Wednesday, October 31, 2012

Departure

Sesungguhnya aku enggan menulis ini. Pertama, itu tidak penting, karena sudah kuungkapkan semuanya padamu. Kedua, dengan ini aku sudah melanggar dua janjiku sendiri: untuk tidak berbohong kepada diri sendiri (yang, jujur saja, sampai detik aku menulis ini masih mencintaimu) dan untuk terus bersenandung tentang keengganan mengucap kata berpisah kepadamu. Namun, seperti halnya semua yang ada di dunia ini, ada yang harus terhenti, agar yang lain bisa berjalan kembali; yakni hidupku dan hidupmu. Dan, karena mungkin aku tidak akan bisa menulis bagimu setelah ini, ijinkanlah aku menulis beberapa baris yang mungkin dapat tertangkap oleh matamu, ketika tak ada aku lagi.

Kau tahu, sudah cukup lama aku menghabiskan waktu. Di setiap pagi yang sudah terlewati ini, aku selalu berlari mengitari dirimu. Sambil berharap dirimu memperhatikan, dan suatu saat, kau akan berlari bersama diriku. Kau tentu bertanya, mengapa tidak kuajak saja kau berlari bersama? Mengapa aku tidak pernah memperjuangkanmu? Ah, andai hidup memang semudah itu. Aku punya prinsip, dan apabila prinsip ini menyebabkanmu bertanya-tanya tentang apa mauku, maka dengan ini aku minta maaf.

Dan apabila apologi ini terasa seperti sayur yang hambar, maka biarkanlah aku bercerita, kemudian nilailah sendiri apakah perjuanganku sudah benar. Apa yang selama ini kulakukan bukanlah sekedar berpikir, bahwa dengan berpikir dan berharap cinta akan datang dengan sendirinya. Namun, aku juga bukanlah seorang bajingan yang suka menempelkan hidung kepada mereka yang sudah bersama kekasih yang dicinta. Jika saja kau memang sendiri, dan jika saja kau memang menghendaki, maka tentu aku akan menghampirimu. Tak peduli apakah sepuluh jam atau lebih adalah tumbal waktu yang harus kubayar demi kamu. Tak peduli misalnya aku harus berjuang melawan segala yang jahat di dunia ini untuk melindungimu. Tapi aku tak bisa. 

Aku terlalu melankolis? Nikmati saja dan tertawalah. Jika karena cinta temanmu itu melakukan perjalanan yang cukup gila bagimu dan kau mengagumi itu, asal tahu saja, apa yang ingin tetapi urung kulakukan bagimu tidak kalah gila. Tapi aku bisa apa? Aku hanya bisa terjebak di prinsipku dan menulis. Sungguh, cerca saja aku kalau itu bisa menghiburmu. Akan tetapi, coba ingatlah, berapa kali aku sengaja terjatuh ketika aku sedang berlari mengitarimu, hanya agar engkau dapat tertawa sejenak? Berapa kali aku mengalah saat kau ingin menjauh dariku agar kau bahagia? Terserah saja kalau menurutmu ini bukan perjuangan. Toh, apa yang terjadi di dalam hatiku tak bisa kau rasakan. Toh, apa artinya perasaan seorang yang di matamu hanyalah teman? Kalaupun yang kutawarkan adalah cinta, bagimu ia tidaklah kelihatan terlalu signifikan, sama seperti hari-hari yang biasanya tak kau hiraukan.



Lalu, pada suatu pagi, aku bangun dari delusiku dengan kenyataan yang tak pernah terasa begitu jujur, yaitu bahwa aku telah kehilangan semua yang indah. Aku telah kehilangan kesempatan, dan aku paham benar tentang itu. Aku menengok ke belakang, dan kulihat duniaku, yang kubangun di sekitar kecantikanmu, kepandaianmu, dan jiwamu, sudah runtuh dan terbalik tanpa kusadari. Maka sejak itu kuputuskan untuk berhenti berlari mengitarimu. Berlari ribuan putaran lagi pun rasanya tidak akan membuatku semakin mendekat padamu. Meskipun, tentu saja aku akan merindukan berlari di dekatmu. Aku harus pergi, menata kembali bagian-bagian yang masih bisa kuperbaiki. Apakah kau akan menyadari nanti, jika aku sudah berhenti berlari?

Dan mulai kali ini aku akan membunuh harapanku, yang senantiasa mencari sosokmu di manapun itu. Aku akan berhenti menciptakan dunia di mana kau hidup dan kau milikku. Aku akan membunuh tuhan yang menjanjikan mujizat di mana setiap paginya aku bisa berkata padamu, “Aku mencintaimu.” Melankolis? Sekali lagi, tertawalah saja. Karena tragedi adalah komedi bagi mereka yang tidak mengalaminya.

Bila ada hal yang harus kubenci darimu, adalah bagaimana kau membuat standar yang terlalu tinggi bagi pencarianku selanjutnya. Benar, siapa bilang jika selama ini aku memasung imaji tentang dirimu? Sudah lama aku mencari orang yang lebih baik darimu. Sialnya, sampai saat ini aku belum bisa menemukannya. Kau terlalu… istimewa. Mungkin hanya ada satu di antara sejuta. Di dalam dunia yang gelap dan membingungkan ini, kau terbakar dengan begitu terang sehingga aku tidak pernah kehilangan cahaya. Dan aku terkutuk karenanya. Semakin lama aku menyelami dirimu, semakin lama aku menginginkanmu. Dan semakin banyak aku mendapatkanmu, semakin sukar bagiku untuk membayangkan hidup tanpamu. Bahkan, di dalam diam, aku seringkali dilanda perasaan yang aneh, karena sesungguhnya aku bahkan tidak tahu terlalu banyak tentangmu. Akan tetapi, ada satu hal yang mendorongku untuk belajar kepadamu; karena aku yakin, sampai sekarang, masih ada hal-hal menakjubkan dalam dirimu yang tersembunyi, menunggu untuk dicintai. Sayangnya, mungkin tidak untukku, tidak di kehidupan ini. Ngomong-ngomong, maukah kau menikah denganku nanti, ketika kita sama-sama menunggu mati? Dengan begitu, tidak ada yang perlu berkorban perasaan. Tidak perlu ada kekecewaan. Ah, dalam hal inipun, aku tidak yakin.

------------------------------------------------------- 

Seorang teman berkata kepadaku bahwa aku harus jujur, dan inilah itu, sebelum nanti aku kehabisan waktu dan tidak sempat mengatakannya. Aku berterima kasih atas tahun-tahun yang telah kulalui, atas segala hal yang kita bagi, dan atas segala kesempatan di mana kita sama-sama belajar menjadi dewasa. Aku akan mengambil yang terbaik dari mereka, dan menjadikannya sebuah pelajaran yang kubawa ke manapun aku pergi. Aku minta maaf atas ketidakjelasan, kebodohan, dan rasa sakit yang mungkin pernah kutimbulkan kepadamu. Ini bukanlah hal yang aku inginkan, tetapi sudah saatnya aku harus pergi dan mengambil jalan yang terjal. Mungkin karena aku melihat semuanya sebagai sebuah pelajaran, atau aku memang tidak mau hidup dengan terus menyesali keadaan, atau mungkin karena aku akhirnya bisa memahami semua ini, aku tidak tahu.

Dalam hidup, ada hal-hal yang kita tidak inginkan untuk terjadi, namun memang harus terjadi; ada hal-hal yang kita tidak mau tahu, namun pada akhirnya kita harus belajar darinya; ada orang-orang yang mana kita tidak bisa hidup tanpanya, namun kita harus merelakannya pergi. Seperti itulah kiranya. Dan setelah ini, marilah tetap pada perjalanan kita masing-masing. Pertahankan hubunganmu dan nikahilah dia. Berjuanglah, dan di suatu saat nanti kita bertemu lagi pada pesta pernikahanmu dengannya, aku tidak perlu mengucap apa-apa selain mengangguk penuh arti… 

…bahwa akhirnya kita berhasil dalam perjuangan kita sendiri-sendiri.

-------------------------------------------------------

“I'll be governed by the road, get to shed this heavy load…
I've seen your future, so leave me alone in the past…”
(Kasabian – Man of Simple Pleasure)

-------------------------------------------------------

P.S: Tulisan ini bukanlah tentangku atau tentangmu.

Monday, October 15, 2012

A Mathematical Approach in Finding Love

Inspired by @rofiqlung’s and @muftiabidin’s life stories, I decide to write this post. Given that life is short and finite, and how parents usually complain(!) if we haven’t find after all these years that “special one” to settle and make family with, surely optimizing this love journey so that we won’t waste our time is one of the biggest problem for humankind (string theory and optimal currency areas are, too. But let’s forget those aside). Strangely, albeit love and mathematic don’t usually mix, we may find the answer to that “optimal love journey” in… math.

However, you have to find n number of your love candidates before doing this algorithm. These candidates might be your childhood friends, your friends, your neighbors, your coworkers, those chicks/dudes whom you picked up at the night clubs, your ex- and current boy/girlfriend(s). It doesn’t matter. You just have to know how many candidates you have, and let’s call the number as n.

The rule:
1. There is a single wife/husband position to fill.
2. There are n candidates for the position, and you know the value of n.
3. The candidates can be ranked from best to worst unambiguously.
4. The candidates are interviewed sequentially in random order, with equal probability (none is more prioritized than the others).
5. Immediately after a date/dinner/watching movie together/being in relationship/whatever, the candidate you have dated is either accepted or rejected, and the decision is irrevocable. You have to move on to the next candidate, or if you have found one, stop.
6. The decision to accept or reject a candidate can be based only on the relative ranks of the candidates dated so far, i.e. it doesn’t matter if Dian Sastro is better than Laura Basuki (I know, they both are married), as long as they both are worse than Yoona, then you have to choose Yoona.

The calculations:

It’s only a matter of optimal stopping rule. You reject the first k − 1 candidates (let’s say Dian Sastro is the best candidate among these k − 1 candidates), and then selects the first subsequent candidate that is better than Dian Sastro, then marry her. For an arbitrary cutoff k, and using Bayesian theorem, the probability that the best candidate is selected is:


If we partition the interval [(k − 1)/n, 1] into (nk) + 1 subintervals of length 1/n each: [(k − 1)/n, kn, …, (n − 1)/n, 1]. It follows that (using Riemannian sum):


If k/n → x ∈ (0,1) as n → ∞ then the expression above converges to –x ln (x) as n (the number of candidates) approaches infinity. Taking the derivative of Pn(k/n) with respect to k/n, setting it to 0, and solving for k/n, we find that the optimal k/n is equal to 1/e, with e being Euler number (2,71828183...). Thus, the optimal cutoff (k) tends to be near n/e as n increases, and the best candidate is selected with probability 1/e (= 0,367879441…). That means there is approximately 37% chance of finding your best soul mate, without bother “trying” all the candidates.

Confused? Let me simplify. The algorithm is as follows:

1. Get n candidates.
2. Date n/e or 37% of them (if you have 10 candidates, date 3 or 4 of them. If you have 100 candidates, date 37 of them., etc., etc.).
3. Don’t forget to compare the previous candidate to the next. Let’s say the best from the first 37% is Dian Sastro. Carry on.
4. Continue dating the rest, but the first candidate you meet who’s better than all of the first 37% candidate (Dian Sastro), you marry.
5. Stop dating the candidates left, and love her for the rest of your life. This is without doubts the most important step.

#Protip: should you find no better candidate than Dian Sastro, well, bad luck for you. That's why it's important to employ the "PHP technique."

 


Bonus!

After finding out how to optimally find the best lover, then when is the best time to marry? You think math doesn’t have the answer? Duh. I find your lack of faith disturbing. Here’s how:


Note that the n, r, and k above are completely unrelated to the previous equations (I am lazy). To save you from reading more tiresome equations and math-y explanations, the answer is 0,368. “What is this 0,368, dude?”, you may ask. Fine, here’s the guide:

1. Choose the oldest age by which you want to get married, for example 30. Call this number “a”.
2. When is your earliest age that you start to consider searching for wife/husband? Let’s say, from age 20 onwards. Call this as “b”.
3. Do this math: ((a – b) x 0,368) + a. This gives you 3,68 to be added to 20.
4. The result of 24 (more or less) is your Optimal Marriage Age. Hooray!


Happy searching for you (and also me, goddammit)!


