Wednesday, March 26, 2014

Balada Si Babon

Ini cerita tentang temanku, seorang anak tumenggung dari kerajaan di nun jauh sana dengan banyak pulau. Dia mengirimiku berlembar-lembar kertas tentang kisah hidupnya, tulisnya, “Biar ada yang ingat nanti kalau aku mampus.”

Terhadap cerita ini, tentu kau bisa berinterpretasi sesuka hatimu. Namun ingatlah, ini cerita terjadi di kerajaan di nun jauh di sana dengan banyak pulau (mari kita sebut saja kerajaan ini dengan Kerajaan Insularia), yang entah betul-betul terjadi atau hanyalah fantasi temanku semata. Aku tidak bisa memastikan. Yang aku tahu selama ini dia orang yang selalu berkata jujur. Dan ujarnya, “Ya seperti inilah.”

Kawanku ini (mari kita beri nama Babon saja untuk menjaga anonimitas) bekerja sebagai pengumpul upeti rakyat, sebuah pekerjaan yang sangat membosankan "seakan duduk di padepokan dan mendengarkan sepuluh jam kotbah yang sama terus menerus.” Begitu membosankannya hingga katanya sempat ada salah satu anak yang berpikir, bahwa mencuri dari warga dan babak belur dihajar setelahnya adalah sesuatu yang lebih baik. Kuingat rambut Babon yang kusut masai, serta kantung hitam di bawah matanya saat terakhir kami bertemu, dan, ya, mungkin saja.

Ia diangkat menjadi anak oleh sang tumenggung perupetian (jabatan resminya adalah Tumenggung Exchequer, dibaca: es ceker) Kerajaan Insularia sejak dua tahun lalu. Dia bersama tiga puluh satu anak yang lain dipekerjakan untuk memungut upeti dari rakyat di seluruh wilayah Insularia. Yang aku dengar dari orang lain, tumenggung ini (mari tidak usah sebut nama) bolak-balik hanya ingin menambah anak saja. Tumenggung Es Ceker rupanya ingin kerajaan Insula memiliki banyak petugas upeti seperti kerajaan Prussia di barat sana. Apa lagi yang mau ditarik dari rakyat kerajaan Insula yang rata-rata miskin, digerus utang, dan masih ditampar dengan hasil panenan dan tangkapan ikan yang sedikit? Entahlah. Mungkin sang Tumenggung punya pendapat lain. Mungkin saja rakyat kerajaan Insularia sebentar lagi menjadi seperti rakyat kerajaan Prussia yang kaya, yang penuh dengan juragan-juragan empunya pabrik dan saudagar-saudagar penyedia jasa yang kaya raya.

Tumenggung Es Ceker sendiri memiliki atasan langsung seorang Patih yang khusus mengurusi tetek-bengek masalah keuangan kerajaan, mulai dari upeti, bank kerajaan, ekspor-impor barang dari negara dan kerajaan lain, utang kerajaan, dan sebagainya. Mengenai Patih ini (mari kita sebut saja Patih Keuangan, atau Patih K), aku lumayan tahu banyak.

Sebagai seorang peneliti tentang ekonomi, tentu figur Patih K tidak luput dari perhatianku. Dirinya yang muncul sebagai pengganti dua patih sebelumnya yang didepak raja Insularia, adalah pribadi yang unik. Bagaimana tidak? Beliau sendiri pernah belajar langsung kepada mahaguru ekonomi dari India bernama Ammar Zein. Mungkin kau tidak tahu siapa Ammar Zein itu, tapi di kalangan kami beliau sangat hebat.

Ammar Zein adalah pandita kelas wahid yang menulis tentang kemiskinan dan kelaparan. Tulisannya sering menjadi acuan terhadap kebijakan negara dan kerajaan lain di dunia. Oleh karena tulisannya itu, beliau dianugerahi sebuah gelar. Gelar yang begitu agung sampai aku sendiri sebagai sesama penelaah ekonomi hanya bisa bermimpi untuk membayangkannya. Oh, bahkan bermimpi saja aku tidak berani.

Omong-omong, bagaimanakah lantas kebijakan ekonomi kerajaan Insularia sejak diurusi oleh Patih K? Apakah lantas beliau menerapkan ajaran mahaguru Zein tentang “redistribusi”, “infrastruktur sosial”, dan “pengurangan kesenjangan”? Menurutku tidak. Inilah yang membuatnya unik.

Dulu Patih K ini sering menulis tentang kemiskinan sebelum jadi patih. Lambat laun, dia berubah menjadi seorang libertarian. Apa itu libertarian, mungkin begitu tanyamu. Gampangnya, jadi libertarian itu jadi kebalikannya apa yang diajarkan oleh mahaguru Zein. Alias masa bodoh saja dengan kesenjangan, yang penting bisnis bisa enak keluar masuk di sini. Saudagar asing senang. Patih senang. Rakyat biarkanlah berjuang sendiri. Begitu kira-kira. Namun apalah arti pendapatku si peneliti bodoh ini.

Aku pernah bertemu dengan Patih K ini sekali. Waktu itu aku mendampingi menteri keuangan negaraku dalam kunjungannya ke kerajaan Insularia. Aku mengobrol dengannya setelah makan siang. Seingatku, dulu seperti ini:

“Pak Patih, dengar-dengar Anda mau menaikkan pajak untuk kereta kencana mewah sampai 125% ya? Boleh tau kenapa?”

