Friday, September 27, 2013

Surat Kepada Nona Artemis

Kepada: 
Nona Artemis, di pesisir Laut Aegea

Dahulu sekali, Nona Artemis, seorang filsuf yang berasal dari tanah kelahiran kita, Zeno, pernah berujar, "Takdir adalah rangkaian sebab akibat yang tidak terputus." Sebelum kita semua ada, Nona, kita adalah atom-atom yang berasal dari letusan bintang bermilyar-milyar tahun yang lalu, yang mungkin juga berasal dari letusan bintang yang lain, dari semesta yang lain juga. Dan begitu selanjutnya, dari tak terhingga menuju ketakterhinggaan yang lain.

Lalu, Nona, takdir menentukan atom-atom ini untuk lantas mewujud menjadi seorang bayi perempuan mungil, yang lahir 22 tahun lalu pada sepasang ayah dan ibu yang terikat dengan cinta yang sedemikian kuat, hingga perbedaan pun takluk di hadapan mereka. Tahukah kamu, Nona, jika bayi mungil ini lahir di gedung tempat ayahku memutuskan untuk berangkat menjadi atom kembali? Tahukah juga kamu jika bayi ini lahir pada tanggal 28, yang jika ditambahkan maka ia menjadi angka 10 - lambang kesempurnaan? Aku dan bayi mungil ini punya beberapa hal yang begitu mirip, sehingga kami bahkan berpikir jika di kehidupan sebelumnya kami berdua adalah saudara kembar.

Bayi ini kemudian tumbuh menjadi wanita yang menyenangkan bagi mereka di sekitarnya. Meskipun kuakui, dia seringkali egois dan tidak mau mendengarkan, dia selalu punya banyak cinta yang ia beri kepada orang-orang. Sama sepertimu, Nona Artemis, dia adalah pelindung anak-anak. Ia menyayangi beberapa anak yang ia anggap sebagai darah dagingnya sendiri, pada sebuah panti asuhan di kota di mana ia belajar sekarang. Pernah dia bertanya kepadaku, bagaimana seorang yang egois bisa menyayangi anak-anak yang tidak pernah dilahirkannya. Aku tidak tahu pasti, jawabku. Mungkin karena kita adalah makhluk yang paradoksikal. Bukankah kau sendiri juga paradoksikal, Nona Artemis, dengan panahmu yang sama-sama mampu membawa penyakit dan juga kesembuhan? (Oh, aku sering berpikir kalau bayi perempuan ini punya karunia untuk mendatangkan cinta dan patah hati pada saat yang bersamaan.)

Di ulang tahunnya kali ini, aku tidak bisa memberi apa-apa. Tidak juga sebuah kue ulang tahun dengan lapisan cokelat dan dua buah lilin merah berbentuk angka dua yang menyala di atasnya. Baginya, dunia ini sudah merupakan sebuah kue ulang tahun besar yang sedang ia makan sepotong demi sepotong. Ia taklukkan satu per satu.

Aku hanya bisa menyelipkan sebuah fragmen tembaga yang pernah digunakan di tanah kita selama lebih dari tiga milenia. Di bagian mukanya, ada gambar lelaki yang tulisannya selalu ia pakai sebagai rujukan mendongeng. Dongeng tentang tanah kita yang ajaib beserta dewa-dewinya. Sayang sekali, Nona Artemis, dunia ini menyibukannya sedemikian rupa. Merampas waktu yang ia punyai sehingga sudah jarang sekali ia bercerita. Namun aku maklum, Nona Artemis. Aku lebih suka jika dia menggunakan sisa-sisa waktunya di malam hari agar dia bisa istirahat, daripada ia harus mendongeng dalam keadaan yang susah payah.

Lewat fragmen tembaga itu aku sematkan doa, supaya kelak ia bisa kembali pulang ke tepi lautmu. Mungkin dengan membawa serta Aegea dan Aegypta, anak-anaknya yang tercinta. Aku sudah meminta fragmen itu untuk membisikkan ucapan ulang tahunku padanya, juga harapan agar dia selalu bahagia dan semakin bijaksana.

Karena waktu adalah siklus tak terputus, maka biarlah energi yang dicurahkan semesta pada saat ia lahir datang kembali pada hari peringatan atasnya. Dan semoga Phoenix dan Pyro yang lebih dahulu kembali ke surga di hari sebelum ulang tahunnya kali ini, mau singgah dahulu ke Olympia dan menyampaikan doaku kepada dewa-dewi.




Arturo

----------------

P.S.: Nona Artemis, wanita itu seperti ini rupanya:




Bukankah ia mirip sekali denganmu?

Thursday, September 19, 2013

Upon Your Lifeless Smile

Last night must've been the darkest, coldest night I have lived on. It's as if the hell froze over and I walked on its ice. Not a word, not even a goodbye was said when you decided to be gone - and stayed gone. Forever. I still remember the way you waved your hand on the morning I went to work. Your smile seemed sincere, completely concealed what drove your heart into taking such extreme measure. Yes, I couldn't even catch a glimpse of your wicked intention, no matter how minuscule. Not that morning. Not even hundreds of morning before.

I have always thought that last night I would've walked into our home (weary, of course), not forgetting to put my shoes on the wooden shoe cabinet near the front door (because you always maddeningly scold me for being so untidy - funny how it is now I remember this after you've gone), only to find you fell asleep on our bed. The flowers-and-dogs patterns that emblazoned the "cute" bed cover you bought a month ago would look crumpled covering three-quarters of your body. Maybe I would kiss you here and there. Maybe you would wake up and ask how was my work, why was I late, and so on. Perhaps you would be slightly upset because the increasingly expensive condiments you've bought have gone to waste because I didn't eat the dinner you've prepared since the early dusk.

Instead I found your lifeless smile. Your eyes closed. Your body was cold and rigid from the rigor mortis. The dogs and flowers were now gone from sight, and the color red took place. On the bed, on the floor, on the pajamas you wore.

I have lost count of how many times I tried to wake you up. An hour must've been passed when I kneeled next to your body and wailed over you, thinking heaven would pity me just this once and you would live once more.

I didn't remember how exactly I regained my composure and finally called police, your parents, and my parents. Next thing I knew, it was already morning. A dim cast of light shone through the windows. A crowd gathered outside our house beyond the police line. Our parents tried to comfort me, and your mum cried incessantly while covering her face with your dad's handkerchief. Our dads were mostly silent, perhaps they were in shock. Your dad patted me in my shoulder, saying, "She's gone. She's gone. Now we have to get used to it." My heart is always prepared to lose you. But not this way. Certainly not this way. I cannot get myself used to this, and perhaps never will. My thoughts and words were sealed, in between tears and a barrage of hugs and comforting gestures from our families, friends, and neighbors.

The hearse has already taken you away for long. I've signed death-related papers that were necessary. I refused to authorize an autopsy because there is no need to desecrate your beauty that never ceased. Police officer that inquired me about why did you commit suicide has gone. I couldn't remember what answers I gave them beside "I don't know" and some words I blurted aimlessly. He suspected me of abusing you. I didn't, right, dear? I am a good husband, right?

Some people urged me to take a bath, and strangely I just complied without question. They all busied themselves for the funeral service that will take few hours from now. I took my shirt - my bluish working shirt with red stains on both of its sleeves. I remembered last night again. I remembered how my expectation to see you calmly dreaming had turned into a nightmare. A worst nightmare. A worst nightmare which is also real.

I wept under the shower as the memories of you began playing in my head. I reminisced our sweetest moments, our first date, our engagement, our wedding. I bitterly laughed remembering how clumsy we were on our first night. I even missed our fights and debates, our cryings together. It's all perfectly normal. Very normal, even. What is it that made you did that? I never recalled the moment you developed a depressive episode or some suicidal tendencies. Or were you that good to hide it all? Is it because we haven't got children? Or is it because you were lonely since I became so absorbed with my job? Please come back, honey. Please! I promise you I will not leave you anymore. I promise you I will give my time for you!

Nothing but "I am sorry, I am sorry" muttered from my lips. I know that you are invisible now, but you can still hear me. Please forgive me, darling. Please forgive me because I haven't got a chance to say I am sorry. Please forgive me, wherever you are now.

I get dressed, ready to go to the funeral parlor. Still adorned with soggy eyes and sadness that stubbornly refuses to leave. A broken vase is broken once, and so is a heart that is torn to pieces could never heal completely. Of this I know, of this I believe.

They tell me to grab some foods first, but I can't. There is this heavy air of sadness choking down my throat. The blazing sun is now covered by overcast, such a perfect time to mourn. The stress, the sadness, and the sleepless night all pushed me into near-collapse. I try to reach the medicine locker, looking for an aspirin or something, but I end up knocking them over. Things are falling, and I give up. I go to the backyard and secretly light a smoke. It is wet in some parts. Tears. Turns out I unconsciously cry again. I inhale twice then stomp it on the ground without mercy.

I tell our families, friends, and neigbors that I will go to the service all by myself. Alone. I step outside, painfully looking back at our house, whose mortgage still take years to be fully paid. And now it is even bleaker than before. The thought of you and your lifeless smile will linger, will haunt until the day I never know. The day when I will finally decide to join you. But this is not the day. Maybe.

Sunday, September 15, 2013

Critique of Pure Inaction

Tidak ada institusi yang benar-benar utopis, tidak juga institusi di tempat saya kuliah (STAN) maupun di tempat saya bekerja (Kemenkeu). Jika Anda tidak benar-benar mengalami masuk di dalamnya, tentu Anda akan mengamini adagium klise nan menyedihkan semacam "anak STAN idaman mertua" dan sebagainya dan sebagainya. Beruntung, ada orang-orang di dalamnya yang berani mengungkapkan pandangan dissenting mengenai realita institusi ini, yang tidak melulu indah di kanan kirinya. Simak tulisan Elan Sanurihim Ayatuna, yang membuka mata tentang kuliah di STAN yang tidak "bertabur bunga" seperti yang orang kebanyakan kira. Asimetri posisi tawar seperti ini adalah harga yang mesti dibayar bagi mereka yang memutuskan untuk berkuliah di sini, bahkan sampai setelah lulus dan bekerja sebagai pegawai negeri. Tulisan Farchan Noor Rachman ini menyingkapkan susahnya mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan, sementara Gita Wiryawan berusaha mencelikkan mata Anda tentang realita penempatan yang harus siap dijalani ketika lulus nanti. Di lain sisi, sama seperti Mas Farchan, El-Bantani menulis tentang sebuah PMK yang membonsai otak-otak cemerlang yang terpaksa gigit jari karena tidak bisa lebih lanjut mengembangkan diri.

Cerita-cerita di atas bukanlah kejadian terisolasi. Sudah banyak cerita, keluh kesah, anekdot, dan tetek bengek lainnya, yang dituliskan di blog, status Facebook, Twitter, maupun yang tidak; baik dari jaman dulu maupun sekarang. Keluh kesah semacam ini tentu tidak bisa dikuantifikasi bak survei untuk menjatuhkan putusan secara empiris bahwa institusi kami adalah institusi yang tidak baik. Tidak. Akan tetapi, Anda bisa lihat, bahwa ada yang salah dalam beberapa hal di tempat ini.

Adalah ironis, di tengah gaung reformasi birokrasi, dan Nilai-nilai Kementerian Keuangan yang selalu didengungkan, masih terdapat ketidakpuasan dari para pemangku kepentingan internalnya. Adalah menyedihkan, jika ada satu-dua peraturan yang dikeluarkan tanpa pernah ada kejelasan mengapa peraturan itu perlu ada. Seorang filsuf besar, Immanuel Kant, pernah menulis tentang bagaimana pemerintah seharusnya membuat kebijakan dalam bukunya yang berjudul "Perpetual Peace": “All actions relating to the right of other men are unjust if their maxim is not consistent with publicity”, semua perbuatan yang terkait dengan hak orang lain adalah tidak adil, jika prinsipnya tidak sesuai dengan publisitas. Publisitas di sini maksudnya adalah transparansi, sebuah penjelasan yang dikomunikasikan kepada mereka yang diatur. Jika boleh mengambil satu contoh, saya sendiri sampai sekarang tidak pernah mengerti kenapa UPKP* dihapuskan. Alasan peraturan ini mengada tidak pernah jelas, sementara implikasinya begitu masif, yaitu meskipun kami yang lulusan D3 ini mengambil kuliah ekstensi S1, ijazah S1 tadi tidak diakui. Kita tidak naik pangkat dan tetap menjadi lulusan D3 di mata pemerintah.

Jika saya boleh mengambil satu contoh lagi, yaitu tentang rekrutmen pegawai. Pada tahun 2011 dan 2012, STAN memutuskan tidak membuka pendaftaran untuk program D3-nya. Yang saya dengar dari mulut ke mulut, alasannya adalah karena terjadi penggembungan di tengah pada formasi pegawai, yang terlalu banyak diisi oleh D3 dan S1. Namun entah mengapa, pengangkatan S1 dari luar STAN tetap berjalan, sementara anak D3 yang hendak mengambil S1 malah terganjal oleh peraturan yang meniadakan UPKP. Hal-hal semacam ini - meskipun bukanlah sebuah hal yang menyangkut rahasia jabatan atau rahasia negara - tentu tidak Anda ketahui jika Anda tidak benar-benar ingin tahu tentang seluk beluk institusi ini. 


Para penulis yang saya sebutkan tadi bukannya tanpa kecaman. Beberapa orang menuduh mereka tidak bersyukur sudah diberi kesempatan untuk sekolah gratis dan jaminan mendapatkan pekerjaan. Yang lain, dengan entengnya menyarankan agar mereka keluar saja dari institusi ini. Kepada ini saya ingin menjawabnya.


Yang pertama, bahwa sikap bersyukur adalah tidak mutually exclusive dengan menyuarakan kritik. Tentu kami semua bersyukur telah diberi kesempatan seperti ini, di saat banyak yang lain tidak lolos melewati ujian saringan masuknya. Akan tetapi, bersikap ignoran dan tak acuh terhadap keadaan yang belum sepenuhnya bagus adalah sebuah kebutaan yang disengaja, dan lagi, tidak konsisten dengan semangat reformasi birokrasi Kementerian Keuangan. Apakah kita akan berkata kepada Sri Mulyani, "Anda itu tidak bersyukur!" ketika beliau hendak memperbaiki institusi kita? Apakah Anda akan menyalahkan orang-orang yang berdemo terhadap pemerintah yang lalim dan melabeli mereka sebagai orang-orang yang tidak bersyukur? Apakah Anda akan mengutuk para whistleblower? Tidak bukan? Kita semua merindukan upaya perbaikan yang terus-menerus di segala bidang - sebuah kesempurnaan - jika boleh menukil poin kelima dari Nilai-nilai Kemenkeu.

Bahkan, dalam tinjauan agama sekalipun, kritik adalah suatu hal yang penting, dan tidak melulu merupakan perwujudan rasa tidak bersyukur. Yesus, misalnya, pernah mengungkapkan kritiknya** kepada pemuka Farisi yang lalim: "Celakalah kamu [...] di sebelah luar kamu tampaknya benar di mata orang, tetapi di sebelah dalam kamu penuh kemunafikan dan kedurjanaan." Nabi Muhammad sendiri, dalam sebuah hadits*** pernah bersabda: "Jihad yang paling utama adalah mengutarakan perkataan yang adil di depan penguasa atau pemimpin yang zhalim." Ungkapan syukur tidak seharusnya direduksi menjadi sebuah ungkapan kemalasan berpikir dan inaksi.

Yang kedua, bagi mereka yang menyarankan untuk keluar saja adalah tidak lebih dari sekedar patung hidup yang masokis. Saya yakin, pada suatu waktu tertentu, mereka tentu saja pernah dikecewakan oleh orang tua, atau negara, atau siapapun/apapun itu. Lantas, saya ingin menantang mereka, apakah mereka mau meninggalkan keluarganya, hanya karena pernah berselisih paham dengan keluarganya? Apakah mereka mau pergi ke luar negeri, di saat tidak ada sambal tersaji di rumah karena harga cabai dan bawang yang melambung tinggi? Pergi meninggalkan sesuatu yang mengecewakan tidak akan pernah membawa perbaikan apa-apa, alih-alih, malah semakin melanggengkan keburukan yang ada padanya. Sama saja kita mengusir orang-orang yang beritikad baik, yang mencoba memberitahu kita bahwa ada sesuatu yang salah yang mungkin tidak tertangkap mata. Solusi macam ini adalah tipikal orang-orang bebal, yang mengira dengan pindah ke bulan atau Mars di mana tidak ada yang bisa mengecewakan kita maka semua akan baik-baik saja. Tentu, ini merupakan sebuah reductio ad absurdum dan juga sebuah sesat logika straw man, tapi, alur berpikir yang dipakai tetap sama (hanya saja saya membawanya ke level yang lebih ekstrem).

Kritik-kritik kepada birokrasi akan terus ada, selama masih ada yang dapat diperbaiki dari padanya. Tidak seharusnya kita memberi disinsentif kepada mereka yang mau meluangkan waktu berpikir demi sebuah perbaikan. Adalah sebuah omong kosong besar, jika kita memuja gelar agent of change yang disematkan kepada kita saat kita masih menjadi mahasiswa baru, namun lantas mencemooh mereka yang masih menghidupi semangat tersebut bahkan ketika mereka sudah lulus dan bekerja. Jika memang polemik, kontroversi, dan gonjang-ganjing adalah sebuah keniscayaan yang mengantar kita pada revolusi, maka demi reformasi birokrasi di institusi tercinta kita ini, biarlah pikiran kita terus teragitasi.



------


Post Scriptum:


* Ujian Penyesuaian Kenaikan Pangkat


** Baca Matius 23: 27-28

*** Dari Abu Said Al Khudri. HR. Abu Daud, Kitab Al Malahim Bab Al Amru wan Nahyu, No. 4344. At Tirmidzi, Kitab al Fitan ‘an Rasulillah Bab Maa Jaa’a Afdhalul Jihad …, No. 2265. Katanya: hadits ini hasan gharib. Ibnu Majah, Kitab Al Fitan Bab Al Amru bil Ma’ruf wan nahyu ‘anil Munkar, No. 4011. Ahmad, No hadits. 10716. Dalam riwayat Ahmad tertulis "kalimatul haq" - perkataan yang benar. Syaikh Al Albani menshahihkannya dalam Misykah Al Mashabih, No. 3705

Thursday, September 5, 2013

Sepatah Dua Patah Kata yang Tidak Terlalu Penting

Sebelumnya, terucap salam kepada semua teman saya yang penempatan di mana pun itu. Di Jakarta. Di Toli-toli. Di Maumere. Di Subulussalam. Di Surabaya. Di Sukoharjo. Di Singkawang, Ketapang, Sampit, dan tempat-tempat lainnya yang saya tidak pernah bayangkan ada di Indonesia, dengan segala kondisinya. Selanjutnya, kepada teman saya Gita Wiryawan yang telah dengan gagah berani menjadi corong lidah bagi mereka yang mendapatkan penempatan yang mengecewakan melalui tulisannya. Juga, kepada teman saya satu lagi Heru Irfanto, yang mengkritisi hidup yang dibesut hanya sebagai "karnaval untuk memamerkan kesedihan", dengan, ya, memamerkan kesepiannya. Bukankah itu kesedihan juga, Heru? Entahlah. Saya tidak berani berasumsi.

Sejujurnya, saya hanya ingin menyimak "perdebatan" ini - jika boleh dibilang begitu - dengan secangkir kopi dan barang sehisap-dua hisap rokok. Saya pikir, hanya berhenti sampai di sini. Sampai akhirnya Gita menulis tulisan tanggapan lagi.

Tidak ada yang salah dengan menulis, Gita. Sama seperti yang kau ungkapkan pada pledoimu sendiri. Entah karena penulisnya gelisah, entah dia sedang pamer mengenai kondisi penempatannya, entah dia sedang mengutuki entah siapa yang bertanggung jawab dalam lotere hidupnya kali ini (Tuhan? Pimpinan institusi ini? Dirinya sendiri?). Jika orang berhak mengungkapkan kesedihan dan kegelisahannya, mengapa standar yang sama tidak berlaku bagi orang yang sedang bahagia? Mengapa engkau gelisah atas kebahagiaan orang lain? Tidak, tidak, saya tidak menyalahkanmu. Namun, kau dan aku tahu: kau, aku, dan mereka, adalah sama-sama manusia korban-korban nasib. Sebajingan apapun nasib memutar dadu kita kali ini, setahuku, tidak pernah ada ketidakadilan di dalamnya. Ini hanya... nasib. Kecuali jika memang ada ketidakadilan dalam proses penempatan ini, maka aku akan menemanimu memberontak terhadapnya. (Aku tidak melihat tulisanmu sebagai ungkapan pemberontakan, aku tahu itu. Menurutku, kau tidak pernah benar-benar menuntut keadilan atas semua ini.)

Nasib menempatkan kita pada tempat entah bagus entah tidak secara subyektif bagi mereka yang melihatnya. Aku, di Jakarta, seringkali mengutuk tentang kemacetan dan paru-paruku yang dibunuh polusi sel demi selnya. Aku tidak mau berlagak omniscient dan dengan pongahnya bilang, "Aku tahu apa yang kamu rasa, kawan." Tidak, tidak. Aku tidak tahu rasanya kekurangan air. Aku tidak tahu rasanya harus menempuh kegelapan hutan demi tugas. Aku tidak tahu rasanya mengalami susah sinyal.

Lantas, aku tidak ingin berlagak bagai Mario Teguh dengan menyuruhmu bersyukur. Bersyukurlah jika menurutmu ini lantas disyukuri. Aku jadi teringat sajak Carl Sandburg berjudul "Mucker":

Of the twenty looking on
Ten murmur, "O, it's a hell of a job."
Ten others, "Jesus, I wish I had the job."

Perspektif seperti ini, tentu saja tidak bisa dipaksakan. Namun, lihatlah, ada orang yang puas melakukannya, entah demi terjaminnya masa depan, atau demi negara. Kau bisa melihat betapa bahagia dan sederhananya orang-orang seperti itu. Apa yang dibilang Heru dengan wang-sinawang, tentu saja dengan melihat mereka ini. Orang-orang sederhana yang - terlepas dengan angka pada mata dadu nasib masing-masing - melihat semua ini bak orang menang judi.

Satu lagi, Git, apa yang akan kau lakukan jika kau penempatan Jakarta? Gelisahkah kau dengan mereka yang penempatan di Bangko? Atau kau mau mengarahkan kegelisahanmu ini kepada mereka yang penempatan di homebase; di mana macet, polusi, harga makanan pinggiran jalan, dan hingar bingar kota besar tidak pernah menjadi masalah? Apakah privilese yang engkau punya akan menutup matamu, dan tulisan macam "Als Ik Eens..." tidak pernah dilahirkan? Jika semua ini salah, maka terus gelisahlah. Terus menulislah. Dahulu sekali ada tulisan seperti ini:

I am the young man, full of strength and hope,
Tangled in that ancient endless chain
Of profit, power, gain, of grab the land!
Of grab the gold! Of grab the ways of satisfying need!
Of work the men! Of take the pay!
Of owning everything for one's own greed!

[...] 


Yet I'm the one who dreamt our basic dream
In the Old World while still a serf of kings,
Who dreamt a dream so strong, so brave, so true,
That even yet its mighty daring sings*

Karena orang-orang yang gelisah adalah orang-orang yang masih menghidupi mimpinya.

-----

*Langston Hughes, dalam puisi "Let America Be America Again" (1935).