Thursday, October 11, 2012

A Game Theory Approach on PHP

PHP stands for (in Bahasa) “Pemberi Harapan Palsu”, or “The Giver of False Hope”. It signifies the situation where someone (say, Adam) gives attention/love to other person (say, Britney) in hope that the other person will reciprocate his love back. If Britney decides not to reciprocate back, or sending mixed signal (thus either deliberately/unknowingly “fish” Adam to give Britney more love), Britney can be said as a PHP.

The setup is like this: let’s say the initial amount of love (l) for Adam and Britney is 5 for each person. Adam can either not give a damn to Britney (payoff is 5, 5 for both of them) or he can give that love to her. If Adam decides to give all his “love stock” to B, it is being multiplied (m) to be 20 for Britney, then Britney can decide whether she wants to split that 20 “love stock” for both of them (payoff is 10, 10) or keep them for herself (payoff is 0, 20 for Adam and Britney subsequently) thus resulting in Adam’s “love stock” to become zero, a.k.a. he is gonna be devastated or heart-broken. Zing! Britney can also decide to give only Adam portion of attention (keeping a portion of love stock x to herself), let’s say, 6 “love stock”, resulting in a payoff of (6, 14) for Adam and Britney.

The movements here are represented with g, n, r, k which stand for “give love”, “not give a damn”, “reciprocate”, and “keep”, respectively. Probability (p) of Britney to either play r or k is arbitrarily chosen as 50%, though in real life you can’t assign definite probability to love. Also, in this illustration, r means a 50:50 split of the “love stock” (not including the x, see above paragraph), which is also an arbitrary condition. END means one of the parties decides to stop the game.


The setup, assuming Britney will always either split in half or not at all, with 50% probability.

The usual Nash equilibrium strategy for Adam and Britney is (n, k) - Adam must never play the game; Britney, whenever Adam plays the game, must always keep all the love for herself and leave Adam with nothing. This will give a payout of (5, 20) for them. However, this strategy is not an evolutionary stable strategy if the game is iterated. Not to mention, you know, love is sorta continuous, amirite?.

Adam can rationally decide to give love continuously (in N-times iterated/repeated games) if he can be *100% sure* that Σ (m . li – xi), from i = 1 to N, will always N . l. But, this is not always the case, as Adam can never control Britney’s mind to reciprocate his love, hence there exist variable p and x which may evolve (and can't be rationally predicted by Adam) over times. Therefore Adam’s continuous love is irrational as certainty isn’t assured. Using coin to randomly determine Britney's responses in repeated games, you can see how Adam is basically being stupid if he decides to play along.


Table of Adam's payoffs. Adam:  stupid person.

Britney’s position, on the other hand, will always put her in advantageous place no matter what Adam is doing. However, in order to maximize her payoffs, she needs to “fish” Adam into playing the game repeatedly. She can mix her “reciprocate” and “keep” signal to give Adam an “illusion of love” to keep playing the game. She won’t get lose anyway. Hence: the PHP.

In order to maximize his position, Adam must keep track of Britney’s reactions, and leave the game immediately whenever Britney decides not to respond to his love. But, in real life, this is not the case, why? Economically speaking, Adam unconsciously shifts his reference point to zero whenever he plays each section of these repeated games of love. Therefore, in his mind, it’s as if the game is always starting from zero (no accumulated losses, no accumulated gains) and discontinuous.


Adam: not knowing that he is stupid.


Genuine love is irrational. Being a PHP is rational.

Q.E.D.



P.S.:

There are some caveats. Note that: 

a) The coin that I used to randomly determine Britney's responses may or may not be a fair coin (putting aside the Central Limit Theorem and law of large number.), 

b) Using coin to determine Britney's responses was, strictly speaking, misapplied, since I was not intending to portray Britney as if she uses mixed strategy at the very first place.

Even though Adam's expected value Σ pi (m . li - xi) from i = 1 to N on the second row of the table on the ilustration above equals to N . l, that is, both are 50, Adam's decision not to give a damn bears much better result than if he chooses to give love to Britney. The act of giving love is a costly signalling, though, I didin't incorporate such signal costs in the illustration aforementioned.

Thursday, October 4, 2012

Sebuah Senandung dari Sudut Rak Susun

Teruntuk dia yang empunya rekaman.

Aku hanya bisa berterima kasih. Sebuah sudut temaram di sebuah rak susun jauh lebih baik adanya daripada harus berada di pinggiran jalan. Dibuang, diinjak-injak orang, dan lantas terlupakan. Aku tidak merasa sedih, hanya terheran-heran. Bagaimana bisa rekaman yang bersenandung tanpa arti masih layak untuk disimpan? Bahkan, untuk terpatri dalam ingatan?

Merasamu begitu jauh, namun juga begitu dekat, sudah cukup untuk membuatku sangat bahagia. Mendengarkanmu masuk ke dalam rumah, berjingkat-jingkat sambil bersenandung bak anak berumur lima tahun bagiku terasa seperti surga. Persetan dengan kotak kaset ini. Tidak akan ada belenggu yang cukup kuat untuk menghalangi. Tidak juga rak susun yang kau miliki.

Akan ada saatnya nanti di mana aku akan keluar dan bernyanyi. Di hadapanmu. Supaya kau tahu aku nyata, dan kau tidak usah menunggu. Kapan? Aku pun tidak tahu. Namun, kau harus tahu, di saat kau sedang tak melihat, di saat kau sedang terlelap dalam mimpimu, di saat kau sedang pergi meninggalkan rumahmu dan aku, ada sebuah kotak kaset yang perlahan-lahan retak. Terdobrak. Sedikit demi sedikit. Itu aku yang sedang mencoba merangsek keluar, meskipun terkadang dalam prosesnya terasa pahit dan sakit.

Selanjutnya, semua adalah kamu. Dan, nasib kaset ini: apakah suaranya sumbang dan layak dibuang, ataukah dia akan kembali disimpan di sudut rak susun yang temaram, ataukah nyanyiannya dan nyanyianmu akhirnya menjadi satu, semuanya ada di tanganmu.

Kamu tidak perlu merasa resah. Karena nyanyianku akan selalu tentang kebencian untuk mengucap kata berpisah.*


P.S.: Kau tahu? Tempat yang kutempati ini tidaklah sepenting dirimu. Tentu saja aku rela menukarnya dengan kesempatan berbagi perjalanan denganmu.

*Terimakasih, van Pelt.

Wednesday, October 3, 2012

Memento untuk Ayah


Gue benci banget sama bokap gue! Ini nggak boleh, itu nggak boleh. Bikin bete!”

Ingin sekali kutampar mukanya saat itu.

Lo harusnya bersyukur, masih punya bokap yang masih bisa merhatiin lo.”

Lalu kami terdiam, ditemani sebotol bir yang sudah tak lagi dingin dan gelas yang sekarang hanya berisi angin.

---------------------

Orang-orang sok bijak di jejaring sosial seringkali berkata, “Kita tidak pernah tahu arti pentingnya seseorang, sampai kita kehilangan orang tersebut.” Aku tidak setuju. Orang bisa datang dan pergi, dan seringkali, kita tidak merasakan apa-apa. Menurutku, kita tidak pernah benar-benar tahu arti pentingnya seseorang, sampai kita bisa merasakan penyesalan yang teramat sangat ketika kita mengecewakan orang tersebut. Aku tahu benar rasanya. Rasa marah pada diri sendiri yang teramat dalam, menyesali kebodohan-kebodohan yang dulu kulakukan. Kepada ayahku. Yang baru kusadari ketika ia pergi selama-lamanya meninggalkan diriku.

Ayahku adalah seorang yang sangat konservatif, baik dari agamanya, maupun dari sisi ke-Jawa-annya. Menurutnya, seorang anak tidak boleh membantah perkataan orang tua, tak peduli orang tua itu benar atau salah. Masih teringat benar, bagaimana sedari kecil aku dilarang untuk melakukan ini dan itu. Tidak boleh main ke sana dan ke situ. Bahkan ayah pernah menyita buku Charles Darwin milikku. Namun, jiwaku memberontak. Aku menentang perkataannya. Aku tak mengindahkan larangannya. “Anak itu kalau dikasih tahu orang tua, harus nunduk dan jangan membantah!”, demikian ujarnya tiap kali kami berselisih. Mendengarnya aku merasa risih. “Lihat tuh, anak-anak kampung sini! Kalau dinasehati orang tuanya nggak ada yang bandel. Nggak kayak kamu!”, katanya sambil mengarahkan telunjuk ke arah rumah tetangga. Menjemukan. Namun aku tak juga peduli. Memangnya, orang tua itu pasti selalu benar dan sempurna? Memangnya seorang anak tidak punya hak untuk mengajukan pembelaan dan harus sendika dhawuh terus-terusan? “Hidupku ini hidupku sendiri!”, ujarku sambil bersikap pongah seakan sudah bisa menaklukan dunia.

Di mataku, ayah bak seorang presiden sebuah negara otoritarian. Dan aku yakin, di matanya, aku seperti mahasiswa anarkis yang bisanya hanya teriak-teriak tak keruan. “Nak, Nak, kamu nanti kalau sudah besar jadi pengacara saja. Sudah cocok sama sifatmu yang suka ngeyel itu.”, begitu kelakar ayah sambil tertawa di suatu senja. Aku tak tahu, dan tak akan pernah tahu, apakah dia tertawa karena leluconnya, atau sedang mencoba menghibur diri dari kegetiran hatinya saat melihat kelakuan anaknya.

Lalu, pada suatu waktu, aku tak tahu persis kapan, ayah terkena stroke. Ayah memang dari dulu suka makan durian dan sate kambing, perokok berat pula. Dia dirawat sekitar dua minggu di sebuah rumah sakit swasta. Setiap hari aku mengunjunginya, dan hal yang paling tak bisa kumaafkan sepanjang hidupku adalah aku tidak merasa apa-apa. Tidak pula sedih. Hampa. Ketika ada rombongan dari gereja yang mendoakan, aku hanya bisa turut mengamini, tanpa bisa mengimani. Aku bisa melihat pada ayah, ada sorot mata kekecewaan tiap kali aku masuk ke ruangan tempat ia dirawat. Namun, aku tetap saja tidak merasa apa-apa. Tidak bisa. Bahkan, pada detik ketika dia meninggal, tak setetes pun air mataku jatuh. “Memang sudah harus diikhlaskan, daripada ayah tersiksa dengan alat-alat rumah sakit itu,” begitulah aku mencari rasionalisasi. Mungkin saja pada waktu itu hatiku memang sudah mati.

Baru ketika jasadnya sudah ditelan bumi, aku menelaah kembali hubungan kami. Aku baru mengerti, bahwa lawan kata dari cinta bukanlah benci, namun keteracuhan. Ayah yang tidak peduli adalah ayah yang lebih buruk daripada ayah yang suka memarahi. Dan apa yang dilakukan ayah adalah wujud cinta yang sesungguhnya. Ia hanya mencoba melindungi diriku yang masih rapuh dari kerasnya dunia ini. Ketika aku sadar itu, barulah seluruh air mataku tumpah. Aku mengalami penyesalan yang lebih besar dari semua penyesalan yang pernah kualami sepanjang hidupku. Namun semua sudah terlambat. Terlambat untuk meminta maaf dan mengubah sikap. Terlambat untuk menunjukkan rasa cinta dan hormatku kepadanya. Terlambat untuk melakukan hal yang terbaik baginya. Keterlambatan-keterlambatan yang akan terus menghantuiku sampai ajal nanti. Aku meraung, tapi langit tak pernah menjawab tangisanku. Tak akan ada ayah lagi. Aku menyesal. Sungguh sangat menyesal.

---------------------

Suara lagu Soldier of Fortune dari Deep Purple mengalun dari radio di suatu hari sepulang sekolah, membangkitkan semua kenanganku tentang ayah. Ya, ini lagu kesukaannya. Di otakku, imaji tentang ayah membuncah. Aku melihat dia sedang duduk di depan komputer sambil memainkan lagu ini dan memintaku untuk menemaninya mengerjakan pekerjaannya.

Pikiranku kemudian terseret ke belakang, kepada kenangan-kenangan lain tentang dia. Ketika pertama kali ia mengajariku naik sepeda. Ketika pertama kali ia mengajariku memetik gitar. Ketika ia membawaku jalan-jalan berdua saja dengannya. Ketika dia menasihatiku sambil bersantai menonton layar kaca. Ketika dia datang jauh-jauh dari kantor hanya untuk melihatku berlomba. Ah, mengapa dulu aku mempersangkakan yang buruk tentang ayahku? Bukankah dia benar-benar seorang ayah yang baik?