“Oooh, tentu itu. Kau tahu, para saudagar dari negara dan kerajaan lain ingin berinvestasi ke Insularia. Sayang sekali neraca keuangan Insularia sedang jelek.”

“Jadi, untuk menekan impor agar neraca keuangan Insularia agak berimbang?”

“Betul.”

“Memangnya seberapa signifikan kereta kuda mewah yang masuk di Insularia?”

“Lho, yang penting itu gestur. Portofolio kita di mata asing! Kamu ini naif sekali.”

“Oh, begitu ya, Pak. Mohon maaf.”

“Iya. Tidak apa-apa.”

“Boleh saya tanya lagi?”

“Silakan.”

“Suku bunga Bank Insularia tinggi sekali, Pak. Kalau secara ekonomi, sudah terlalu hawkish. Bapak tidak coba ngomong ke Patih Bank Insularia agar menekan suku bunga?”

“Lho, buat apa? Suku bunga tinggi itu bikin surat utang kerajaan jadi kelihatan seksi. Bagus yield-nya.”

“Tapi, bagaimana dengan orang miskin yang mau utang beli rumah? Atau rakyat yang mau utang ke bank biar punya modal untuk usaha?”

“Eeeh, saya sudah dipanggil raja. Nanti saja kita lanjutkan.”

Namun siang itu dia tidak menemuiku lagi. Padahal aku sendiri masih punya beberapa pertanyaan kepadanya. Misalnya, bagaimana uang yang masuk dari para saudagar asing hanya dua per seratus dari total produk domestik bruto kerajaan Insularia menjadi fokus kebijakan. Atau bagaimana cara dia untuk mencegah uang panas dari para saudagar asing, karena dengar-dengar uang yang dikirimkan saudagar asing kembali ke negaranya masing-masing sedianya akan dibebaskan dari upeti.

Susah memang jadi rakyat Insularia.

Babon sendiri tidak pernah mengobrol dengan atasan dari ayahnya itu. Dia saja jarang mengobrol dengan ayahnya. Tumenggung Es Ceker memang terkenal galak.

“Apalagi sejak dia dengar kabar burung tentang dirinya dan si penari kerajaan namanya anu. Bayangkan saja, semua anaknya sampai disurati supaya jangan terpengaruh dengan kabar burung sialan itu,” begitu tulisnya.

“Beberapa anak sudah mulai sebal kepada ayah. Ayah sendiri seakan-akan lebih menyukai beberapa anak dibandingkan dengan anak-anak lain, begitu kata beberapa saudara seayahku. Ingin rasanya diusir dari rumah dan balik di jalanan saja. Sudah tidak betah. Muak. Ada sesama anak-anak ayah yang sampai berkelahi karenanya.“

Kalau dipikir, aneh juga masih banyak yang ingin diangkat menjadi anak oleh si Tumenggung Es Ceker. Apakah mereka tidak pernah mendengar kisah Babon dan saudara-saudaranya yang lain?

“Anak-anak lain, mencoba menulis di surat, selebaran, di tembok, di kuesioner resmi kerajaan, di punggung sapi, bahkan di punggungnya sendiri tentang bagaimana susahnya kerja pada ayah. Ayah sendiri tidak mau tahu. Bahkan ketika rakyat sudah mulai enggan membayar upeti. Siapa lagi yang membujuk warga? Siapa? Kami! Siapa yang susah payah menarik upeti, bahkan ketika hari libur kerajaan? Kami! SIAPA YANG SUSAH PAYAH MENEROBOS HUTAN, ATAU MENYEBERANGI LAUTAN DI TEMPAT TERPENCIL DEMI KERAJAAN? KAMI!”

Begitu marahnya Babon sampai-sampai dia menulis dengan huruf besar semua.

Akan tetapi, menurutku ini yang paling mengenaskan: “Kau tahu tidak, sudah hampir sewindu uang saku yang diberikan ayahku tidak pernah naik jumlahnya. Ini kata kakak-kakakku sih. Padahal beras makin naik harganya. Tiap kali aku mendengar si saudagar anu, atau si saudagar itu bisa membayar pegawainya yang mencari duit buat usahanya lebih tinggi dari yang diberikan ayah, kupingku terbakar rasanya. Kampret! Aku dan kakak-kakakku ini mencari uang demi seluruh kerajaan! Tapi apa? Dapat apa? Bocah kemarin sore yang baru masuk jadi pegawai seorang juragan di depan kantorku saja bayarannya dua kali lipat dari yang diberikan ayahku! Kampret!”

Begitulah kisah si Babon dari kerajaan Insularia. Sebenarnya masih banyak kisah lain yang ingin kuceritakan kepadamu karena surat si Babon ini memang panjang benar. Mengapa tidak memberontak saja, atau membikin revolusi, begitu mungkin kau penasaran. Aku pun juga pernah menanyakan itu dalam surat balasanku ke Babon. Lalu apa katanya?

“Aku takut sama istri pertama ayah. Rupanya dia tahu. Anak-anak yang baru menulis surat ungkapan tidak puas saja sudah dipanggili satu per satu olehnya. Mungkin ini jadi suratku yang terakhir untukmu.”

Baru belakangan ini saja aku tahu nama istri pertama si Tumenggung Es Ceker. Sayangnya, aku sudah lupa siapa. Mungkin Kitara, atau Kirana, atau… Kit… ah. Aku lupa. Bahan penelitianku membuatku gampang lupa akhir-akhir ini.

Namun satu yang tidak akan kulupa, yaitu bagaimana kisah si Babon ini. Menyedihkan.

2 comments: