peduli? Pemerintah yang kerjaannya hanya berebut kekuasaan? Perusahaan yang hanya memikirkan soal cara memperoleh uang sebanyak-banyaknya? Atau penduduk yang bermodal kecil dan minim edukasi?” Mirip sekali dengan kader muda sebuah partai kiri yang sedang mengajak pacarnya diskusi. Sayangnya bagi Gita, ajakan diskusi ini nampaknya hanya memantul ke tembok.

Gita Wiryawan bisa dibilang adalah orang yang secara tidak langsung mengajari saya menulis. Saya tentu sudah memperhatikan tulisan-tulisan dia sejak lama, dan bagi saya buku semi-otobiografikal ini memberi kesan ketergesaan dalam penggarapannya. Kata-katanya tidak setajam tulisan-tulisan dia di blog. Pemilihan diksi khas Gita juga tampil sangat minimal, dan seandainya tidak ada sama sekali, maka membaca buku ini seperti membaca buku diari seorang anak SMA atau buku Raditya Dika. [3] Bukan salah Gita tentu saja. Saya lebih-lebih tidak mungkin menyalahkan editornya, Prima Sulistya, yang adalah salah satu editor muda par excellence dan paling cermat di negeri ini. Mungkin gaya penulisan curhat seperti ini bukanlah gaya yang bisa mengeluarkan potensi menulis Gita secara penuh.

Sesenang-senangnya saya mendapatkan buku gratis, apalagi tulisan seorang kawan sendiri, tentu saya berharap yang terbaik baginya. Ya, saya berharap tidak akan muncul sekuel "Tentang Cerita yang Belum Kuceritakan Kepadamu". Juga semoga tidak akan muncul perempuan-perempuan yang menghancurkan hati Gita Wiryawan di masa depan. Tak peduli kata Nuran Wibisono, seorang pengamat musik kawakan Indonesia, bahwa “Kesedihan adalah sesuatu yang seksi.” Tak peduli darinya lahir beribu paragraf dan bait puisi.

I wish you way more than luck for your future endeavors, Gita.


***


[1] Lawan kata dari euangelion yang berarti kabar baik (eu- berarti baik). Secara literal dysangelion berarti kabar buruk.

[2] "Bukankah kita semua pemabuk dan orang gila?"

[3] Sang penulis, Gita Wiryawan, pun menertawakan bukunya sendiri ketika kami bertemu dan minum-minum Jumat malam lalu di sebuah bar di daerah Kebon Sirih, Jakarta.

No comments:

Post a Comment