Thursday, January 31, 2013

Cordate

Pada suatu waktu, pernah seseorang bertanya kepadaku, "Katakan, apakah sesungguhnya Cinta itu?"

Sebagian diriku menjawab, "Pada mulanya kita adalah makhluk-makhluk yang tidak mengenal Cinta. Kita berhubungan seks dan mempunyai keturunan dengan banyak orang. Namun, pada suatu masa di epos sejarah evolusi manusia, sesuatu berubah. Kita mulai menyadari bahwa kehidupan yang seperti itu tidak bisa menjamin keamanan dan kelangsungan hidup bagi keturunan kita. Kita terlalu sibuk berhubungan dengan orang lain, sehingga melupakan anak-anak kita. Dan, kau tahu, bayi manusia memerlukan waktu lebih lama untuk mandiri dibandingkan dengan bayi hewan lain. Oleh karena itu, alam membentuk suatu mekanisme penstabil yang mengikat orang tua satu sama lain dalam mengurus anak, dalam hal ini Cinta; bahkan, ini juga berlaku bagi mereka yang mencintai sesama jenisnya. Sekalipun mereka tidak berreproduksi, Cinta menyatukan mereka untuk membantu merawat generasi spesiesnya, sesuatu yang disebut dengan kin selection."

Ia lalu melanjutkan, "Teman, sesungguhnya apa yang kau sebut dengan Cinta itu hanya ada di otak. Otakmu memberikanmu dopamin yang membuatmu mabuk kepayang ketika kau sedang jatuh cinta, dengan efek yang sama dahsyatnya ketika kau menggunakan narkotik. Ia juga memberikanmu serotonin, yang menyebabkanmu tidak bisa memikirkan apapun kecuali ia yang kau cinta; dan norepinefrin, yang membuat jantungmu berdebar-debar setiap kau bertemu dengannya. Ketika kau ingin bercinta, maka testosteron dan estrogenlah yang berkuasa atas otakmu. Dan, pada akhirnya, ketika kau dan ia yang kau cinta memutuskan untuk berkeluarga, oksitosin dan vasopressin menyatukan kalian berdua sampai akhir hayat."

Bagian diriku yang lainnya menjawab, "Aku tidak mengerti apa itu sebenarnya Cinta. Namun, beberapa orang besar pernah menceritakannya kepadaku. Ada yang bilang, bahwa Cinta adalah anugerah dari Eros dan Aphrodite. Yang lain mengatakan, bahwa Cinta adalah tentang mengorbankan dirimu untuk menanggung beban dunia dan orang lain yang menderita ini, untuk mengambil jalan Bodhisatwa. Sesungguhnya atas ini aku tidak paham benar, namun aku percaya pada mereka."

Ia mengambil napas sebentar, sambil kemudian menengadah ke langit, seperti sedang mencoba mengingat sesuatu.

"Ada pula orang lain yang mengajariku, bahwa Cinta itu sabar dan murah hati. Cinta itu tidak cemburu. Cinta itu tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Cinta itu tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Cinta itu tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan  orang lain. Cinta itu tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Cinta itu menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, dan sabar menanggung segala sesuatu. Orang yang satu ini begitu naifnya berkata 'Nubuat akan berakhir dan pengetahuan akan lenyap, namun Cinta tidak berkesudahan.' Menggelikan memang, tetapi entah mengapa aku percaya. Sama seperti aku mempercayai perkataan Ia yang bersabda, bahwa mencintai sesama manusia sama seperti kita mencintai diri kita sendiri adalah hal yang sama pentingnya dengan mencintai Tuhan dengan segenap apa yang kaupunyai", katanya panjang lebar.

Tiga, empat menit berlalu. Hanya angin yang menerpa perlahan. Menghanyutkan waktu bersama kesunyian.

Kesunyian itu pada akhirnya dibuyarkan oleh bagian diriku yang satunya lagi. "Aku sebenarnya ingin berpendapat. Namun, sayang sekali, yang kupunya hanyalah persamaan dan kumpulan bilangan. Aku tidak bisa menjelaskan lebih lanjut dari sekedar teori penawaran dan permintaan. Hei, bukankah Cinta itu juga merupakan permintaan dan penawaran? Kadang-kadang, jika penawaran disambut dengan permintaan, maka terciptalah ekuilibrium. Jika tidak, maka terciptalah sakit hati. Bukan begitu?", demikian kelakarnya.

Sang Penanya mengernyitkan dahinya mendengar jawaban yang makin lama terdengar makin janggal.

Aku melihat kegelisahan di raut muka bagian diriku yang lain. Seperti anak kutu buku di kelas yang ingin mengemukakan pendapat namun namun tidak bisa merangkai kata-kata.

"Jika engkau mau, aku dapat menjelaskan teori lain kepadamu.  Teori permainan mampu mengungkapan berbagai fenomena interaksi manusia yang nampaknya tidak bisa dijelaskan dengan angka. Padahal, sebenarnya bisa saja. Aku bisa menjelaskan bagaimana caranya ketika engkau melihat gadis manis di sebuah kafe, lalu ingin mendekatinya. Aku bisa menjelaskan bagaimana ketika engkau menjadi korban harapan palsu. Aku bisa menjelaskan bagaimana cara mencari ia yang kau cinta secara optimal. Bahkan, aku bisa menjelaskan kombinasi agar berbagai macam orang bisa memiliki masing-masing pernikahan yang stabil. Sayangnya, tidak ada yang bisa menjelaskan padamu apa itu Cinta."

Angin pun berhenti bersamaan dengan tenggelamnya kami dalam ketidaktahuan. Aku mulai berpikir bahwa menanyakan apa itu Cinta adalah sama saja dengan menanyakan apa itu keindahan. Tidak berguna dan tidak penting. Kita tidak pernah punya definisi yang pasti tentang keindahan. Plato, Kant, Hegel, Dostoyevsky, Hume, dan Heidegger punya definisi sendiri-sendiri tentang keindahan, namun kesemuanya tidak lengkap dan membingungkan. Kita semua tahu apa itu hal yang indah dan yang tidak indah meskipun kita tidak pernah tahu definisinya. Seperti halnya kita tahu orang yang sedang mencinta dan yang tidak. Meskipun pertanyaan tentang apa, atau mengapa, atau kapan, atau dari mana tidak akan pernah selesai terjawab.

"Lalu, apa Cinta menurutmu? Menurut hatimu?"

Ah. Sang Penanya tidak tahu rupanya, bahwa hatiku sudah menjelma menjadi lubang hitam. Yang kosong, tidak berdasar, dan gelap minta ampun.

"Kupikir Cinta itu seperti suatu sengatan yang menyenangkan yang menusuk tepat ke jantung. Seperti penjara, atau neraka. Tergantung siapa yang engkau tanya."

Ucapanku tidak pernah terdengar seyakin ini.

"Cinta adalah kekuatan yang menjalankan dunia ini. Ialah yang menciptakan jutaan lagu dan puisi, di antara kebahagiaan dan ratapan. Dia pula yang melahirkan pahlawan-pahlawan dan martir, yang merelakan nyawanya demi hal yang lebih penting, yakni Cinta itu sendiri. Namun, Cinta juga melahirkan penjahat-penjahat paling kejam yang pernah ada di dunia, ketika Ia menyeret mereka kepada harta, kekuasaan, dan kekecewaan. Cinta ada di mana-mana. Dia hadir kepadamu di siang bolong, dan hadir di mimpi-mimpi terindahmu di malam hari. Dia memandu jiwamu seperti cahaya mercusuar di malam hari, memastikan kau tahu secara tepat di mana engkau akan berlabuh. Cinta itu Maha Ada. Cinta itu seluruh semesta. Cinta itu Tuhan. Tuhan itu Cinta."

Sang Penanya tersenyum simpul, dan dengan suara yang halus bak anak kecil ia bertanya kembali:

"Bukan. Apa itu Cinta?"

Barusan aku sadar, bahwa Sang Penanya adalah hatiku sendiri.

"Maafkan aku. Aku tidak tahu."

Aku benar-benar tidak tahu.



Teruntuk #7HariMenulis dan gadis manis di sebuah kafe.

Wednesday, January 30, 2013

Mumbling #2

No one ever has answer to what is a good life and what is a good death. But even a man who has himself destined to be a sacrificial lamb, a helper, a guardian, or a savior, doesn't know the answer. Is this really painful for not knowing it?

After all these days, I've come to a shocking conclusion. That no one will ever tell me what it is. That no one will even make an answer for me. Not even you. Not even you if at that time I didn't make a mistake. I have abandoned what is so-called hope, because there is really no need for such thing. Hope, is the root of disappointment. Hope, is only for children. I live, and I know that will die as that sparrow outside your window will die.


But don't get me wrong. I still think that a life dedicated into making a better world, for those who are oppressed and disadvantaged is valuable. A life dedicated to pursue knowledge is also valuable (because then I will be able to help people with different problems; to give them not only material helps, but also thoughts. Funny, because I once thought that I learned these various skills to be able to relate to my future children in whatever interests they'll have. But, upon this, I am not sure anymore). But those are just "what", and not "why". And I have stopped asking question ever since.

I have come to an understanding that my days have been counted. I can feel my days of reckoning are closing in. Yet I still struggle navigating around this grand obstacle called Life. Only to stumble, fall, be disoriented, and falter again. And rise once more. And stumble once more. A thousand times. A million times over. Of this, I don't even have the courage to ask for your attention, or thought, or understanding. Because not even you can reach me. Because not even you can reach me even if at that time I didn't make a mistake. I can only say, "thank you", and "I'm sorry", because I was never that worthy to be thought to begin with. And please, let this unworthiness be as it always is.

"People who lead a solitary existence always have something in their hearts which they are eager to talk about", once wrote Anton Chekov. So maybe this is it. I grow up alone. I have fended off every pain alone. But I have never regretted it, even if there hasn't been anyone who hugged me and tell me to stop being so desolate; even if there will never be anyone who can stop me from being... me. If there should be an answer, then maybe this is the answer of what is my conception of a good life and a good death: I will always help other people, including you, but I can never help myself. Until the end.

------------------------------------------------------

"Pain is meant to wake us up. People try to hide their pain. But they’re wrong. Pain is something to carry, like a radio. You feel your strength in the experience of pain. It’s all in how you carry it. That’s what matters. Pain is a feeling. Your feelings are a part of you. Your own reality. If you feel ashamed of them, and hide them, you’re letting society destroy your reality. You should stand up for your right to feel your pain.” - James Douglas "Jim" Morrison.

------------------------------------------------------
 


And why write an epitaph, if there will be no grieving upon me, and no question shall be answered upon my unceremonious departure? At that moment, I will ask everyone not to be in grief. Because I am not anyone's savior. Because I haven't done anything worthy of acknowledgement. And because I have done it, that is to be in grief upon myself, and it's enough. It's enough already. And I'm sure you agree with me: do not wail upon thing that is unworthy.

If, if, indeed someday I'll be gone, will you remember me? Will you be sad over me? Or will I stay unworthy in your memory? Will I ever be in your memory? Please, don't.

Tuesday, January 22, 2013

A Meditation on Online Lives

Recently, my close friend decided to go sabbatical on Twitter. No one knows precisely what is his reason. It might be right when he told me that he just wanted to spend his times reading more books. It might be right when I randomly guessed it was just a matter of wanting more uninterrupted thoughts, or a girl problem. But after that I thought of it somewhat differently. Perhaps he just felt - as I feel it, too - that this social network life has become meaningless. A fake simulacra that no longer incites happiness (in whatever form) to us. So, what do we make of this?

We live at a time when friendship and relationship entangled so strong with the World Wide Web. To it the meaning of relationship is understood and measured; be it your Facebook relationship status, the number of Facebook friends and Twitter followers, or whatever. After a while, it degrades into something that, as Leo Tolstoy on "War and Peace" has put it, it's just "…[a] numberless multitude of people, of whom no one was close, no one was distant. …" We are friend with everyone, now. Some of us may not be changing from who we were before the intrusion of Friendster, MySpace, Facebook, and Twitter. But, some of us, when finally decided to become friends with everyone, forget how to be friends with anyone.

William Deresiewicz once wrote: "Far from being ordinary and universal, friendship, for the ancients, was rare, precious, and hard-won. In a world ordered by relations of kin and kingdom, its elective affinities were exceptional, even subversive, cutting across established lines of allegiance. David loved Jonathan despite the enmity of Saul; Achilles' bond with Patroclus outweighed his loyalty to the Greek cause. Friendship was a high calling, demanding extraordinary qualities of character—rooted in virtue, for Aristotle and Cicero, and dedicated to the pursuit of goodness and truth." And it was everywhere, back then, persisted to the 18th and 19th century. Goethe and Schiller, Byron and Shelley, Emerson and Thoreau, Wordsworth and Coleridge, Tennyson and Montaigne, Hawthorne and Melville. And even in fictional settings like Sancho Panza and Don Quixote, or Bilbo Baggins and Gandalf. Friendship was once beautiful, and intellectually and spiritually rewarding.