Andai saja dapat kukendalikan waktu, aku hanya ingin kembali lagi ke masa-masa itu, ayah. Menikmati kata-katamu. Mendengarkan cerita-ceritamu. Mengenang wajahmu. Bahkan aku ingin kembali tersesat, agar kau bisa menemukanku lagi dan membawaku dalam pelukmu.

Lagu berhenti, dan setelah itu ayah pun pergi. Meninggalkan aku dengan hati yang sekali lagi sepi. Jujur, setelah itu, aku selalu memainkan lagu yang sama berulang kali. Mencari lima menit di mana dia bisa hidup dan kami bisa bertemu lagi di dalam memori. Karena, bagaimana lagi aku harus mencari jalan untuk kembali?

---------------------

Bir sudah habis, bahkan botol dan gelasnya sudah diangkati oleh pelayan. Kami belum juga beranjak pergi.

Gue pesen minum lagi, yak? Nggak enak sama pelayannya.”

“Terserah lo aja.”

Dua cangkir kopi hangat datang dan dua batang rokok kemudian, kami masih terhanyut dalam keheningan.

“Jangan sampai lo entar nyesel kayak gue. Gue baru tahu, kalau ternyata sikap over-protektif orang tua itu buat kebaikan kita, baru setelah gue kehilangan bokap gue. Gue belajar ini the hard way, man! Gue nggak mau, kalau entar lo baru sadar setelah semuanya terlambat,” kataku membuka kembali percakapan.

Mengapa aku baru sadar ketika semuanya sudah terlambat?

---------------------

Aku suka pergi ke pusara ayah, sendirian. Di malam hari. Ditemani dua-tiga ekor nyamuk yang mengerubuti dan lampu neon depan kuburan yang sudah selayaknya diganti. Hantu? Ada yang lebih menakutkan daripada hantu. Yaitu sesuatu yang terus menempel pada diriku dan membuatku gagal berdamai dengan masa lalu. Aku rasa kalian sudah tahu apa itu.

Aku suka berbicara di depan pusara layaknya orang gila, seakan-akan ayahlah yang di sana kuajak bercengkerama. Meskipun sebenarnya hanya kesunyian saja yang selalu kudengar. Memang seperti inilah biasanya ketika aku bercerita kepada ayah. Seringkali ayah hanya memandangku tanpa berkata apa-apa. Sesekali ia mengajukan beberapa pertanyaan. Atau tertawa. Sungguh, aku suka sekali saat melihatnya tertawa.

Aku melihat tanggal di pusara ayah. Sudah enam tahun. Lama juga ternyata. Ah, bagaimana kelak jika aku sudah berkeluarga dan tinggal jauh dari sini lalu berangsur-angsur melupakanmu, ayah? Sudikah kau untuk tetap bisa kuajak bercengkerama jika aku menemuimu lagi, di sini, setelah mungkin nanti aku lama tidak peduli?

---------------------

Lo bisa dengan gampang bilang kayak gitu, karena bokap lo itu bokap kandung lo!”

“Apa bedanya? Karena bokap lo bokap tiri? Menurut lo, siapa yang lebih layak disebut orang tua? Dia yang ilang gitu aja? Atau dia yang selalu ada ketika lo butuhkan, saat lo sakit, yang ngawasin lo dari jauh dan siap nolong lo ketika lo jatuh, yang ngasih lo saran buat ngambil keputusan-keputusan yang penting di hidup lo sejak lo kecil, yang mau peduli sama bocah yang bukan darah dagingnya sendiri?”

Aku menghela napas. Lalu melanjutkan.

“Kesalahan lo adalah tentang definisi seorang orang tua. Nggak ada orang tua yang lo bisa patok sempurna. Beberapa memang baik banget, beberapa emang jelek banget, tapi kebanyakan orang tua ada di tengah-tengah, dengan segala kekurangan dan kelebihannya masing-masing. True perfection has to be imperfect, bro. Meskipun, sikapnya mungkin menurut lo over-protektif, he has always been there for you. Still is. And he has always loved you. Still does. Nggak kayak gue yang udah kehilangan.

Dia menangis. Aku menangis. Menangisi ayah kami masing-masing.

Sedangkan malam semakin mengendap. Hanya kami yang masih menangis merajut harap.

---------------------
 
“Kamu itu mirip sama ayahmu, Nak.”

“Kok bisa?”, tanyaku kepada ibu.

“Ya dari cara ngomongnya, cara mikirnya. Kelihatan paling cuek, tapi sebenarnya yang mikir dan khawatir paling banyak. Kamu kelak harus bisa bikin ayah bangga dari surga sana, ya?”

Aku mengangguk dan tersenyum. Aku bahagia. Karena aku tahu ayahku sedang hidup kembali melalui aku.

Ayah, tolong awasi aku dari sana.


Tugasku baru saja dimulai.

---------------------

Teruntuk #Saujana dan ayahanda.

Tuesday, October 2, 2012

Tentang Alasan

* Bukan untuk #Saujana. Lagipula, ini terlalu singkat untuk dibilang sebagai cerita. 10 menit dan begitu saja ia lahir. Seperti itu.

--------------------------------------------------------------------------------------------- 

Aku selalu benci dengan pertanyaan “mengapa”. Memangnya, buat apa segala sesuatu harus memiliki alasan? Aku pun tak tahu juga alasan mengapa aku memilihmu – dengan bodohnya. Aku bisa saja lari, pergi tak kembali. Tetapi hatiku tidak sanggup. Selalu tidak sanggup. Kau selalu saja menemukanku ketika aku sedang bersembunyi dari dunia ini. Kau selalu saja merobohkan tembok batu yang sengaja kususun untuk melindungi diri. Kau selalu saja menjadi badai yang menghempaskan perahuku kembali ke pulaumu lagi.

Namun, jika kau bersikeras menanyakan alasannya, sederhana. Karena dunia ini - kecuali dirimu tentu saja – sangatlah membosankan. Tidak signifikan. Kau berbeda. Kau memandangku dengan cara yang entah bagaimana bisa membuat diriku merasa seperti seorang pahlawan, dan di saat yang sama sanggup menjungkirbalikkan semestaku. Kau adalah narkotika sekaligus petaka bagi jiwaku. Dan, kau tak mencintaiku. Masokis, bukan?

Aku merasa aku tidak perlu bertanya tentang perasaanmu padaku. Aku sudah tahu jawabannya. Takdir sudah menentukan jawaban apa yang akan aku terima. Karenanya, aku tidak berani bertanya.
 
Lihatlah bintang jatuh itu, yang tidak pernah bertanya mengapa dia harus menyerah pada gravitasi, lalu terbakar, dan mati jatuh ke bumi. Dia tahu benar tentang takdirnya. Tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. Dia tidak perlu diingatkan, bahwa sudah menjadi garis nasibnya kalau dia akan mati dan hancur berkeping-keping dalam perjalanan. Dalam langkahnya menuju kematian, ia hanya perlu menutup mata. Kalah, namun terpuaskan. Karena ia tahu, dalam kehancurannya, ada insan manusia yang berdoa. Yang bergandeng tangan sambil memandang langit dan menaruh harapan kepadanya.

Bukankah, hidup ini adalah sebuah lotere, yang menentukan siapa yang jadi bintang jatuh, dan siapa yang jadi manusia? Dan jika kali ini kau yang menjadi manusia, maka doakanlah agar si bintang jatuh ini tetap kuat dalam perjalanannya. Tidak perlu kau bertanya mengapa ia memilih menjadi bintang jatuh.




Karena hidup, dan begitu pula cinta, adalah sebuah lotere. Dan lotere, tentu saja tidak mempunyai alasan.

---------------------------------------------------------------------------------------------

Jika semua ini harus berakhir, akhirilah. Pergilah. Menghilanglah. Karena aku tak sanggup melakukannya. Aku hanya bisa berjanji bahwa dirimu tidak akan hilang dan terlupakan. Dan kelak, ketika jalan hidup kita bersimpang lagi, aku akan mendapatimu di dalam gelap - sekali lagi.