And what to see from the online counterpart? Sure, some of us find greats friends out of strangers from it. But, most of the time it is just impersonal relationship stemmed from mutual affinities, be it shared ideology, football clubs, indie bands not many have heard, or those Korean stars. The image of the true friend - soul mate whom is difficult to find but dearly beloved, who shields and stands with us in our difficult times, who shares with us our commitment to moral virtues and mutual improvement - is faded. We want our friends to help us feel better about ourselves. We want them to unconditionally accept us, even though in reality we are laden with moral defects and irrational judgments. We care more about having fun and conflict-free relationship, even though in doing so we let our "friend" does something wrong and even help to make excuses about it.

Friendship has ceased as it is no longer about value and relationship, rather, a feeling; a feeling of connection - like that one time you hugged your dolls - and a feeling of being loved and praised by strangers. Online friendship has served as electronic, virtual beacon to hush away the darkness of our loneliness. We love to check in on Path and Foursquare rather than simply enjoying the moment and place. We stop having meaningful conversation, and replace it with tweets and statuses. We are yearning that there will be someone from our thousands friends and followers responding back to us, reaffirming our existence amongst the faceless crowds. We crave this online attention so much that some people even did horrible things to get it.

The BBM messages, likes, retweets, blog comments, and heated online debates (be it about football teams, politics, or religions - yes, I'm looking at you, religious zealots and militant atheists) have occupied the subcortex and nucleus accumbans in our brains. They become our modern drugs, and we are devolving to be "approval junkies". Some of us have become so addicted to it that it is almost impossible not to check our timelines even for a day. This is why smartphones and gadgets are heavily-sought after in this era.

On love, there are not so much differences. Today’s love is distributed and enjoyed, not only in the hearts of the lovers but also across the online fabrics. The moments we shared with our lovers and all the subsequent romance coming from neurochemical cocktails in our brains, left the trace of digital footprints amongst uncountable bits of internet data. As we increasingly live our social lives online, in a medium that records everything, the digital précis and the relationship itself overlap each others. And it happens so often that this online record becomes the relationship, just like what Baudillard afraid of.

To sever this bond is even more difficult, as every click leaves a trace. The information that you were once friends or lovers lives on, inasmuch the relationship has long gone and vanished. Our parents' generation overcame this easily: that box of photographs and love letters under the bed, the time-capsule of undulating emotions, existed only in one place. Burn them, and the words remain only in the memories of those they touched: subjective, unexploited, unadvertised, and destined to vanish. But all those Facebook statuses, flowery tweets, online poems and love stories on the blogs are absorbed and witnessed by strangers the moment we post them online. To erase these completely is almost impossible. Not to mention those who are skilled enough to hack or use Google cache can summon them again out of the blue.

This by no means that to have online lives is always bad. I've seen the internet caters to good things, like internet activisms and revolutions. I've seen artists and writers find their intellectual resources and audiences. I don't advocate us to make a new zeitgeist to reject internet completely and become Neo-Luddites. No. I just want to say that the online world has moved too quickly and disturbingly intrusive for you and me, in some fashions that not all of us realize. I, too, enjoy my online life as much as the adventures I have in real life. To quote John Freeman, "Given that our days are limited, our hours precious, we have to decide what we want to do, what we want to say, what and who we care about, and how we want to allocate our time to these things within the limits that do not and cannot change. In short, we need to slow down."

We just need to appreciate the real life more, to find our true irreplaceable friends, and to fall quietly in love.

Thursday, January 17, 2013

Mumbling #1

There was a man / whose scars are not of war but of love / who stays awake at hours near midnight / 'till the dawn breaks at the eastern sky / As he breathes, he mumbles one or two verses / about leaving and being left

There was a woman / whose another part is thousand miles beyond the sea / who runs away from loneliness / like a doe, roaming to and fro in wilderness / As she sleeps, she dreams one or two dreams / about hopes and a sealed heart

The man had nothing else to offer / but poems and prayers / that may or may not be answered / and willingness to be the sun / when winter breeze creeping in / to keep her warm like a coat / or a fireplace inside a palace

The man who was once lost,
whose scars are not of war but of love,
finally has found his direction.
Towards the final resting place,
where there is no silence at the evening,
no boundary of how much a person can love or be loved.
Where stars sing sonnets in unison,
and only the moon sleeps alone.

"And if you let me, I'd swim to you
to the cold, dark sea where you are - with burning chest -
slowly sinking,
and I will take you to the field,
where the only troubles for us are rose thorns and pebbles
and I will calm the thunders, and earthquakes, and storms,
just if you let me so."

The man looks tired, like a vagabond,
who once walked the hell - or slayed a dragon
his feet tremble, and his heart's feeble
waiting for that three words.

Words, that may or may not be answered

-------------------------

On earth, poem verses and a sealed heart are waging war.

 -------------------------

*dedicated to a brother of mine.

Monday, January 7, 2013

Catper: Gunung Lawu

Saya adalah orang yang tidak betah jika saat liburan harus berada di rumah seharian. Pada suatu malam di sebuah angkringan, ketika teman saya, Derry bercerita bahwa temannya sedang berada di Gunung Lawu, saya melontarkan ide untuk mendaki Gunung Lawu saja guna menghabiskan liburan 1 Sura yang agak panjang ini. Kenapa? Menyitir Sir Edmund Hillary, salah seorang  penakluk Mount Everest yang pertama, “Because it’s there.” Ya, karena ada gunung di sana, dan ia menunggu untuk dijelajahi.

Hari Jumat tanggal 16 November 2012 (sebelum gendang “Saya mau naik gunung karena film 5cm!” yang menjemukan itu terdengar) kami berdua melaju dari Karanganyar menuju Cemara Kandang dengan persiapan yang minim. Kami hanya membawa uang, jaket, baju hangat, alas tidur, jas hujan, satu (ya, satu) buah senter yang itupun juga menempel pada sebuah korek api elektrik, juga, tentu saja, batang nikotin. Saya sudah tidak memikirkan apa-apa selain bersenandung dengan nada khas Dora (“Mau ke mana kita?” “Gunung Lawu!”) yang terus terngiang-ngiang di dalam kepala.

Pukul 12 kurang sedikit, kami mulai mendaki. Perjalanan dimulai dengan melewati jalan berbatu yang membelah hutan pinus dan tanaman paku-pakuan. Selama ini perjalanan masih mudah, ditemani batang nikotin yang tersulut.



Setengah jam kemudian, kami tiba di sebuah pos di dekat Sendang Panguripan. Kami sempat berbincang dengan ibu penjual nasi di sana sambil makan gorengan. Ada juga sebuah keluarga yang terdiri dari bapak, ibu, dan seorang anak yang umurnya kira-kira masih enam tahun. “Anaknya juga sampai ke puncak, Mbak?”, tanya saya. “Iya, Dik, nggak minta digendong pula.” Luar biasa. Tak lama kemudian ada beberapa pendaki yang sedang dalam perjalanan turun bercerita bahwa ada kekurangan air bersih untuk minum di atas karena Sendang Drajat sedang kering. Saya lumayan panik (karena saya cukup sering minum) dan berkata kepada Derry, “Udah, isi air di sini aja yang banyak”.

Kami lalu pergi ke Sendang Panguripan, dan mengisi air dengan botol air mineral yang kosong, sambil bercakap-cakap dengan bapak yang sedang mencari air juga. Ternyata di Sendang Panguripan pun airnya mengalir dengan debit yang sangat-sangat kecil. Butuh waktu setengah jam lebih hanya untuk mengisi satu botol air mineral ukuran 1,5 liter. Karena masih tidak puas, saya masih membeli air minum yang warnanya keruh mencurigakan dari ibu penjual nasi. “Que sera, sera.”, demikian pikir saya. Perjalanan pun dilanjutkan menuju ke Pos 1.


Bapak pencari air di Sendang Panguripan.

Perjalanan dari Sendang Panguripan ke Pos 1 hanya memakan waktu yang cukup singkat, kira-kira 10 menit. Di Pos 1 ini, kami hanya istirahat sebentar dan membeli nasi untuk bekal nanti dimakan di Pos 2.


 Sebuah warung di Pos 1.

Jalan dari Pos 1 ke Pos 2 ternyata lumayan panjang dan menanjak, membuat kami berkali-kali harus berhenti dan mengambil napas. Yang saya sukai dalam perjalanan mendaki Gunung Lawu ini adalah bagaimana hampir semua pendaki selalu menyapa setiap pendaki yang berpapasan dengan mereka. Mungkin seperti ada code of the mountain yang berlaku di sini. Di tengah perjalanan, kami bertemu dengan bapak, ibu, seorang pemudi, dan seorang pemuda yang bagian lututya penuh luka.
“Jatuh di atas ya, Mas?” saya bertanya.
“Oh, tidak, Dik. Jatuhnya pas naik motor mau ke sini.” Ibunya menjawab.
Lho, itu juga nekat sampai ke puncak, Bu?”
“Iya, Mas.” Gantian si bapak yang menjawab. Sudah ada satu anak umur enam tahun dan pemuda yang baru saja mengalami kecelakaan yang mencapai puncak Lawu. Saya tidak mau kalah, tentu saja.

Kemudian ada beberapa pendaki yang turun, banyak di antaranya adalah ibu-ibu usia 30 atau 40-an. Rupanya ada acara hiking bersama satu kantor di sini. Beberapa dari mereka bertanya apakah Pos 1 masih jauh. Saya mencoba memberi jawaban yang mendekati kenyataan mengenai jarak dan waktu tempuh sebenarnya, tetapi teman saya Derry memberikan jawaban yang, bisa dibilang agak memberi harapan palsu. “Tinggal bentar lagi sampai, kok, Bu, Pak.” katanya. Ketika saya sergah, dia menjawab, “Biar semangat.” Kami meneruskan perjalanan sambil saya berceloteh tentang riset psikologi yang saya ingat (yang juga membenarkan perkataan Derry). Sungguh cara yang absurd untuk mengalihkan diri dari kelelahan dan oksigen yang semakin menipis.

Satu jam kurang, dan tibalah kami di Pos 2. Kami mampir di sebuah warung untuk makan bekal dan perjalanan pun dilanjutkan.

 Warung, Pos 2.


 Makanan di sini memang mahal-mahal. Tapi, jika Anda melihat apa yang harus dilakukan untuk menyediakan makanan bagi Anda di puncak gunung, saya rasa harganya layak - atau bahkan mungkin kurang adil bagi mereka.

Di tengah perjalanan menuju Pos 3, saya tergelincir pada sebuah batu dan engkel kaki kiri saya cedera. Itu masih ditambah kram di kaki kiri yang langsung menyerang pada saat itu juga. Praktis saya hanya mengandalkan kaki kanan dan sebuah tongkat kayu untuk meneruskan perjalanan.
Kami sampai di Pos 3 kira-kira pukul 3 dan mampir untuk istirahat sebentar. Beberapa bagian atapnya sudah tidak tertutup seng lagi padahal mendung sudah cukup kelam. Dan, kekhawatiran saya pun terjadi, hujan turun. Kami terpaksa menghentikan perjalanan dan bercakap-cakap dengan beberapa pendaki asal Bekasi yang turun gunung. Saya juga menyempatkan diri tidur sebentar.


Di Pos 3, berteduh bersama beberapa pendaki dari Bekasi.

Ternyata hujan tidak reda juga, sehingga saya pun berkata kepada Derry bahwa pukul 4 kita harus melanjutkan perjalanan, tidak peduli apakah hujan reda atau tidak, supaya masih ada cahaya matahari untuk menerangi perjalanan. Hujan ternyata tidak reda dan kami memakai jas hujan untuk melanjutkan perjalanan.

Percayalah, hujan itu menyenangkan jika Anda tidak sedang berada pada ketinggian 2.500 meter dari permukaan laut, mendaki jalan yang terus-terusan menanjak, dan dengan hanya satu kaki yang berfungsi optimal. Trek dari Pos 3 sampai ke Pos 4 merupakan jalur yang hanya terdiri dari tanjakan dan sedikit sekali bagian yang landai. Kami  berkali-kali berhenti untuk mengambil napas setiap tiga atau empat tanjakan. Oh, iya, air minum keruh mencurigakan yang saya beli sebelum Pos 1, ternyata bukan air kotor, melainkan air jahe. Sepanjang perjalanan saya tidak mengambil gambar karena ponsel saya taruh di tas agar tidak basah karena hujan.

Pukul 5 kami sampai di Pos 5. Kami tidak berhenti sama sekali dari Pos 4, karena dari Pos 4 sampai ke Pos 5 cuma memerlukan waktu 15-20 menit. Dan meskipun hujan tidak berhenti, sunset terlihat dari sini.


 Matahari terbenam di Pos 5.

Di Pos 5 saya secara kebetulan (I mean, what are the odds? What a coincidence!) bertemu kawan-kawan saya dari STAN: Heri, Rizal, dan Agus. Mereka bersama dua temannya lagi. Saya dan Derry menghabiskan waktu mengobrol dengan mereka di sebuah warung sambil ngopi sampai pukul 6 lebih. Rizal dan Agus mendirikan tenda, dan ketika sudah selesai, mereka kembali untuk menjemput Heri dan dua kawannya. Sementara saya dan Derry memilih untuk menginap di Mbok Yem, sebuah warung cum tempat menginap yang sangat-sangat sederhana berjarak kira-kira 10 menit perjalanan dari situ dan 200 meter di bawah puncak. Kegiatan kami di Mbok Yem hanya makan, ngopi, merokok, menghangatkan diri di dekat tungku, lalu tidur. 


 Warung Mbok Yem, daerah Hargo Dalem.

Pukul 3 pagi saya bangun. Hujan sudah reda dan langitnya bertaburan bintang, literally. Karena udara di sini sangat bersih, dan mengingat ketinggiannya serta langit yang bebas dari awan, maka bintang-bintang kecil yang biasanya tidak terlihat karena cahayanya terkaburkan oleh atmosfer jadi terlihat secara jelas di sini. Sayang sekali kamera ponsel saya terlalu lemah untuk menangkap cahayanya. Mungkin memang ada beberapa hal indah yang hanya bisa ditangkap mata dan bukan oleh simulakra kamera. Entahlah, yang jelas, pemandangan seperti ini sungguh menakjubkan. Bintang di atas, lampu kota Karanganyar di kejauhan, persis seperti Bukit Bintang di Jogjakarta, namun saya rasa 10 kali lebih indah. Saya dan Derry menyempatkan diri mengunjungi petilasan di mana Prabu Brawijaya V dianggap moksa (menghilang beserta jasadnya) sebelum naik ke puncak.

Jalan ke puncak itu sendiri tidak memiliki jalur yang pasti selain mengikuti selokan yang terbentuk dari tanah yang tergerus erosi. Pada saat itu (pukul 4) keadaan masih gelap gulita dan senter yang kami bawa hanyalah berupa lampu kecil yang menempel pada korek api. Di kiri-kanan banyak beraneka jenis pohon berukuran sedang yang membuat kami seringkali kehilangan arah dan harus memutar mencari jalur lain. Dan memang kami kehilangan arah, saat jarak hanya tinggal 10 meter dari semacam clearance (daerah yang bebas pohon dan rata) di bawah puncak. Sementara untuk berbalik ke belakang sudah terlalu jauh. Pilihan kami hanya dua: menunggu pendaki lain lewat atau nekat berjalan menembus pohon dan semak-semak. Kami memilih pilihan yang kedua.

Setelah menikmati bagaimana rasanya ditusuk-tusuk oleh duri dan ranting pohon, sampailah kami di puncak sebagai pendaki pertama hari itu. Matahari bahkan masih belum muncul, dan Merkurius serta Venus masih bertengger di langit. Lelah? Cedera di engkel? Sama sekali tidak terasa. 


 Titik putih di sebelah kiri atas adalah Venus, sedangkan Merkurius cahayanya sudah terlalu lemah untuk tertangkap kamera.


Lalu, matahari pun muncul, dan kami menikmati theatre du soleil – teater matahari yang indah ini. Jika ini bukanlah merupakan hal yang menyenangkan, maka saya tidak tahu lagi apa ini.

 Selamat pagi, dunia!
 





Post-Scriptum:

O Derry Redentor. This sod has raw taste of humor.


Clouds.


Dawn.


Bukit sebelah.


More clouds.


Langit nampak seperti lautan.


Pluto, our guardian angel.


Padang rumput.


Pohon bunga Edelweiss.


Sendang Drajat. Kering kerontang.


Misty mountain.


A solitary tree.


Pohon ini tumbuh di atas batu - secara harafiah.


 
Padang rumput lagi.


 
 Batu belah di dekat Pos 3.


"Siapa suruh, Dik, kamu cantik sekali?" - actual quote dari nyanyian anak-anak Undip yang kami temui ketika turun gunung.


 Padang rumput lagi.


 Entah kenapa saya jadi terbayang The Lord of the Ring.


"Cinta ora jahat." Yang artinya "cinta tidak jahat". Vox populi vox dei!



Thursday, January 3, 2013

Balasan untuk Gita

Git,

Dahulu sekali, seorang filsuf Perancis bernama Sartre pernah berujar bahwa kita tidak memiliki sesuatu yang inheren dalam diri kita. Kita hanya kanvas kosong, void, menunggu untuk dilukis dengan warna apapun itu.  Di dunia jejaring sosial ini, melakukannya bahkan jauh lebih mudah. Pilihan warna yang tersedia ada beraneka rupa. Kita bisa menipu orang lain, membuat persona-persona yang palsu tetapi menarik, agar orang suka. Namun, aku bukan seperti itu.

Git,

Seperti nukilan film “The Stalker” dari Andrei Tarkovsky yang aku pasang di blog, “A Man Writes Because He Doubts, Because He Is Tormented.” Seperti itulah kira-kira raison d’être dari blogku. Jika aku sedang menulis – tentang filosofi, agama, maupun teori ekonomi, ataupun sekedar cerita – itu semata-mata karena aku tersiksa. Tersiksa karena ada ide yang butuh ditumpahkan, dan hanya ia yang aku punya. Blog ini tidak memiliki pretensi apa-apa. Pun bukan cita-cita untuk menjadi jenius bak Einstein (dan aku pun memang bukan orang yang jenius.)

Git,

Satirmu tentang aku yang memiliki cita-cita sebagai boyband sungguh lucu. Kupikir kau sedang berlagak seperti Albert Camus dan lantas menjejalkan ide-ide tentang absurdisme kepadaku. Bukan, aku tidak bermaksud mengatakan bahwa menjadi boyband itu aneh, tapi bagiku (yang tidak memiliki modal muka, suara, maupun kemampuan menari) tentu saja sangatlah aneh jika bergabung pada suatu boyband. Kau tentu sudah tahu, cita-citaku sebenarnya sederhana: menjadi seorang yang bekerja di bidang yang aku cintai, yang sayang sekali bukan berada di institusi ini.

Git,

Sebenarnya, jika ada yang lebih aku suka dari kritik maupun pujian, ia adalah kejujuran. Kritik hanyalah sampah jika ia hanya berniat untuk menghancurkan. Pujian juga hanyalah sampah jika orang yang memuji hanya menginginkan umpan balik berupa sebuah perhatian. Pujian dan kritik (seperti halnya permohonan maaf, kata Jacques Derrida) – haruslah absen dari perhitungan untung-rugi ala kalkulus ekonomi. Dan, sayangnya hal tersebut juga jarang ditemui.

Git,

#DukungAndreTetapJombloUntukIndonesiaYangLebihKritis sesungguhnya gerakan yang tidak perlu, seperti katamu. Ketidakadilan ada di mana-mana. Terlalu banyak, dan baunya terlalu menusuk hidung bahkan ketika mungkin aku nanti sedang tidur di samping istri yang terlelap nyenyak. Hal yang seperti itu tidak bisa membuatku bahagia. Kebahagiaan, kata Aristoteles, terletak pada menjalankan nilai-nilai dan karakter yang baik secara rasional. Memang demikian sulitnya, apalagi jika aku – seperti halnya kau – ada dalam posisi yang privileged di dalam masyarakat. Ada kecenderungan untuk diam dalam sikap apatis. Ada kecenderungan untuk menenggelamkan diri pada keberuntungan yang dipunyai, sampai lupa kepada mereka yang tidak beruntung.

Karena kau sepikiran denganku, dan karena kau temanku, dan karena kita sama-sama berada di haluan politik paling dibenci di negeri ini, dan karena kita sama-sama human beings, maka, jika di suatu saat nanti, aku lupa dengan manifestoku sendiri, tolong ingatkan aku untuk berada di jalan yang seharusnya lagi.